Pernikahan Syekh Amongraga dan Niken Tembangraras mengingatkan saya pada upacara pernikahan anak orang kaya di perkampungan saat tahun 90-an dimana tampak kebersamaan, penuh suka cita, pelibatan masyarakat dan kesederhanaan.
Syekh Amongraga memang menginginkan agar upacara pernikahannya digelar dengan sederhana, namun calon mertua perempuannya menginginkan hal yang terbaik untuk anak perempuan sulungnya. Walaupun dikatakan sederhana nyatanya tampak mewah, banyak sumbangan yang diberikan dari para pembesar dan banyak tamu dari masyarakat sekitar dan juga dari desa sekitarnya. Persiapan sudah matang, perbelanjaan seperti bumbu, bebungaan dan lain sebagainya sudah siap.
Tak ubahnya zaman dulu dan sekarang saat upacara pernikahan banyak yang membantu dikediaman sohibul hajat, dari membantu memasak, menyembelih hewan peliharaan, mempersiapkan blandongan. Begitu juga pada sikap orang-orangnya dimana saat diundang menjadi tamu akan memperlihatkan keduniawian berupa sandang dan perhiasan sehingga level sosialnya tampak. Suasana hajatan pun tak kalah ramai seperti usilnya bocah-bocah yang kadang membuat ulah di sebuah pesta hajatan. Juga para tetamu aji mumpung untuk makan sepuasnya.
Perkawinan akbar ini tak kurang dari pangan yang disediakan untuk para tetamu yang datang. Saking banyaknya yang memberikan beberapa ada yang disimpan juga dibagikan kembali dengan cara dimasak dengan berbagai macam cara. Ada beberapa makanan yang baru terdengar namanya, ada juga yang masih eksis sampai saat ini.
"Dilengkapi sayur-mayur lainnya, ada kacang kecipir, timun terung, buncis, kemangi, ranti blodheh, pare belut, pete, jengkol, terong air, irisan kulit jeruk, cokol bung, pupus, kencur, lokak selat, kobis, kucai, seledri, patraseli, bawang merah, suru, ra menas, sawi, rawetol, acar kecap, tahu petis, cabai merah, cabai hijau. Lengkaplah lauk beserta uraban yang terhidang. Tersaji juga aneka masakan lainnya, yakni kue wajik, ketan salak, gemblong, ulen-ulen, tetel onggok, wingko, gethuk jenang krasikan, geplak madu, serat inthil, tawonan, jenang jagung, grontol, karag, berondong, serabi, kumbu, lapis, ceng karuk, ketan ragen, iwel iwel, lepet, ulu-ulu, ampyang, gablog, lonthong, kupat, tape, brem, ledre, satru, opak, gulali, carabi kang, jipang, ondhe-ondhe, gandhös, celorot, roti, bolu, cothot, emplek, kepel, limpang limpung, rengginang, ceriping, jalabiya, carang madu, rambutan, brem, klepon, widaran, apem, cucur, puthu mayang, utri, lemper, lemet, pasung meniran, jongkong kue kemplang, semar mendem, srikaya, pipis, kopyor ..."
Usai sudah acara ijab kobul, berbagai hiburan untuk para tetamu sudah purna dihidangkan termasuk juadahnya. Kini Syekh Amongraga dan Niken Tembangraras masuk kamar, pada umumnya pengantin baru pada malam pertama akan melakukan hubungan seksual. Namun tidak untuk kedua pasangan ini, Syekh Amongraga malah mengajari istrinya bersyahadat dan menjelaskan arti dari syahadat itu sendiri. Di depan kamar tedapat Centhini yang setia menunggu tuannya, Centhini yang haus akan ilmu seperti menemukan sumur dengan air suci yang melimpah. Sementara pendopo masih ramai dengan hiburan hingga fajar timur tiba.
Jilid 6 lebih mengembangkan ilmu kemanunggalan, arti dari beragama dan makna beragama yang diajarkan Syekh Amongraga pada istrinya, juga oleh telinga Centhini yang sedari awal melebarkan telinga. Ajaran Syekh Amongraga sendiri lebih bersifat tasawwuf, sufistik dan seperti jalan tarekat. Malam demi malam berlanjut dengan upacara ngunduh mantu, dari rumah ke rumah. Berbagi hiburan didengungkan untuk para pemilik telinga, seni debus juga ditampilkan oleh abdi Syekh Amongraga yakni Ki Jamal dan Ki Jamil.
"Bagi orang Jawa, gamelan memang berkah dari Buda. Wajar kalau para wanita selalu berduyun-duyun datang manakala mendengar suara gamelan ditabuh. Apalagi yang ditabuh ini adalah Alun Jaladri yang keramat, orang-orang seketika bergairah untuk mendatanginya. Yang sudah kaki dan nini pun dibuatnya kumat birahi. Inilah berkah dari gamelan Alun Jaladri yang bisa mengundang banyak orang untuk datang. Berbeda dengan gamelan Samodra yang jika ditabuh hanya sedikit yang tertarik meskipun sebenarnya bagus. Jika dalam hajatan pengantin menabuh gamelan Samodra maka para tamu yang ringan datang menyumbang hanya segelintir saja".
Ilmu budaya jawa berdampingan ditampilkan dengan ilmu kemakrifatan, satu sisi di luar rumah (pendopo) merupakan sisi hiburan baik gamelan, tembang, debus dan lainnya. Sementara did alam rumah Syekh Amongraga, Niken Tembangraras dan Centhini mendalami ilmu kemakrifatan. Bahkan beberapa kali masuk dalam kekhusukan ibadah, dalam kata lain sedang menyatukan diri dengan Tuhan (fase ekstase). Centhini abdi yang setia pun ikut menyatukan diri dengan Tuhan.
"Amongraga masuk dalam Alam Keheningan, sendirian tanpa siapa-siapa. Hanya Zat saja yang ada, tidak terpisah tapi juga tidak menyatu. Ia benar-benar melakukan perjalanan gaib yang tak terkira jauhnya. Memang demikianlah yang semestinya, layaknya para wali melakukannya. Amongraga membawa Tambangraras dan Centhini menuju puncak makrifat. Ke- tiganya berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, su-hul (dukhul, masuk) dalam kefanaan, merasuk manunggal dalam Diri Hyang Tunggal."
Beberapa pembaca mungkin bertanya kenapa tidak ada sisi erotis dari malam pertama pengantin? Syekh Amongraga ternyata menerapkan olahasmara dengan baik, saya teringat akan buku yang berjudul Kitab Seks Leluhur Jawa. Pada buku tersebut mengajarkan olahasmara dengan tempo lambat dimulai dengan cara penyatuan rasa, sentuhan dan yang lainnya. Semua dilakukan demi mencapai puncak yang tak hanya sensasi seksual saja, tapi kemanunggalan. Seperti pada manusia umumnya seorang wanita akan merasakan kenikmatan saraf jika disentuh oleh lelaki, terlebih wanita tersebut belum pernah disentuh. Begitu pula Niken Tembangraras merasakan nikmat bersentuhan dengan Syekh Amongraga. Kenikmatan tersebut tidak dilanjukan sampai pada sebuah penetrasi, namun sebatas kulit yang merinding. Inilah olahasmara.
"Syekh Amongraga memajukan sedikit tubuhnya yang memang sudah dekat dengan istrinya. Ia julurkan tangan secara perlahan, ia raih leher jenjang dengan bulu-bulu tipis itu. Dirangkulnya penuh kasih lalu ia tarik dengan tenaga lembut. Tambangraras pasrah, ia biarkan kepalanya bergeser maju hingga tersandar pada dada suaminya".
Kenikmatan sebatas kulit itu berhenti ketika Seykh Amongraga berucap agar istrinya selalu mencari ilmu tolabul ilmi.
Judul: Serat Centhini 6: Pernikahan Syekh Amongraga dan Tambangraras
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: viii+260 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-838-286-X & (13): 978-979-838-286-9
Komentar