Arisan! Rekan kerja bilang seperti itu, semua seakan menjadi arisan dimana satu persatu tiap minggunya tenaga kesehatan di tempat kami bekerja berjatuhan terinfeksi penyakit bsrunyang bernama Covid-19. Diawali dari seorang perawat pria terinfeksi dnegan gejala ringan di awal September 2020, semua orang tak percaya dan bulu kuduk berdiri setiap memengang peralatan di kantor, akankah virus tersebut masih tergeletak di gagang telepon, pintu, tempat duduk dan baranh lainnya. Semua panik, desinfektan dan segala jenis pembunuh virus dan kuman menjadi tameng utama untuk memutus mata rantai penyakit ini. Layanan pun tutup selama tiga hari.
Ketakutan itu masih ada walaupun kami para tenaga kesehatan diliburkan, di rumah pun aku memakai masker agar anggota keluarga tidak tertular. Saya sedikit bimbang, takut hasil rapid test positif saat pendaftaran pelatihan kesehatan mata di Tasikmalaya. Bersyukur hasilnya negatif dan saya kembali ke rumah dengan bahagia. Was-was pun musnah. Sempat kekhawatiran akan covid-19 hilang dari hati para tenaga kesehatan sehubungan tidak ada kasus di wilayah kerja kami, begitu pun kasus harian di Indonesia tidak terlalu tinggi.
Tiba masanya selepas Idul Fitri dan bertepatan ditemukan varian baru dari covid-19 yakni varian Delta, pasien berjatuhan semakin banyak dan semakin banyak di wilayah kerja kami. Pasien sendiri bukan saja dari kalangan masyarakat, melainkan juga pada tenaga kesehatan. Kantor kami beberapa kali tutup, sistem kerja dirumah, namun kami tidak lantas nganggur dan menikmati waktu bersama keluarga di rumah. Kami tetap kerja atas kebijakan atasan yang kurang menyenangkan, ini terlalu aneh bagiku. Mata rantai penyakit masih bergandengan dan terus berjalan karena tidak efektifnya kebijakan tersebut. Dan akhirnya beberapa orang tenaga kesehatan jatuh sakit dan juga ada yang terinfeksi.
Covid-19 hampir saja menelan semua masyarakat di kampung saya, setiap RT ada saja yang sakit. Pengumuman kematian berlalu lalang melalui corong masjid baik dari kelurahan sendiri ataupun tetangga kelurahan, setiap hari selalu ada. Entahlah penyebab kematiannya yang pasti banyak yang meninggal. Saya tanyakan juga pada keluarga di Jawa Tengah pun jawabannya demikian 'okeh sing sedo' tanya kembali ke teman di kota lain juga demikian. Dan beginilah kondisi negeriku semakin hari semakin mencekam.
Akhir Juli badanku terasa asing seperti motor kekurangan oli, rasanya pegal dan tidak enak untuk dibawa kerja. Lemah letih dan lesu terasa kuat saat istirahat, badan hangat namun termometer tidak menunjukkan angka abnormal. Mungkin ini stres dari pekerjaan pikirku. Dua hari berjalan tanpa obat ataupun vitamin badan masih dalam kondisi yang sama dan tambah stres karena adanya benjolan di bawah dagu. Awalnya sebesar kelereng, namun membesar seiring berjalannya waktu. Malam pun tiba akhirnya saya merasakan suhu badan menjadi abnormal, sudah tidur dan badan terasa pegal seperti dibanting oleh buthå. Dua hari berturut-turut saya merasakan kepayahan dalam tubuh hingga akhirnya memberanikan diri untuk periksa ke dokter bedah di rumah sakit swasta di kota Banjar. Beruntung saat berkunjung ke poli bedah badan saya bisa diajak kompromi dengan bantuan flutamol, badan terasa ringan dan cukup enak untuk dibuat berkendara lebih dari 10 km dengan motor. Pagi hari saya berangkat sendiri ke kota untuk berobat, di sana saya menemui dokter bedah dan divonis kelenjar tersebut sebagai ulah kuman yang masuk tanpa kuno nuwun ke tubuhku.
Sepulang dari poli bedah saya merasakan kembali badan yang hampir ambruk, diiringi dengan batuk flu kondisi semakin ambruk hingga akhirnya saya berkonsultasi dengan rekan kerja yang merupakan dokter umum. Advis yang diterima saat itu adalah meminum obat simtomatik dan juga segera memeriksakan diri untuk rapid test juga PCR, saat itu saya mengiyakan perintahnya.
Sabtu pagi tepat jam depan saya pergi ke kantor yang merupakan pusat layanan kesehatan masyarakat, di sana saya menunggu teman untuk mengambil sampel. Menunggu hampir dua jam di sana dengan harap-harap cemas dan menyakini bahwa saya terinfeksi covid-19, karena kepercayaan itu saya memilih menghindar dari teman-teman lainnya untuk kebaikan bersama. Dengan tubuh lunglai dan rentang waktu tunggu yang lama aku berpasarah pada Tuhan.
Tiga orang tenaga kesehatan positif covid-19 melalui uji rapid test! Hasil yang membuat geger kantor dan saya sudah begitu yakin dengan kondisi tubuhku. Ya saya yakin bahwa ini ulah covid-19. Saya dan rekan kerja juga dua belas orang suspek covid-19 berjajar untuk diperiksa kembali dengan metode sampel PCR. Saya pulang dengan rasa tenggang dan juga ketakutan. Membeli dua strip obat batuk dan membawa vitamin yang diberikan pihak kantor.
Aku berserah padamu Tuhan. Ini memang suatu penyakit dan harus diobati dan dirawat agar segera sembuh, aku percaya dengan mengacuhkan stigma masyarakat yang sangat keliru pada penyakit baru ini. Aku menunjukkan dan mengumumkan bawha saya terkena virus covid-19 baik melalui WhatsApp, anggota keluarga dan juga obrolan langsung. Bersyukur keluarga semua paham akan kondisi saya juga mereka tahu apa yang mesti dilakukan saat isolasi mandiri.
Setelah divonis covid-19 saya mengalami fase kritis dimana pernafasan terganggu. Demi Tuhan dada seperti disayat dan susah untuk bernafas dua hari saya mengalami sesak nafas, keesokan harinya kembali normal dan hilang penciuman dan perasa. Aku merasa sangat beruntung karena hilangnya rasa dan penciuman pertanda akan kembali sehat. Sayang saat itu saking semangatnya saya berolahraga angkat beban dan juga ngepel lantai rumah. Awalnya semua baik-baik saja hingga akhirnya saat menjelang siang dada terasa nyeri dan kembali sesak nafas hingga dua hari kemudian. Ini sangat menyakitkan. Pernah oxymeter menunjukkan ke angka 88 dan naik kembali hingga 92 dan naik sampai ke 94.
Rasa khawatir akan kematian semakin mengerikan dikala seorang sahabat serta pasangannya yang berada di Bekasi mengirimkan cerita tentang kematian teman kerjanya. Begitu lancangnya mereka menakut-nakuti diriku yang sedang bersusah payah menghadapi penyakit ini. Keterlaluan mereka, saya kembali terguncang nilai oxymeter menurun dengan hitungan nadi naik hingga 100. Aku kalap dengan omongan jahanam mereka.
Hari terus saja memutar detik waktunya, penciuman mulai terasa kembali dan perasa juga. Beruntungnya aku diberikan kesempatan untuk menikmati hidup kembali, tak kalah beruntungnya teman-teman kerja saling support. Mereka yang mengunjugiku: dr Fitri, teh Elis, Hayati, Enok, Tiwi, Bu Hendiah, A Engkun, Sutarli, Evi, Pak Haji Ubai dna teman-teman yang selalu menyemangati aku melalui pesan WhatsApp.
Kak Maria Sukamto adalah salah satu orang yang penting dalam kehidupan ini, doa-doanya selalu membantu saya untuk kembali hidup dengan indah penuh kenikmatan. Sekali lagi terima kasih atas cinta kalian hingga membawaku menikmati hidup kembali.
Di malam ke-10 isolasi mandiri, 2 Agustus 2021
Komentar