Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Serat Centhini 4: Antara Cebolang dan Nyai Demang

Beberapa bab di Serat Centhini 4 merupakan bagian bab 3, hal tersebut berhubung dengan keterkaitan sebuah cerita sehingga beberapa bab disatukan/masuk ke dalam Jilid 4. Sejatinya dalam Serat Centhini yang asli beberapa bab di Jilid 4 masuk ke Jilid 3. Kebersinambungan cerita menjadi dasar pengelompokan cerita dan jilid pada novelisasi Serat Centhini ini.

Cebolang sudah mengarah ke matahari terbit dimana tujuannya mencari ilmu hingga mencapai kesempurnaan. Setelah dari bukit Tembalang kini kembali ke selatan ke sebuah lapangan rumput yang bernama Wanakarta yang nantinya akan menjadi Kartasura.

Pada jilid 4 akan banyak ujian supiyah yang ditemukan Cebolang dan empat santrinya. Beberapa ilmu tentang Jawa masih mengalir juga di jilid ini. Semakin jauh semakin banyak ilmu yang didapatkan.

=========================================================

Sebagai pusaka Jawa Serat Centhini menghadirkan berbagai keilmuan termasuk ilmu pengobatan tradisional, pada bab ini Ki Saloka yang terlalu banyak mengambil kapur saat menginang diberikan resep penawar rasa panas dari kapur sirih yakni dengan mengunyah tiga buah cengkih. Gayung bersambut Nini Wanakarta menjawab dan menerangkan aneka resep tradisional untuk berbagi penyakit dan kondisi kesehatan. Sebagai contoh resep dari Nini Wanakarta: 

"Badan bengkak tanpa sebab yang jelas, obatnya adalah: asam kawak dan kayu manis yang ditumbuk halus, lalu dibedakkan pada yang bengkak. Jika seluruh badan yang bengkak maka obatnya adalah: 3 iris jahe dan akar pohon rempelas, ditumbuk lalu dibedakkan. Obat lainnya untuk sakit ini adalah: kelopak buah kudhu dan 7 butir beras, dikunyah lalu disemburkan secara merata".

Resep di atas ternyata sampai sekarang pun masih digunakan oleh beberapa orang termasuk dalam keluargaku, seperti terkena gatal atau brngkak dengan mengoleskan asam jawa cair ataupun dengan kunyahan beras ditambah dengan kunyit dan dibalurkan ke tempat yang bengkak tersebut.

Karena resep tradisional berasal dari zaman baheula sehingga takaran pun menggunakan kebasaan zaman dulu semisal dengan menggunakan ukuran logam uang saat itu. Ada hal menarik dari sebuah pengobatan ini, mereka tidak lupa akan kondisi psikologi seseorang. Seperti yang dituturkan bahwa ura-ura (bersenandung) akan membuat orang lebih sehat. Berarti dalam hal ini pengobatan bukan saja tertuju pada raga, namun jiwa juga.

Ramalan termasyur kebudayaan Jawa pun diangkat di sini seperti ramalan Jayabaya dan juga tanda-tanda hari kiamat. Semuanya terjabarkan dengan jelas dan enak untuk dibaca walaupun menggunakan kata yang berulang. Jilid 4 ini salah satu jilid 'panas' karena mengandung ajaran asamaragama, walaupun dibuat halus kadang membuat pusat syahwat menjadi keteng walaupun tidak menyobek kain penutupnya. Selain urusan syahwat biasa, juga bercerita tentang syahwat liar biasa dengan adanya cerita warok gemblak. 

Indraasmara selaku guru asmaragama mengajarkan beberapa jurus, tanda-tanda klimaks dan tanda-tanda pada perempuan. Indraasmara sendiri mendapatkan ilmu dari titen dari satu tubuh ke tubuh lainnya sehingga terhimpun menjadi pengetahuan dan disimpulkan menjadi hal yang dicirikan. Maklum saja Indraasmara ini ganteng dan mempunyai kharisma juga bersyahwat besar. Ia sendiri mempunyai empat orang istri, diakuinya juga sering bermain ranjang dengan perempuan lain untuk mendapatkan kenikmatan surgawi. Ajaran indraasmara persis seperti ilmu Kamasutra dengan gerakan, gaya dan olah jiwa saat bercinta. 

"Bagi wanita sengoh, masuknya kemaluan laki-laki ke dalam liang senggama wanita hendaknya diarahkan tepat di sebelah bawah kanan pamatan (kelentit). Maka selanjutnya akan terjadi pergesekan di tempat yang lebih dalam, yakni di lubang tengah. Namun ini bisa terjadi jika istri dalam posisi antara tidur dan duduk, kedua lutut ditarik ke atas, kedua kaki ditegakkan dan direnggangkan".

Setelah belajar olah asmara pada Indraasnara ternyata Cebolang mendapatkan 'rejeki' sehingga ilmu yang didapat bisa dipraktekkan langsung. Kejadian ini terjadi saat diundang oleh janda Ki Demang untuk keperluan peringatan hari kematian suaminya. Nyi Demang sudah lama menjanda, jadi terlalu haus belaian daging kecil bak pena yang tegak. Walaupun berstatus janda Nyi Demang masuh tampak ayu dan singset. Cebolang saat itu menyamar menjadi perempuan karena awalnya memang diundang untuk manggung, pada hari berikutnya Cebolang yang menyamar itu diundang untuk menginap. Nah saat meninap itulah jati diri Cebolang terungkap dengan pusat syahwat yang menegang. 

Kalimat-kalimat yang disusun untuk penggambaran aktifitas seksual di sini amatlah halus dengan perumpamaan peperangan antara 'senopati' (penis) dan 'ratu sebagai 'vagina', susunan kata ini menjadi sangat indah dan nakal.

"Sang senopati sudah berada di hadapan gerbang nan terbuka, disambut oleh sang Ratu yang menanti di dalam istana dengan senyum menggoda. Senopati tak sabar menahan diri, dalam sekejap ia sudah melompat dan memasuki istana hingga bergumul dengan sang Ratu, berkumpul saling melilit. Hingga, Sang Ratu terus berperang mempertahankan istananya kepada Senopati yang masih mengamuk sambil bersuka ria demi me Bhat sang Ratu kian terdesak. Kini Senopati benar-benar berjaya, mandi dan berenang di dalam kolam istana nan megah lama-kelamaan, ia mandi makin ke tengah. Sesekali ia merasa kaget bagai tersengat saat kepalanya bersentuhan dengan daun teratai merah, kadang kaget saat diganggu oleh ikan-ikan yang bergerak, namun semua itu malah membuat gairah perangnya kian menggelora. Pertarungan itu kian sengit saja, hingga saat keduanya mencapai puncak pertarungan, Senopati dan Ratu sama-sama mengeluarkan aji pamungkasnya. Seketika mereka berdua lemas bagaikan hendak mati saja, lemas lunglai tiada daya. Pertarungan pun berakhir".

Cerita soal masalah 'panas-panas' nan nakal ini bukan hanya pada sebuah hubungan heteroseksual saja. Pada jilid 4 ini juga ada cerita tentang hubungan homoseksual yakni pada bagian Melayani Warok dan Gemblak halaman 287. Saat itu Cebolang dan santrinya Nurwitri berdandan seperti perempuan, seperti biasanya jika mereka berdandan seperti perempuan untuk keperluan menari. Nah di sinilah para Warok menginginkan kedua laki-laki yang berparas cantik itu. 

Tak disangka Cebolang dan Nurwitri dua laki-laki berparas gagah dan juga ayu itu bersedia melayani warok yang menang dalam pertempuran. Tak kalah mengagetkan mereka melayani banyak warok dan juga mereka berganti posisi peran dalam seksual. Saat melayani warok mereka berposisi sebagai 'perempuan', dan mereka berposisi sebagai 'laki-laki saat melayani nafsu dari gemblak. Tak hanya satu dua kali tidur, namun berkali-kali hingga sebagian warok dan gemblak kebagian. Saat di Ponorogo juga Nurwitri dan Cebolang beberapa kali berolah asmara dengan perempuan-perempuan yang mondok di Ki Nursubadya. Takkalah 'panas' mereka melakukan olah asmara, mungkin pembaca ada yang bertanya kenapa hanya Cebolang dan Nurwitri saja yang berolahasmara? Kemana tiga santri lainnya. Pada jilid sebelumnya hanya Cebolang saja yang mandi di tirta yang membuat berkharisma, gagah, mempunyai daya seksual tinggi dan awet muda. Sementara santri pengikutnya hanya Nurwitri saja yang membasuh mukanya dengan air tersebut. Oleh karena air itulah mereka lebih sering berolah asmara.

"Dua orang warok dipersilakan masuk duluan ke dalam pondokan. Cebolang dan Nurwitri memberikan pelayanan yang tak biasa. Kali ini mereka berdua tak lagi berperan sebagai senopati perkasa yang menyerang istana Ratu. Peran mereka berganti menjadi pemilik istana yang harus menghadapi serbuan dahsyat, diterjang palu godam milik warok yang kesetanan penuh nafsu. Mula pertama kesakitan, pada akhirnya mereka berdua menikmati serbuan itu dan menjadikannya sebagai pertarungan seperti yang sudah-sudah. Peperangan pertama usai. Gantian dua gemblak masuk, Peran Cebolang dan Nurwitri berganti. Kini mereka berdua sebagai senopati yang menyerang musuh, memberikan kepuasan pada dua laki-kaki kemayu yang terengah-engah. Usai pertarungan kedua, disusul pertarungan ketiga, keempat, sampai kesepuluh. Dua puluh orang sudah yang mendapat kepuasan dari Cebolang dan Nurwitri, dengan gaya yang berbeda-beda. Masih banyak laki-laki di luar pondokan yang belum kebagian, tapi Cebolang meminta mereka kembali besoknya lagi karena ia dan Nurwitri masih cukup lama tinggal di Selaung. Semua bubar dan kembali sehari kemudian. Menantikan pelajaran berharga dari dua laki-laki hebat itu".

Adegan-adegan di atas merupakan cerita nafsu supiyah, sementara teks yang lain menceritakan bagaimana fungsi manfaat dari asmaul husna, juga kisah Dewa Ruci sebagai intropeksi diri. Pelajaran tentang wayang pun dibahas pada jilid ini. Kisah-kisah dari Timur Tengah yang mirip dengan Dongeng 1001 Malam pun muncul dengan kisah berjudul Kisah Raja Sam dan kisah Katim Tahyi dengan berbagai hikmah yang dikandung pembaca dapat memperolehnya dengan suguhan kalimat sastra nan apik.

Pada akhir jilid Cebolang dan kawan santri menetap dan mempelajari beberapa ilmu agama juga budaya pada Syekh Matyasta. Setelah beberapa tinggal Syekh Matyasta mengantar pengembaraan Cebolang untuk berjalan kembali ke desa Wirasaba.

Judul: Serat Centhini 4: Antara Cebolang dan Nyai Demang
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: X + 390 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-284-3 & (13): 978-979-383-284-5



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d