Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Serat Centhini 2: Pengembaraan Cebolang Mencari Jati Diri

Serat Centhini adalah naskah sastra Jawa yang istimewa, baik dari segi ketebalan maupun kandungannya. Ketebalannya sekitar 4.200 halaman yang terdiri dari 12 jilid. Serat Centhini juga merupakan naskah tertebal yang pernah ada di Jawa maupun Nusantara ini, masyarakat setuju bahwa Serat Centhini sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa.

Serat Centhini sebenarnya bukan nama asli dari serat, melainkan nama populer. Centhini sendiri diambil dari pembantu atau abdi dari Niken Tambangraras. Dalam serat terdapat banyak ilmu yang terkandung bukan hanya soal budaya, mistik, filsafat, tetapi juga ada kuliner, obat-obatan, flora fauna dan lain sebagainya.

========================================================
Cerita perjalanan anak-anak Sunan Giri telah usai di bagian pertama Serat Centhini. Setelah Jayengsari bertamu ke Syekh Ahadiat di Gunung Sokayasa, kini cerita bergulir pada anaknya Syekh Ahadiat yang bernama Cebolang. Saya tidak paham pergantian cerita ini, apakah diceritakan Syekh Ahadiat kepada Jayengsari atau memang cerita ini muncul dengan independen, tanpa ada sangkut paut dengan perjalanan Jayengsari. 

Paras Cebolang sendiri digambarkan sebagai orang kharismatik, rupawan, kulit halus, dan mempunyai gaya bicara yang khas dan mencuri perhatian orang yang menjadi lawan bicaranya. Darah muda mengalir keras dan membakar seluruh semangatnya hingga memutuskan untuk berkelana. Niat berkelana ini bukan saja untuk berjalan-jalan saja, melainkan untuk mendapatkan jati diri. Awal perjalanan dimulai ke arah barat daya menuju Banyumas dan wilayah Cilacap dan kembali ke arah timur ke berbagai tempat. Berbagi ilmu didapati dari seseorang yang ditemui termasuk dari pimpinan ronggeng, syeh dan lain sebagainya.
Perjalanan keilmuan yang didapat dari bertanya ke ahli-ahli terkonsentrasi di wilayah ibu kota kerajaan Mataram yakni di Kotagedhe, dimana di sana banyak sekali ahli-ahli kesultanan. Cebolang sendiri mendapatkan banyak ilmu seperti ilmu keris, menunggang kuda, primbon tentang alam bahkan cerita-cerita dari Timur Tengah. Di sini Cebolang tidak hanya mendapatkan ilmu yang bersifat maskulin saja, ia mendapatkan ilmu yang bersifat feminin juga. Contohnya saat dia diberi wejangan soal ilmu rangkai bunga, cara menyusun sesaji dan sabuk pengantin oleh Nyi Padmasusastra.

Cerita Nyai Khasanah dalam Kisah Kesetiaan Istri dan juga Kisah Siti Murtasiyah menjadi menarik. Dua kisah ini nampaknya bertautan dengan kisah-kisah yang diambil dari Dongeng 1001 Malam. Urutan cerita dan gaya ceritapun sama, hanya saja ada proses asimilasi seperti penyebutan Ki dan Nyai. Jadi terasa lebih Jawa. Kemungkinan Nyai Atikah memang mendapatkan pengetahuan cerita-cerita Timur Tengah ini bersumber dari Dongeng 1001 Malam. Hal 285.

Pada akhir buku banyak menceritakan pewayangan yang unik, ada satu paragraf yang aneh dan membuat perut kita mual seketika. Begini kalimatnya: "Tapi aku tak kecewa, karena tiap pagi sewaktu buang air besar, keluarlah jenang alot itu satu persatu. Ku ambil semuanya, masih utuh seperti semula. Lumayan untuk sarapan pagi sampai tiga hari. Setelah keluar jenang, ternyata masih keluar sesuatu seperti pisang. Tapi aku masih ragu-ragu, lalu aku amati apakah itu kotoran ataukah pisang. Kalau kotoran kok bentuknya seperti wajik, halus sekali. Lantas aku berpikir, ini adalah anugerah dari dewa. Itu adalah pisang kepok hasil dari kukusan para bidadari yang dikaruniakan kepadaku. Lantas aku coba mencicipinya. Rasanya empuk dan agak sepet, hanya saja baunya agak busuk. Berarti itu adalah pisang. Aku pun jadi senang. Semenjak itu, setiap kali buang hajat aku selalu memerhatikan, jika yang keluar seperti pisang maka langsung aku ambil, kemudian aku makan dengan sembunyi Aku malu kalau ketahuan oleh orang lain, dikiranya aku makan kotoran, padahal sebenarnya aku makan pisang."

Mual kan? Cerita perjalanan Cebolang masih berlangsung pada jilid ke-tiga.

Judul: Serat Centhini 2 - Pengembaran Cebolang Mencari Jati Diri
Ditutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyelaras: Tri Admojo
Terbitan: Cetakan Pertama, 2015
Dimensi: X + 446 hlm, 15X23 cm
Penerbit: Cakrawala - Yogyakarta 
ISBN: (10) 979-838-282-7 & (13) 978-979-383-282-1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d