Lepas dan habis dalam semalam, buku berjumlah 114 halaman ludes terbaca dari huruf ke huruf. Novel Kuli memang membuat hati dan otak kembali pada era kolonial yang menguras hatu nurani manusia. Semakin tertarik dengan latar belakang penulis, saya mencari segala sumber kehidupannya melalui peramban termasuk di Wikipedia. Ternyata nyonya Szekély-Lulof mempunyai beberapa karya novel ataupun cerita pendek berlatar kolonial lainnya selain Kuli.
Penulis terlahir di Surabaya, Hindia Belanda 24 Juni 1899 dan meninggal di Belanda pada 22 Mei 1958. Ianya mempunyai nama lahir Madelon (Magdalena) Hermine (Hermina), disingkat menjadi M.H Szekély-Lulofs sementara nama belakangnya diambil dari suami terakhirnya. Bakat menulisnya memang sudah ada sejak kecil, namun baru berkembang setelah menikah dengan tuan Szekély-Lulofs seorang Hungaria. Kehidupan masa kecil dan masa dewasa saat menikah dengan suami pertama menjadi sumber inspirasi dirinya untuk menulis sejumlah novel, terlebih dengan kehidupan di Deli Serdang. Pernikahan pertamanya dengan tuan kebun karet Hendrik Doffegnies dikaruniai dua orang anak, saat itu juga Madelon sudah mulai menulis. Hanya karena suaminya tidak tertarik dengan hobinya sehingga seperti bunga tak berbuah, hingga akhirnya bertemu dengan Lászlo Székely yang juga bekerja di perkebunan yang sama. Lászlo Székely menjalin persahabatan dengan Madelon hingga akhirnya cinta tumbuh bersemi hingga menjadi istri.
Beberapa karyanya yang berhasil diterbitkan diantaranya: Rubber (Berpacu Nasib Di Kebun Karet) 1931, Koeli (Kuli) tahun 1932, De Andere Wereld (Dunia Lain) tahun 1934, Tjut Njak Dien (Cut Nyak Dien) tahun 1948, Doekoen (Dukun) tahun 1953-1954 di majalah dan dipublikasikan dalam buku tahun 2001. Dan pada tahun 2011 dua orang cucu Madelon menemukan naskah cerita yang belum diterbitkan, berkat dua cucunya naskah tersebut diterbitkan dengan judul Ontmoeting met de Dood (Meeting the Dead). Di Indonesia sendiri penerbit Grafitipers menerjemahkan sekaligus menerbitkan karya-karya Madelon. Sementara saya sendiri baru menemukan dua judul saja, judul lainnya belum ditemukan. Semoga suatu hari bisa menikmati karya-karya lainnya.
Jika dibandingkan Madelon bisa disamakan dengan Multatuli, beberapa orang pro-kolonialisme Madelon dianggap sebagai pengkhianat. Sementara bagi kita di Indonesia jelas dia pahlawan yang melawan kolonialisme dengan karya sastranya, sama seperti Multatuli. Sungguh amat jarang penulis Belanda yang menyajikan tokoh inlander (pribumi) sebagai tokoh utama, hampir semua selalu membawa kulit putih sebagai tokoh utama. Untuk penulis Indonesia yang bisa menulis tokoh utama bukan dari bangsanya yakni Iksa Banu, dia mampu menjadi "kompeni".
Berpacu Nasib Di Kebun Karet merupakan kisah nyata penulis sendiri dengan disisipi fiksi yang ia karang. Novel ini dibagi kedalam tujuh babak cerita.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Frank dan Marian adalah sejoli yang menjadi singkek di perkebunan karet di Deli, mereka berdua Belanda totok yang dikirim langsung dari Belanda untuk bekerja di kebun karet. Perjalanan melalui laut dilakoni hingga menjumpai daratan yang dituju, berbagai spekulasi tentang tanah baru membalut rumit di setiap kepala. Akankah bertahan lama? Bagaimana cara penyesuaiannya?
Seiring berjalannya waktu mereka berdua ditempatkan di perkebunan karet Tumbuk Tinggih, pekerjaan barunya membuat syok mula-mulanya. Selanjutnya sudah terbiasa terlebih bahasa yang kasar, sikap yang kasar dan jam kerja yang terlalu menyita waktu. Kesepian mendera tajam oada Marian yang selalu ditinggal kerja, begitu juga dengan Frank yang tampak kurus. Walaupun demikian mereka menjalani dengan giat, hingga akhirnya beranak pinak. Frank mempunyai anak laki-laki dan dinamani Bobby.
Musim hujan menggempur Tambuk Tinggih, memecah langit hitam dan tercabik hingga rintihan hujan membanjiri tanah yang kerontang nan papa. Berita itu tersiar tiba-tiba hingga membuat Marian merasakan kekhawatiran berlebihan, seorang tuan di perkebunan Bukit Panjang tewas terbunuh oleh kuli. Bukan hanya kabar tewasnya Tuan Johansen yang menjadi kekhawatiran itu meluap-lupa, tapi Frank suaminya menjadi pengganti Johansen di sana.
Kehidupan berubah seiring gengsi dan naiknya gaji, mereka lebih banyak hidup pada pesta, kegengsian hingga timbul iri dengki diantara istri asisten, tuan besar dan mandor. Ada penyakit yang sangat menular dan menbahayakan para tuan Belanda, penyakit ini diderita oleh para istri. Mereka merasa kesepian yang mendalam sehingga banyak mengalihkan rasa itu dengan selalu membakar uang di klub -klub, ada pula yang menahan tangis di batin seperti Annette. Kejadian tak terduga membuat Annette lebih terpuruk lagi, suaminya dibacok kuli. Di sinilah pembaca dibawa dalam kesedihan mendalam, hati seperti tersayat terlebih saat adegan perpisahan antara Annette yang sedang hamil dengan Marian.
Kesepian membuat skandal perselingkuhan antara Renée dan Revinsky, skandal ini telah menyebar luas saat pertemuan di klub. Namun skandal ini tak pernah tercium oleh Jhon sebagai suami sah dari Renée. Hingga tiba saatnya Renée mengakuinya, dan cerai. Beberapa episode cerita alur berjalan maju, hanya saja penokohan utama berganti dari seorang Marian ke Annette, selanjutnya ke Renée dan berakhir pada John.
Novel berakhir dengan lara, dimana Frank, Marian dan anaknya harus meninggalkan Saima juga Hindia. Tempat sebilan tahun berkerja pada perusahaan kebun karet, namun sia-sia atas pemberhentiaan kerja (PHK). Saima menangis meratapi tuannya pergi ke negeri asalnya. Sentuhan hati tergores tipis nan menyedihkan dimana terjadi perpisahan dan kekecewaan pada perusahaan yang tiba tiba mem-phk-kan karyawan dengan sepihak. Cerita menarik dan tersentuh bagiku adalah perpisahan keluarga kecil Frank dan Saima, si babu yang telah lama mengabdi. Pada akhir perpisahan di pelabuhan Saima dengan setia berjanji akan berziarah membawa bunga saban bulan ke makam kecil yang ditinggalkan Marian.
Judul: Berpacu Nasib di Kebun Karet
Penulis: M.H Szekély-Lulofs
Penerjemah: Tim Grafitipers
Dimensi: 267 halaman
Cetakan: Pertama, 1985
Penerbit: Grafiti Pers Jakarta
Komentar