Waktu sembahyang Subuh tinggal menanti satu bedug lagi. Mata Ki Bodin tampak mulai bergelayut. Maka Cebolang mencoba mengusir kantuk sang penjaga masjid itu dengan mengajaknya berbincang, "Kangmas Bodin, saya ingin tahu. Pada umumnya orang yang meninggal itu didoakan dengan selamatan. Saya belum tahu maksudnya, apakah ini sudah menjadi adat kemufakatan ataukah ada tuntunannya?"
Ki Bodin mulai terbuka lebar matanya, lalu menjawab, "Kanjeng Kiai pernah memerintahkan kepada saya: 'Hai Bodin, karena kamu ini sudah termasuk golongan kaum, sering diundang dalam acara selamatan, diminta memberi doa dalam segala macam kenduri, mendoakan arwah dan selamatan, lantas jika ada yang bertanya tentang tata-cara bagi orang yang sudah meninggal dunia sampai peringatan seribu harinya, bagaimana jawabanmu?'
"Saya pun menjawab sebisanya. Kanjeng Pangeran malah tertawa mendengar jawaban saya itu, lantas berkata: 'Hai Bodin, kamu harus tahu, kalau ditanya seperti itu maka jawabannya demikian. Menurut Kitab Tanajultarki (Tanazzul Taraqqi, menurun dan mendaki), asal mula selamatan surtanah bagi orang yang meninggal itu, bermula dari menempatkan jisimnya pada kain kafan serta menggusur tanahnya. Maksudnya, yang semula berada di alam sahir (saghir, kecil) sekarang sudah pindah ke alam kabir (kabiir, besar), yang abadi keadaannya, atau telah kembali ke asalnya.
"Orang meninggal itu diperingati pada hari ke-3. Itu dimaksudkan untuk menyempurnakan empat macam anasir (unsur- unsur), yaitu tanah, air, api, dan angin. Selamatan 7 hari dimaksudkan untuk menyempurnakan kulit dan bulu. Selamatan 40 hari itu adalah untuk menyempurnakan bawaan dari pihak ayah dan ibu, yakni yang berwujud darah, sumsum, daging, isi perut, kuku, rambut, tulang, dan kedelapan otot. Selamatan 100 hari adalah untuk menyempurnakan sifat badan wadag (jasmani). Selamatan pendhak sapisan atau 1 tahun adalah untuk menyempurnakan kulit, daging, dan isi perut. Selamatan pendhak kapindho atau 2 tahun adalah untuk menyempurnakan keadaan semuanya. yakni kulit, darah, dan sebagainya, hingga tinggal menyisakan tulang. Dan selamatan 1.000 hari itu adalah selamatan yang terakhir, yakni untuk menyempurnakan segala bau dan rahsa. Pada selamatan 1.000 hari itulah hilang bau dan rasanya, keris yang dipisahkan dari sarungnya. Tak ada keris yang masuk ke dalam sarungan, tapi sarungan yang memasuki keris."
"Begitulah apa yang pernah saya terima dari Kanjeng Pangeran Tembayat. Adapun mengenai Kitab Tanajulturki itu dikenal juga dengan nama Kitab Adam Sarpin. Namun demikian selama ini belum ada yang pernah menanyakannya ke padaku, baru engkau saja, Dimas Cebolang. Wah, rasanya sekarang sudah masanya memukul bedug."
Kutipan teks di atas merupakan bagian dari naskah novelisasi Serat Centhini Jilid 3.
Komentar