Desa Wirasaba di daerah perbatasan dan juga menjadi pusat keramaian menjadi titik penginapan dari Cebolang di sana mereka menginap di rumah Ki Panghulu Jamal. Awalnya istri Ki Panghulu yang mengetahui keberadaan mereka yang dikejar banyak wanita di pasar. Cerita tentang kemaunahan Cebolang nyatanya sudah sampai telinga masyarakat Wirasaba, jelas istri Ki Panghulu menginginkan kemaunahan Cebolang di rumahnya. Bagiku episode ini adakah episode transaksi dimana sang tuan rumah menginginkan kemurahan dan kepincut kegagahan dari Cebolang.
Ternyata tinggal di Wirasaba cukup lama sehingga banyak santri yang belajar tari, budaya dan agama ke Cebolang. Tiba saatnya acara puputan bayi dari Adipati Wirasaba, mereka mengadakan persembahan berupa tayuban dengan membawa terbang (alat musik). Tidak saja di Wonogiri pertunjukan yang mereka sajikan selalu mengundang syahwat baik laki-laki maupun perempuan, bahkan saat ini lebih parah lagi. Sebagai contoh pada Mbok Subur yang rela berbagi kenikmatan dengan lelaki lai saat menonton tayuban. Beberapa pria mengantre untuk masuk ke ruang kenikmatan Mbok Subur, padahal sebelahnya Ki Dul Subur. Hanya saja karena keindahan tubuh Nurwitri yang sedang bertayub membuat kekhusuan tersendiri baginya. Berbagai kejadian pun tak luput dari nuansa syahwat, seperti selir Ki Adipati, Jahemanis yang dijamah oleh penonton hingga telanjang bulat dan seorang penonton pria juga tergiur oleh tubuhnya. Pria tersebut pun bertelanjang diri tanpa malu untuk menuruti rasa surgawi itu. Nampaknya 'sihir' dari air umbul keramat Jumprit mujarab dengan membawa kharisma, kegagahan dan nafsu birahi.
Segmen ini memang sepertinya dibuat puncak sebuah kegilaan dan nafsu supiyah. Selain Ki Penghulu dan istri yang mengharapkan maunah dari Cebolang ada juga Ki Jamal yang menggerutu mengharap imbalan makanan, uang dan pakaian pemberian dari Adipati. Segmen ini terasa lebih ke transaksi dan tidak banyak ilmu ketulusan ataupun agama yang masuk.
Urusan gemblak dan warok telah usai di jilid sebelumnya, namun perkara seks dengan sejenis masih berlanjut dan lebih menggila kembali. Adipati Wirasaba sedari awal pertunjukan memang mengidamkan tubuh Nurwitri yang lemah gemulai dengan paras yang ayu. Setelah pertunjukan Cebolang dan Nurwitri dipisahkan, di sinilah mula Nurwitri menjadi sasaran nafsu yang takkan pernah diraih di surga nanti.
"Gairah Ki Adipati semakin memuncak, namun ada terselip rasa iba melihat Nurwitri. Kasihan kalau lawannya itu nantinya mengerang kesakitan. Namun rasa iba dan kasihan yang sedari semula menggelayut itu berubah seketika saat Nurwit berulah. Barulah Ki Adipati tahu, rupanya Nurwitri lebih ganas dari yang ia kira, lebih berpengalaman dari yang ia duga. Sontak keraguan itu sirna, berubah menjadi gejolak membara yang membuncah di ubun-ubun kepala".
Tak kalah menggila Cebolang selalu melakukan olah asmara dengan setiap wanita yang datang ke pondokannya, bahkan dia berani membayar lebih kepada wanita yang datang. Setiap wanita yang cantik menambah uang yang akan diberikan. Kegilaan bertambah lagi tatkala Adipati Wirasaba meminta Cebolang menjadi gemblaknya bersama Nurwitri. Tak hanya itu mereka juga kadang melakukan threesome.
"Masih duduk di atas ranjang. Kiai Adipati diapit oleh Cebolang dan Nurwitri. Ia rangkul kedua pundaknya, ia renggut lehernya, ia ciumi sepuasnya. Pipi dan bibir juga tak lepas dari jarahannya. Setelah puas ia merebahkan diri, tergeletak tiduran."
Istana Adipati Wirasaba semakin hari semakin gila dengan nafsu syahwat baik yang biasa dan tidak biasa. Para selir dan abdi Adipati mendapatkan jatah zakar dari Nurwitri dan Cebolang. Saat itulah Cebolang menjadi raja dalam kenikmatan surgawi baik hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Sementara Nurwitri seakan-akan menjadi pilihan kedua yang terbaik untuk menjadi pemberi nikmat seksual.
Adipati masih gandrung dan gila akan permainan seks dengan Cebolang dan Nurwitri, saat Cebolang menjadi gemblak Adipati, maka Nurwitri pulang ke pondokan. Saat pulang pun mereka menjajakan zakar mereka pada perempuan-perempuan Wirasaba termasuk pada tuan rumah. Begitu juga dengan Cebolang menjajakan zakarnya pada setiap wanita baik yang datang maupun yang mengantre di pinggir jalan. Istri dan Ki Jamal seakan-akan menikmati kelimpahan harta dari sawer Nurwitri dan Cebolang. Begitu juga dengan istri Ki Jamal diam-diam menyambi menjadi germo bagi Nurwitri dan Cebolang.
Siang malam istana menjadi tempat perkelaminan yang tiada akhir baik dari Nurwitri dan Cebolang. Hubungan ini seperti hal yang menjijikkan, namun selalu dinikmati dna dirindui bagi yang telah mencicipi zakar dari kedua orang tersebut.
"Cebolang menunjukkan kesejatiannya sebagai pria. Ia puaskan dirinya, dan terutama si selir yang empot-empotan menahan gempuran senopatinya. Usai bermain, ia tinggalkan beberapa uang logam, hasil pemberian dari Ki Adipati yang baru saja ia terima. Inilah pembalasan yang setimpal, batinnya sambil membayangkan sosok Ki Adipati."
Ada segmen dimana menjadi hal yang lucu, rasa penasaran Adipati akan sensasi seksual menjadi 'perempuan' bangkit dan ingin mencobanya. Saat itu Cebolang yang ditunjuk, maklum saja Cebolang mempunyai daya magis tinggi untuk hal seksual. Terlebih lagi Cebolang mempunyai ajian pangontong-ontong. Ajian ini bisa mengatur panjang pendeknya serta besar kecilnya zakar yang dia miliki. Saat Adipati mencoba sensasi itu ternyata mulai mengaduh, keringat dingin bercucuran dan jatun sakit karena disodok dengan zakar bambu petung yang amat besar.
"Cebolang melirik pada Nurwitri. Ada sebuah isyarat dari tatapan mereka, lalu keduanya tertawa ngikik. Lantas Cebolang menjawab, "Kiai, perbedaannya sangat besar. Jauh lebih nikmat yang dicumbu karena rasa debarnya lebih merata, hati terasa terhanyut, tenang, pikiran terasa melayang, bulu kuduk berdiri nikmat, merinding enak saat diraba. Pokoknya berperan sebagai perempuan itu lebih enak, Kiai."
Nampaknya kegilaan ini mulai akan hilang dengan adanya kecemburuan dari pihak Ki Jamal dimana istri mudanya terlalu sering mendapat zakar dari Nurwitri dan Cebolang. Pula pada Adipati yang sudah enggan dengan aktifitas seksual, mungkin saja karena tusukan zakar yang sebesar bambu petung Cebolang. Gembar-gembor pengusiran sudah tercium dan terencana, namun tidak jadi karena pertimbangan persahabatan Cebolang dan para orang terpandang di Mataram. Tentu saja pengusiran tersebut berdampak pada nama baik Wirasaba, hingga ada rencana kedua yakni rencana pembunuhan.
Berita usiran dan ancaman pembunuhan inilah menjadi antiklimaks dari pengembara pemilik zakar kuat itu. Kini Cebolang menangis dalam hati menyadari hatinya ditutupi nafsu supiyah yang kelam. Selepas bermunajat bakda solat Maghrib Cebolang dan empat santrinya mendapat kesempatan untuk bertobat. Kesempatan ini diambil dengan cara kabur dari rumah Ki Jamal menuju hutan belantara meninggalkan Wirasaba.
Pertobatan ini menjadi penyesalan yang mendalam bagi Cebolang sampai-sampai dia hendak pulang ke Sokayasa. Namun santri Saloka mengingatkan akan tujuannya menggapai ilmu kesempurnaan. Saloka menasehati agar Cebolang pulang harus dengan ilmu yang sempurna, bukan sebuah kegagalan. Akhirnya Cebolang pergi menuju Ki Buyut Danadarma di Semeru atas usulan Saloka. Ki Buyut Danadarma ini bersemedi di gunung Semeru dan sudah masuk dalam dejarat ngaraga suksma dan tekun melakukan mati raga.
Kelima orang tersebut sudah sampai di gunung Semeru, namun tidak pernah menemukan Ki Buyut Danadarma. Beberapa santri merasa kalah dan menyerah, lain dengaj Cebolang gigih dalam pencarian jalan tobat dengan bertemu Ki Buyut. Sembahyang hajat pun telah dilakukan, berbagai munajat dilakukan namun tak kunjung bertemu gua dan Ki Buyut. Saat keempat santri terpuruk karena ganasnya alam dan tidak ada makanan Cebolang melihat secercah cahaya sehingga gua yang dituju terlihat. Pada saat itulah dia bertemu dengan Ki Buyut yang merupakan teman sejati dari ayahnya. Hatinya terkoyak antara malu dan gembira.
"Apakah kamu benar-benar hendak bertobat?" tanya Ki Buyut. Mas Cebolang kembali bersujud di kaki sang resi, berkata sambil terbata-bata, "Benar, Kiai. Hamba benar-benar hendak bertobat, tak akan lagi hamba melakukan perbuatan nista seperti itu."
Tangis penyesalan Cebolang menjadi penebus dosa dari hawa nafsu zakar yang telah ia jajakan pada setiap orang. Keyakinan bertobat diterima Ki Buyut hingga diajak masuk gua dan diberi ilmu emanasi, nur Muhammad dan ilmu hakekat. Pengajaran ini seperti sikap zuhud pada kehidupan para sufi. Setelah mendapatkan ilmu, Ki Buyut memerintahkan Cebolang kembali ke Sokayasa karena di sana ada Jayengsari dan Racakapti yang akan menjadi jalan cerita hidupnya.
Kepulangan Cebolang menjadi anugrah yang mulia dari Sang Maha Agung, Syekh Ahadiat dan istri tak bisa membendung kebahagiaan karena menemui permata hatinya. Pertobatan Cebolang juga menjadi hal yang teristimewa. Kini Cebolang menikah dengan Rancakapti anak selir dari Sunan Giri. Selanjutnya Syekh Ahadiat dan Nyai meninggal dunia dan tak terpaut lama, hanya berselang tujuh hari saja.
=========================================================
Jilid 5 ini membelah jalan cerita dari perjalanan Cebolang ke sebuah pertemuan dengan Jayengsari dan Rancakapti. Babak baru ini ditandai dengan perubahan nama yang diberikan dari guru-guru mereka. Syekh Hercaranu memberikan nama baru pada Cebolang dengan sebutan Syekh Anggungrimang, Jayengsari berganti menjadi Syekh Mangunrasa dan santri Buras menjadi Ki Santri Montel. Sementara istri Cebolang atau Syekh Anggungrimang tetap pada nama aslinya yakni Rancangkapti. Di sisi lain cerita berjalan pada kehidupan Jayengresmi di tlatah kulon nusa Jawa. Oleh gurunya Syekh Karang diberikan nama baru yakni Syekh Amongraga. Tak luput dua abdi Jayengresmi diubah nama dari Gathak dan Gathuk menjadi Jamal dan Jamil.
Usai pemberian nama baru, Syekh Amongraga dilepas Syekh Karang untuk mencari adik-adiknya. Perjalanan mengarah ke tlatah wétan Jawa, beberapa padepokan dan rumah disinggahi. Wajah tampan dan tingginya ilmu Syekh Amongraga menjadi titik gelisah dari putri kiyai-kiyai yang disinggahi. Beberapa ada yang tertolak, juga ada yang digantung. Syekh Amongraga menolak karena masih fokus pada pencarian ilmu juga pada kedua adiknya yang masih belum bertemu.
Pelajaran-pelajaran ilmu tasawuf ditebarkan juga dipungut di beberapa padepokan. Hingga akhirnya Ki Amongraga sampai pada padepokan Ki Bayu Panurta, di sana juga Ki Amongraga dijodohkan dengan anaknya Niken Tambangraras. Awalnya Niken Tambangraras tidak percaya akan keilmuan dari Ki Amongraga. Setelah beberapa penjelasan dada Niken Tambangraras mendesir kuat hingga lemas karena panah asmara.
"Amongraga tersenyum lalu menjabarkan, "Ilmu itu akan lebih utama jika sesuai dengan hati nurani. Yang dikatakan se bagai ilmu yang sebenarnya itu memang tanpa tempat, tanpa waktu, dan tanpa perlu ditulis. Itu adalah ilmu yang terkandung dalam Al-Quran dan kitab-kitab sejenisnya. Jika sudah menyatu dengan hati dan diri kita maka isi kitab itu akan mudah dihapal dan diucapkan tanpa perlu ditulis, sehingga dapat kita bawa ke mana pun sesuai kehendak kita".
Segmen cerita ini juga mengungkap nama yang dijadikan serat ini begitu popular, Centhini. Nama yang mashur, nama yang lekat pada serat ini. Diceritakan Centhini adalah abdi dalem dari Niken Tambangraras di keluarga Ki Bayu Panurta. Saya belum tahu kenapa mesti nama Centhini yang menjadi judul serat ini, untuk jawabannya sendiri saya tidak mau hanya mendengar atau membaca jawaban langsung. Dari cerita selanjutnya mungkin akan mendapatkan alasan kenapa nama Centhini dijadikan nama serat.
"Dua pelayan Centhini dan Sumbaling-juga tampak ber- sama tuan mereka, bersama-sama dengan jamaah wanita lain- nya. Centhini, sang pembantu Tambangraras ini memang me- miliki kesesuaian dengan tuan putrinya, sama-sama berminat besar terhadap ilmu agama. Karena itulah Tambangraras begitu mengasihi Centhini."
Kisah-kisah akan keilmuan Syekh Amongraga selalu menyertai semenjak kepergiannya dari padepokan Karang, tidak banyak ilmu lain yang muncul baik ilmu tentang kebudayaan, ataupun ilmu tentang teknik dalam kehidupan. Pada akhir cerita wawasan kebudayaan muncul saat malam midodareni. Di sini terdapat kegilaan yang lagi-lagi dalam bentuk seks.
Para nyai yang sudah bersuami tak malu berkerumun membentuk kelompok arisan yang saling membagi pengalaman bercinta dengan lelaki, baik suaminya sendiri, mantan suami, pria di jalanan dan selingkuhan. Mereka bukan saja bercerita soal bentuk kepuasan birahi, juga bercerita panjang besar zakar, olah asmara dengan berbagai bentuk zakar dan juga ada yang lebih membengongkam dimana Nyai satu ini demen berselingkuh, termasuk dengan suami-suami dari perempuan yang diajak biacara.
"Saya juga ketagihan untuk bermain dengan laki-laki lain, semua ingin saya coba. Pokoknya tak terhitung jumlahnya. Dari yang miliknya besar, kecil, panjang pendek, yang keras menegang, yang agak loyo, yang pipih, yang lingkarnya lunak, yang ujungnya lancip, atau yang ujungnya mbendhol, yang tahan lama sekali, sampai yang tiba-tiba lunglai di tengah-tengah kerja, semuanya sudah saya coba. Pernah juga saya bermain dengan tiga orang sekaligus, bahkan pernah dengan 12 orang sekaligus. Saya dimiringkan, ditelentangkan, disodok dari belakang, sambil duduk, sambil berdiri, menungging, saya di atas, dipangku... ah pokoknya se- aka gaya saya. Jika begituan, saya memang tak suka model ang itu-itu saja, saya telentang terus ditindih, bosan rasanya. Paling enak itu yang banyak gayanya, berganti-ganti geraknya."
Malam midodareni Niken Tambangraras semakin meriah dan menjadi, baik dari segi hiburan dan juga orang-orangnya. Ada yang bersalawat, terbangan, bermain catur dan lain sebagainya. Sementara Syekh Amongraga berwudhu dan menyepi. Sisi lain calon adik ipar Syekh Amongraga yang gandrung akan kesenian semakin menjadi, walaupun anak kiyai tetap berjoget hingga puas. Ronggeng lanang pun diundnag untuk menemani bertayub.
Kegilaan ini tak sampai di situ saja, ritual seks pun terjadi antara Jayengraga dan dua ronggeng lanang yang ia undang. Perkelaminan ini terjadi karena hasrat yang memuncak, terbakar dari liukan dan gemulainya tarian dari sang ronggeng. Sebelum fajar subuh mendera, Jayengraga meminta dia ronggeng lanang menemani di kamarnya. Awalnya hanya diarahkan untuk memegang pundaknya dan memijat, namun lama kelamaan mengarah pada selangkangan. Obrolan cabul keluar dengan perbandingan ukuran dari orang-orang yang pernah mencicipi kedua ronggeng itu.
"Jayengraga tersenyum. Edan, batinnya. Rasa penyesalan telah sirna. Ia gandeng dua ronggeng itu ke dalam kamar. Disuruhnya mereka melepas pakaian ronggeng. Dinding-dinding kamar menjadi saksi bisu atas kejadian di waktu subuh itu".
Kepalang basah dan tanggung, air mani keluar karena remasan mereka berdua. Tak tanggung ajakan dua ronggeng akhirnya membawa kenikmatan yang tidak akan ditemukan di surga.
Akhir jilid ini berisi 26 wangsalan. Seni wangsalan adalah seni teka-teki yang berisi jawabannya yang tidak terhubung langsung dengan isi cerita. Semuanya berupa pelesetan kata.
Judul: Serat Centhini 5: Pertobatan Cebolang & Syekh Amongraga Menjemput Jodoh
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Dimensi: VIII + 324 hlm, 15x23 cm
Terbitan: Pertama, 2015
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-285-1 & (13): 978-979-383-285-2
Komentar