Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Serat Centhini 6: Pernikahan Syekh Amograga dan Tambangraras

Pernikahan Syekh Amongraga dan Niken Tembangraras mengingatkan saya pada upacara pernikahan anak orang kaya di perkampungan saat tahun 90-an dimana tampak kebersamaan, penuh suka cita, pelibatan masyarakat dan kesederhanaan. 

Syekh Amongraga memang menginginkan agar upacara pernikahannya digelar dengan sederhana, namun calon mertua perempuannya menginginkan hal yang terbaik untuk anak perempuan sulungnya. Walaupun dikatakan sederhana nyatanya tampak mewah, banyak sumbangan yang diberikan dari para pembesar dan banyak tamu dari masyarakat sekitar dan juga dari desa sekitarnya. Persiapan sudah matang, perbelanjaan seperti bumbu, bebungaan dan lain sebagainya sudah siap. 

Tak ubahnya zaman dulu dan sekarang saat upacara pernikahan banyak yang membantu dikediaman sohibul hajat, dari membantu memasak, menyembelih hewan peliharaan, mempersiapkan blandongan. Begitu juga pada sikap orang-orangnya dimana saat diundang menjadi tamu akan memperlihatkan keduniawian berupa sandang dan perhiasan sehingga level sosialnya tampak. Suasana hajatan pun tak kalah ramai seperti usilnya bocah-bocah yang kadang membuat ulah di sebuah pesta hajatan. Juga para tetamu aji mumpung untuk makan sepuasnya.

Perkawinan akbar ini tak kurang dari pangan yang disediakan untuk para tetamu yang datang. Saking banyaknya yang memberikan beberapa ada yang disimpan juga dibagikan kembali dengan cara dimasak dengan berbagai macam cara. Ada beberapa makanan yang baru terdengar namanya, ada juga yang masih eksis sampai saat ini. 

"Dilengkapi sayur-mayur lainnya, ada kacang kecipir, timun terung, buncis, kemangi, ranti blodheh, pare belut, pete, jengkol, terong air, irisan kulit jeruk, cokol bung, pupus, kencur, lokak selat, kobis, kucai, seledri, patraseli, bawang merah, suru, ra menas, sawi, rawetol, acar kecap, tahu petis, cabai merah, cabai hijau. Lengkaplah lauk beserta uraban yang terhidang. Tersaji juga aneka masakan lainnya, yakni kue wajik, ketan salak, gemblong, ulen-ulen, tetel onggok, wingko, gethuk jenang krasikan, geplak madu, serat inthil, tawonan, jenang jagung, grontol, karag, berondong, serabi, kumbu, lapis, ceng karuk, ketan ragen, iwel iwel, lepet, ulu-ulu, ampyang, gablog, lonthong, kupat, tape, brem, ledre, satru, opak, gulali, carabi kang, jipang, ondhe-ondhe, gandhös, celorot, roti, bolu, cothot, emplek, kepel, limpang limpung, rengginang, ceriping, jalabiya, carang madu, rambutan, brem, klepon, widaran, apem, cucur, puthu mayang, utri, lemper, lemet, pasung meniran, jongkong kue kemplang, semar mendem, srikaya, pipis, kopyor ..."

Usai sudah acara ijab kobul, berbagai hiburan untuk para tetamu sudah purna dihidangkan termasuk juadahnya. Kini Syekh Amongraga dan Niken Tembangraras masuk kamar, pada umumnya pengantin baru pada malam pertama akan melakukan hubungan seksual. Namun tidak untuk kedua pasangan ini, Syekh Amongraga malah mengajari istrinya bersyahadat dan menjelaskan arti dari syahadat itu sendiri. Di depan kamar tedapat Centhini yang setia menunggu tuannya, Centhini yang haus akan ilmu seperti menemukan sumur dengan air suci yang melimpah. Sementara pendopo masih ramai dengan hiburan hingga fajar timur tiba.

Jilid 6 lebih mengembangkan ilmu kemanunggalan, arti dari beragama dan makna beragama yang diajarkan Syekh Amongraga pada istrinya, juga oleh telinga Centhini yang sedari awal melebarkan telinga. Ajaran Syekh Amongraga sendiri lebih bersifat tasawwuf, sufistik dan seperti jalan tarekat. Malam demi malam berlanjut dengan upacara ngunduh mantu, dari rumah ke rumah. Berbagi hiburan didengungkan untuk para pemilik telinga, seni debus juga ditampilkan oleh abdi Syekh Amongraga yakni Ki Jamal dan Ki Jamil. 

"Bagi orang Jawa, gamelan memang berkah dari Buda. Wajar kalau para wanita selalu berduyun-duyun datang manakala mendengar suara gamelan ditabuh. Apalagi yang ditabuh ini adalah Alun Jaladri yang keramat, orang-orang seketika bergairah untuk mendatanginya. Yang sudah kaki dan nini pun dibuatnya kumat birahi. Inilah berkah dari gamelan Alun Jaladri yang bisa mengundang banyak orang untuk datang. Berbeda dengan gamelan Samodra yang jika ditabuh hanya sedikit yang tertarik meskipun sebenarnya bagus. Jika dalam hajatan pengantin menabuh gamelan Samodra maka para tamu yang ringan datang menyumbang hanya segelintir saja".

Ilmu budaya jawa berdampingan ditampilkan dengan ilmu kemakrifatan, satu sisi di luar rumah (pendopo) merupakan sisi hiburan baik gamelan, tembang, debus dan lainnya. Sementara did alam rumah Syekh Amongraga, Niken Tembangraras dan Centhini mendalami ilmu kemakrifatan. Bahkan beberapa kali masuk dalam kekhusukan ibadah, dalam kata lain sedang menyatukan diri dengan Tuhan (fase ekstase). Centhini abdi yang setia pun ikut menyatukan diri dengan Tuhan.

"Amongraga masuk dalam Alam Keheningan, sendirian tanpa siapa-siapa. Hanya Zat saja yang ada, tidak terpisah tapi juga tidak menyatu. Ia benar-benar melakukan perjalanan gaib yang tak terkira jauhnya. Memang demikianlah yang semestinya, layaknya para wali melakukannya. Amongraga membawa Tambangraras dan Centhini menuju puncak makrifat. Ke- tiganya berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, su-hul (dukhul, masuk) dalam kefanaan, merasuk manunggal dalam Diri Hyang Tunggal."

Beberapa pembaca mungkin bertanya kenapa tidak ada sisi erotis dari malam pertama pengantin? Syekh Amongraga ternyata menerapkan olahasmara dengan baik, saya teringat akan buku yang berjudul Kitab Seks Leluhur Jawa. Pada buku tersebut mengajarkan olahasmara dengan tempo lambat dimulai dengan cara penyatuan rasa, sentuhan dan yang lainnya. Semua dilakukan demi mencapai puncak yang tak hanya sensasi seksual saja, tapi kemanunggalan. Seperti pada manusia umumnya seorang wanita akan merasakan kenikmatan saraf jika disentuh oleh lelaki, terlebih wanita tersebut belum pernah disentuh. Begitu pula Niken Tembangraras merasakan nikmat bersentuhan dengan Syekh Amongraga. Kenikmatan tersebut tidak dilanjukan sampai pada sebuah penetrasi, namun sebatas kulit yang merinding. Inilah olahasmara. 

"Syekh Amongraga memajukan sedikit tubuhnya yang memang sudah dekat dengan istrinya. Ia julurkan tangan secara perlahan, ia raih leher jenjang dengan bulu-bulu tipis itu. Dirangkulnya penuh kasih lalu ia tarik dengan tenaga lembut. Tambangraras pasrah, ia biarkan kepalanya bergeser maju hingga tersandar pada dada suaminya".

Kenikmatan sebatas kulit itu berhenti ketika Seykh Amongraga berucap agar istrinya selalu mencari ilmu tolabul ilmi. 

Judul: Serat Centhini 6: Pernikahan Syekh Amongraga dan Tambangraras
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: viii+260 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-838-286-X & (13): 978-979-838-286-9


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d