Nusakambangan, hampir seluruh masyarakat Indonesia tahu pulau tersebut, bahkan namanya populer dengan nama-nama pulau besar di Indonesia seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Borneo, dan yang lainnya. Tidak dipungkiri lagi bahwa pulau Nusakambangan terkenal karena penjaranya, semua orang menyetujui bahwa Nusakambangan adalah pulau penjara! Bahkan pulau ini juga disetarakan dengan pulau penjara yang terkenal di dunia yakni Pulau Penjara Alcatraz. Walaupun disamakan dengan pulau Alcatraz, Nusakambangan mempunyai perbedaan yang cukup banyak mulai dari ukuran pulau yang lebih besar dari Alcatraz, ada hutan hujan yang masih 'jejaka', penduduk lokal yang menghuni dan status kepemilikan pulau. Persamaan besarnya dengan Alcatraz dan Nusakambangan adalah sebuah penjara dengan pengamanan ketat dan tempat untuk narapidana kelas 'paus'.
Oleh karena Nusakambangan mempunyai penjara untuk napi kelas 'paus' dengan pengamanan ketat maka timbulah citra tersendiri untuk pulau Nusakambangan. Citra penjara yang suram, keterasingan, hutan lebat dan misterius, menempel lekat pada Nusakambangan. Baiklah, tidak semua orang paham dan tahu tentang Nusakambangan sebagai sebuah 'intro' yang indah saya perkenalkan tentang Nusakambangan.
Nusakambangan dalam Geografi
Pulau Nusakambangan adalah salah satu pulau terbesar selain pulau Madura yang masuk wilayah administrasi pulau Jawa, pulau ini masuk ke dalam administrasi Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Jika dilihat dari satelit maupun peta, maka akan tampak pulau Nusakambangan berada di selatan pulau Jawa, pulau ini hanya dipisahkan oleh laguna yang mengelilingi sisi utara pulau Nusakambangan. Laguna Nusakambangan yang kaya akan hutan bakau merupakan laguna terbesar di pulau Jawa. hutan hujan tropis masih menyelimuti hampir 70-80% pulau, sebagian wilayah dijadikan sebagai tempat tinggal penduduk dan pertanian semisal wilayah Kampunglaut di Klaces; wisata berada di ujung timur pulau dan lapas (penjara) berada di tengah dan selatan pulau. Kecamatan Kampunglaut, Kecamatan Cilacap Selatan* dan Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenhukam) adalah pemilik dari pulau Nusakambangan.
Sisi lain dari Nusakambangan yang jarang diketahui masyarakat luas Indonesia adalah adanya penduduk lokal yang tinggal di wilayah Nusakambangan dan objek wisata yang indah. Karena citra dari penjara kelas 'paus' lah obejek wisata yang indah tenggelam dalam citraan itu. Saya kira cukup untuk mengenai cerita mengenai geografi Nusakambangan, kini giliran saya bercerita perjalanan saya ke pantai Kalikencana yang memerlukan jalan kaki selama tiga jam.
Kasunyatan
Sebuah keterlemparaan dan menjadi kasunyatan, berawal dari tongkrongan di warung kopi Kabita di simpang lima Adipala, Cilacap. Saya hanya berniat untuk minum kopi, minuman yang kadang dibenci oleh organ-organku dan kadang dirindu oleh keegoisan diri, niat itu begitu mudah terkabul oleh semesta, selang tiga jam dari jam kedatangan saya di Kalikudi. Rasa lelah sirna oleh rasa nostalgia dan penasaran akan sudut kota kecamatan yang sering aku singgahi di masa kecil, dua roda saling berputar melintasi jalanan yang sedang luka karena borok pemerintah.
Sewaktu Menyebrang Menuju Dermaga Pos Bodol |
Temaram lampu dengan kelip merah, kuning dan hijau berganti sesuai detik yang ditetapkan. kelip itu memantul jelas di kubangan air 'borok' jalan yang kian melebar. Aku menunggu balasan rekan untuk saling jumpa untuk melebur dalam secangkir kopi. Satu pesan masuk di aplikasi pesan instan "saya sudah di kafe Kabita", Kirin si pengirim pesan.
Segala jenis 'fakultas' dibahas, ngalor-ngidul tidak berujung seperti dalam kitab Alquran disebutkan "Maka aku bersumpah bahwa Tuhan yang memiliki timur dan barat" ya timur dan barat sebagai analogi suatu kekuasan yang maha luas dan tak terbatas. Tapi entahlah untuk kaum 'dunia datar' mungkin timur berhujung dan barat berpangkal. Satu jam kurang ngalor-ngidul bersama Kirin, kini bertambah luas lagi dengan datanganya mas Yogi, Aqsan dan Wigi.
Diantaranya Mas Aqsa, Kirin, Wigi, dan Yogi |
Keterlemparan, sebuah dawuh semesta menjodohkan kami. Obrolan tanpa batas seperti obrolan teman lama yang hilang dan bertemu kembali, jika obrolan dilepas liarkan niscahya sampai fajar pun takan pernah usai, seperti barat dan timur, entah dimana pangkal ataupun ujungnya. Mas Yogi adalah seorang yang paling antusias dalam segala fakultas keilmuan yang dibicarakan, begitupun mas Wigi. Aku kadang malu mengutarakan pendapat yang belum tentu kebenarannya, pendapat yang hanya 'berdasarkan' dan katanya menjadi senjata yang memalukan bagi saya, namun mereka sepertinya asyik dan terlena dengan pemaparan saya yang tidak ada kredibilitasnya. Ya saya paham setiap awal pertemuan adalah awal keterpesonaan, jadi wajar saja mereka terpesona, dan mutlak merka akan muak dengan sendirinya saat sering berjumpa, borok kehidupan pun terlihat dan tercium.
Di ujung pembicaraan inilah titik tumbuh rencana perjalanan ke Kalikencana.
Perjalanan
Sesuai kesepakatan pukul tujuh pagi berkumpul di Terminal Adipala - Cilacap. Sedari jam lima subuh, saya sudah mempersiapkan diri terlebih ibu yang semangat plesiran. Saya ke Kalikencana - Nusakambangan, sementara ibu ke Purbasari - Purbalingga dengan teman pengajiannya. Satu kepal nasi timbal bersama lauk ayam bumbu rempah dan mie instan olahan dipersiapkan untuk menemani perjalanan saya. Sebenarnya ibu sangat khawatir akan perjalanan ini, maklumlah masuk hutan dengan teman-teman baru dikenal. Saya paham apa yang ada di ruang otaknya! Kriminal. Ngeri.
Menyebrangi Jembatan Bambu di Dalam Hutan |
Awan hitam menggumpal dengan wibawa tinggi, seolah mengancam manusia padahal awan hitam membawa berkat langit berupa hujan. Wibawa yang tinggi. Aku di pelataran Bank BNI Adipala, menunggu kedatangan mereka. Hilir mudik pesepeda menjadi monster waktu yang menelan sedikit demi sedikit hingga rasa jenuh dalam menunggu sirna. Ibu-ibu kaos kuning terkekeh karena salah jalan, untung saja tidak tertabrak kendaraan bermotor, aneh harusnya teriak histeris karena nyawa terancam. Begitupun para bapak-bapak dengan aneka sepada yang mereka kayuh dengan santai, ada yang patuh rambu-rambu lalu lintas ada juga yang tak peduli pada nyawanya sendiri atau orang lain.
Satu orang datang, Kirin. Disusul oleh Aqsan yang datang dengan perut belum diisi, saya dan Kirin menunggu. Monster pembunuh waktu kiniseakan melemah kekuatannya, aku terpedaya oleh jenuhnya menunggu dan berharap monster itu datang lagi. Aku terlalu 'Jerman'. Satu jam kurang dua orang datang dan lengkap sudah, mas Yogi dan Wigi.
Perjalanan dimulai dari Terminal Adipala menuju Pantai Teluk Penyu Cilacap, kurang lebih 21,5 Km menurut hitungan peta Google. Mendung di setiap ujung langit membawa wibawa begitu mengancam, aku tak peduli dengan kesunyatan ini, toh hujan maupun cerah semua masih berjalan. Masalah cuca kadang menjadi penyesalan tersendiri bagi manusia, bahkan cuaca mendung, hujan, petir dan berangin disebut sebagai "Cuaca tidak mendukung". inilah manusia yang fitrahnya mencari kenyamanan dan kemudahan.
Kristal air langit memadat dan terjatuh di Karangkandri, pelan membasahi segenap wajah bumi yang sudah lembab. Kecepatan jatuhnya air terasa mengigit dan cepat dikala kecepatan motor ditambah, serasa ratusan tembakan panah air menerpa muka dan dada, dingin. Niatku sedikit luntur dan pesimis, tapi tidak untuk rekan-rekan warga lokal seperti mas Wigi, Yogi, Kirin dan Aqsa. Mereka masih dalam semangat yang kuat. Aku nurut saja, mau batal atau diteruskan ikut saja pada orang lokal yang sudah berpengalaman.
Dan ternyata perjalanan ini diteruskan, sewa kapal sudah disepakati. Makanan sudah dibeli, peralatan penghalau hujan, ponco terbeli sesuai jumlah ornag yang ikut, ya kecuali pak kapten kapal. Usai perut terisi sebagai bahan bakar, kami bersiap untuk berlayar. Ombak saat itu bagiku masih terlihat tenang, walaupun di ujung Samudra Hindia terlihat taburan kristal air. Pelayaran ini termasuk katagori charter alias sewaan, untuk setiap kapal dihargai Rp 125,000 pulang pergi. Jika kita pandai menawar harga bisa kurang dari itu, tentu saja penawaran dengan batas wajar. ongkos sewa kapal jika dihitung perorang kadang ada yang Rp 25.000 perorang ada juga yang Rp 20.000 perorang tergatung jumlah banyak orang yang ikut. Yang pasti satu kapal untuk bolak-balik mencapai Rp 125.000-160.000. Jika charter kapal, jangan lupa catat nomor handphone ataupun nomor WA untuk menghubungi saat anda sudah ingin pulang mendarat di pulau Jawa kembali.
Curug dalam Hutan yang Tak Kurang Dari Dua Meter |
Aku agak ngeri saat kapal melaju memutus ombak samudra, teringat berita kemarin hari soal kecelakaan pesawat Sriwijaya. Ah.. aku parno soal musibah dan keapesan, terlebih di kapal kecil ini hanya ada satu rompi penyelamat (Safe Vest) Bagiku agak konyol kalau mati tenggelam karena tidak ada rompi penyelamat, suatu keteledoran manusia. Kenapa konyol? karena suatu perjalanan laut harus melakukan SOP yang benar seperti adanya rompi penyelamat/rompi pelampung. Tak lebih dari 25 menit kami sampai ke Pos Bodol (Pos Rusak) suatu dermaga yang usang, dermaga ini memang sudah terkenal sebagai demaga untuk masuk ke wilayah pulau Nusakambangan. Dermaga Pos Bodol tidak jauh dari dermaga resmi milik Lapas, mungkin berjarak 4-6 Km. Oh ya dermaga ini tidak ada jembatan dermaganya, hanya sebatas pos saja. Jadi saat anda berlabuh di Pos Bodol anda cukup loncat dari ujung perahu ke daratan langsung, atau turun dari badan perahu ke sisi pantai laguna.
Kejadian
Doa dan harpan jadi mantra awal untuk keselamatan jiwa raga saat perjalanan menuju pantai Kalikencana. Mas Wigi mengatakan jarak perjalanan dari Dermaga Pos Bodol ke pantai Kalikencana membutuhkan waktu sekitar 2,5-3 jam dan ini harus dilakukan dengan jalan kaki!!! Bagiku ini adalah perjalanan dengan jalan kaki terpanjang untuk ke pantai. Kenapa harus jalan kaki selama 3 jam? karena harus melewati hutan rimba berbukit dengan jalan setapak. Langkah kaki penuh semangat, meluruh di saat tanjakan semakin menunjukan kemiringan sudutnya, otot mencengkeram, nafas terengah, jantung terpacu. Sistem organ berjalan tidak nirmal dan menemukan sesuatu yang mesti diadaptasi. Dua kali tanjakan wajah mas Yogi mulai pucat, kembali tarik nafas untuk menyesuaikan ritme. Namun semua itu gagal dan harus menerima kekalahan organ, ada sesuatu yang mesti dikeluarkan untuk meringankan badan, akhirnya makanan yang belum dicerna sempurna keluar dengan semburan getir. Bau asam lambung menyeruak mencemari oksigen segar hutan Nusakambangan.
Wajahnya kembali memerah, aliran darah yang dipompa jantung kembali memasuki kapiler-kapiler di wajah dan bagian lainnya. energi baru tampak masuk dan menjelma menjadi kekuata baru. Kini mas Yogi berjalan perlahan dengan tempo waktu istirahat yag cukup sering. Aku dan termasuk yang lainnya sedikit meledek kemampuan tubuh mas Yogi. Berkali-kali mas Wigi sebagai guru olahraga di Sekolah Kristen menyarankan untuk olahraga teratur, mas Yogi mengamini saran dari sahabatnya.
Benar kataku dan Mas Wigi bahwa perjalanan ini kurang perencanaan, entah karena seuatu kebetulan atau memnag sifat kurang perencanaan dari mereka. Mas Wigi menganalogikan mereka sebagai bocah yang belum matang dalam menyusun sebuah rencana perjalanan yang akhirnya mas Wigi merasa 'ngemong bocah'. Karena kurangnya persiapan banyak kejadian yang berlalu tanpa adanya penanganan yang baik, semisal saat Kirin tertusuk batang bambu dan tangan mas Yoga tertusuk benda asing semacam duri. Masalah mereka terselesaikan tidak dengan baik karena tidak memawa P3K yang seharusnya dibawa berhubung perjalanan panjang masuk ke hutan. Kesakitan mas Yogi membuat gaduh seisi hutan Nusakambangan, kelompok lain juga membantu mengeluarkan duri yang masuk ke telapak tangannya.
Dalam perjalanan tiga jam ini saya mendapati keindahan nyata dari hutan hujan tropis Nusakambangan, pohon hijau dengan segala aka yang liar menabur oksigen penih kesegaran, bunga dan dedaunan liar memberi wangi tersendiri, semacam aroma terapi yang meneduhkan. Saya tidak sempat memfoto buah yang unik, buah ini semacam apel, bentuknya kecil dan bergerombol, indah sekali. saya juga melihat untaian buah hutan yang mirip dengan anggur hijau, rasanya tangan ingin memetik dan menikmatinya selayaknya anggur hijau. Tapi aku sadar bahwa buah-buahan liar itu bisa saja membawa kemampusan yang berakhir kematian. Untung saja sadar diri!
Banyak pohon unik yang baru saya lihat, sayang sekali saya tidak tahu nama lokal ataupun nama ilmiahnya (nama latin). beberpa hewan liar pun menampakan diri baik wujudnya ataupun suaranya, saat pertama masuk hutan sekitar 100 meter dari dermaga Pos Bodol terdengar kokok ayam hutan yang terburit melihat segerombolan manusia, ayam hutan itu terbirit ketakutan karena melihat wajah manusia yang bisa membunuhnya. Musang-musang yang asyik kawin di pohon, serangga gembira dengan bunga hutan dan kepakan burung rangkong Jawa. Saya sendiri baru melihat secara langsung di hutan liar burung rangkong yang indah itu, pesona paruhnyayang besar membawa kekaguman tersendiri untuk sang Pembuat.
Jika dipetakan ada beberpa zona hutan saat melintasi jalan setapak menuju pantai Kalikencana: pertama kawasan hutan hujan tropis, kedua huma di tengah hutan ternyata ada huma yang dibuat manusia untuk alasan ekonomi, tampak puluhan pohon kelapa, beberpa pohon alpukat, jambu dan pohon buah-buahan lainnya. Layaknya huma lainnya, huma di tengah hutan ini banyak ditumbuhi ilalang, tampaknya yang punya huma tidak merawat dengan baik. Ketiga, jenis hutan khas muara dimana pohon palem dan pohon-pohon khas rawa maupun rawa terdapat. Oh ya di perjalanan ini juga menemukan sekitar empat aliran sungai, ada dua sungai cukup besar dilewati. Jadi jika perbekalan air sudah menipis atau habis bisa diisi dengan air murni dari hutan. Curug/air terjun kecil pun ada, tampak sederhana nan cantik.
Teman baru dari kalangan muda, mereka tampak bersahabat. Suaranya lantang khas pemuda yang masih gandrung pecicilan. Saat itu kami bertemu dengan tujuh orang saja, tujuh yang lainnya sudah di depan mungkin sudah sampai. Kami saling berbagi di perjaanan baik minuman, makanan kecil dan foto. Kami merasa mereka adalah saudara yang bisa menjadi penolong saat ada keapesan yang muncul, mau meminta bantuan siapa lagi selai mereka, ini di hutan!!!
Klimaks
Jalanan becek, kaki basah, jaket pun basah. Ponco masih menyelimuti badan sebagai tadah air hujan yang terus membasuhi tubuh dan semua hal di muka bumi. Deburan ombak terdengar samar terganggu suara rintik hujan yang menimpa dedauna, angin laut pun enggan kalah untuk meramaikan harmoni alam, hembusannya menggerakan dedaunan dan berbunyi dengan damai. Ujung mata tampak gulungan ombak menampar pasir dan batu yang beridri tegar. Suatu kekaguman yang susah dibahasakan, terlalu sulit bagi manusia untuk membahasakan rasa keindahan yang ditemui, hanya kalimat subhanallah untuk sebuah kalimat sebagai penggambaran keindahan.
Pasir yang abu, seperti seorang paruh baya menjelang tua dan penuh uban. Pantai dengan pasir warna abu, bukan putih. Melengkung bak senyuman, mesem, dari sisi ke sisi melengkung setengah lingkaran. Ujung barat dengan batu berdiri tegar dan sisi timur pun sama. Jenis batu yang bediri tegar ternyata bukan dari lava hasil muntahan gunung api purba layaknya di pantai Menganti - Kebumen, ternyata batu ini cukup rapuh.
Kali ini pantai cukup kotor, ombak membawa sampah dari manusia yang tidak tahu diri. Bahkan mas Yogi menemukan sebuah kondom yang masih tersegel, mas Aqsan menemukan sabun muka merek Wardah dan saya menemukan satu lembar obat jenis antasid. Hujan masih turun dengan kristal air yang kecil, kadang membesar dengan membawa angin dingin, aku merasa kedinginan. Di ujung barat pantai satu kelompok anak muda mandi dengan resiko nyawa, mereka menggadaikan nyawanya di pusaran ombak. Kami cukup kagum dengan keberanian mereka. Awal kegiatan kami di pantai ini hanyalah duduk menikmati jerih payah tiga jam berjalan kaki. Satu roti rasa sirkaya masuk ke gerbang mulut dan mengunnyah hingga lembut akhirnya kenyang.
Mas Wigi mengajak saya untuk pergi ke muara di ujung timur pantai, aku berjalan dengannya. Sementra Kirin dan Mas Aqsan menikmati rangkutan dingin ombak Samudra Hindia. Saya pikir nama Kalikencana mungkin diambil dari kali/sungai yang bermuara di pantai ini. Penamaan Kalikencana untuk pantai ini sudah sangat tepat berhubung ada muara kali dan kata kencana yang berarti emas. Pantai ini memang pantas mempunyai makna kencana atau emas, ya betapa berharga, indah, penuh pengorbanan untuk sebuah kencana/emas.
Ombak di pantai ini cukup besar sehingga bahaya untuk direnangi, ada beberapa tempat yang bisa digunakan untuk berenang semisal muara sungai dan beberpa sisi pantai. Bibir pantai cukup lebar dengan kemiringan agak curam, pasirnya saat dinjak seperti tanah rawa yang mudah menimbulkan tapak kaki yang dalam. Istimewanya pantai ini bukan saja dari statusnya yang jejaka, ombak yang indah, pemandangan yang asri ataupun pasir abu yang mempesona. Tapi ada satu hal yang menambah kegagahan dari pantai ini yakni curug di tebing dekat pantai, curug ini hanya berjarak 10-20 meter saja dari bibir pantai. Keren bukan main, saya lupa lagi nama curug tersebut.
Antiklimaks Perjalanan
Kelompok pemuda itu masih asik dengan aktifitasnya, berteriak kegirangan seperti kesurupan malaikat fortuna, bungah sepanjang masa. Kurang lebih pukul 14:00 Siang kami pulang diantar oleh hembusan angin laut dan hujan tiada henti. Canda dan pembicaraan tidak penting meluncur begitu saja dengan kelompok pemuda yang salah satunya bernama Bayu Setiawan dan Dian Dwi. Bertukar seni hidup dan obrolan nakal pun keluar seakan menjadi obat nyeri kaki yang lelah oleh panjanganya track.
Ujung tombak dari perjalanan ini dipimpin oleh pemuda berbaju sweater merah, dia berjalan begitu cepat. Kami ang merasa kaum dewasa awal merasa cukup kewalahan menuruti kemampuan mereka. Ada satu hal yang paling keren dari mereka yakni keberanian dan bertelanjang kaki di rimba yang penuh onak!!! suatu hal penuh debus, mereka mampu melewati onak tajam yang mengancam. Aku ngeri melihat kaki mereka yang siap tertusuk duri.
Perjalanan pulang ternyata mengambil jalur berbeda dari saat berangkat, di jalur ini kami menemukan
sebuah benteng peninggalan masa kolonial Belanda. Benteng ini masih tersisa dengan batu bata yang masih kokoh, saya tertarik sekali menelusuri sejarah benteng ini. Bukti dari tuanya benteng ini adalah sebuah pohon besar yang sudah memeluk badan benteng dengan akar-akarnya yang kuat. Ah... saya jadi penasaran dengan peran kota Cilacap dulu semasa zaman kolonial, betapa sibuknya kota pelabuhan ini.
Ternyata kapten berbaju sweater merah salah ambil jalan, seharusnya belok kiri ini malah lurus. Akibat dari salah jalur wajtu tempuh perjalanan menjadi panjang, mungkin bertambah 30-60 menit dari waktu tempuh normal. Track turun dan berbatu membuat kaki semakin meringis kesakitan, suara terompet kapal terdengar seperti olakan yang menjengkelkan. Suara itu terdengar begitu dekat, namun kaki ini harus berjalan jauh turun-turun dengan kemiringan curam dan batu terasa pedas.
Langit telah kenyang menangiskan diri, kini muka mendungnya masih terliat di semua penjuru langit baik timur dan barat, selatan dan utara, semua rata dan membentuk garis-garis wibawa. Kapal si mbah siap ditumpangi oleh mereka anak muda yang sudah memberinya uang jasa sebesar Rp 20.000 perorang dikali 14 orang. Sementara kapalku belum juga terlihat, beberapa kali ditelpon tidak ada jawaban. Menunggu dua puluh menit dan akhirnya datang juga! Aku melihat wajah mas Aqsan lebih gembira, sebaliknya dengan ku yang masih ngeri melihat birunya laut tanpa rompi pelampung. Entah berpa knot kapal meluncur dari barat ke timur dan berbelok ke utara mencapai bibir pantai Teluk Penyu. Dengan kekuatan penuh kapal mendamparkan diri di pesisir, dan kami selamat.
Sahdan perjalanan usai, karangan cerita dan memori tersimpan di otak masing-masing, seperti Adam dan Eva memetik dan memakan buah khuldi, ada hikmah dan konsekuensinya. Akhirul kalam berkat kasih kalian aku merasa beruntung, samapai jumpa di perjalanan berikutnya.
Pamarican magrib yang gerimis, 12 Januari 2020
Waluyo Ibn Dischman
Komentar