Wejangan demi wejangan diberikan Syekh Amongraga kepada istrinya, Centhini, juga pada anggota keluarganya. Namun yang paling intens mendapatkan wejangan adalah Niken Tambangraras dan Centhini. Semua ilmu kemanunggalan tercurahkan, keduanya seperti mendapatkan kenikmatan birahi kepada Tuhannya. Kedua perempuan tersebut tidak pernah tidur malam karena selalu mendapatkan wejangan dari Syekh Amongraga.
Setiap malam berganti tempat tidur (rumah) dari rumah adiknya Jayengwesti dan Jayengraga kemudian pada saudara lainnya seperti Ki Pangulu. Acara pindahan ini semacam ngunduh mantu, hanya saja setiap hari dan ada saja pesta besar. Segala hidangan selalu ada, pemotongan hewan ternak mulai dari sapi hingga burung peking pun ada. Ini adalah sebuah kemakmuran tiada tara. Disebutkan juga kemakmuran tersebut berkat maunah dari Ki Bayi.
Jilid 7 masih membawa wejangan-wejangan ilahiah Syekh Amongraga, pesta-pesta, pembuatan rumah berserta tatacara pembuatan dan juga hitungan sesuai kalender Jawa. Terlihat antara budaya Hindu Buddha, mistik tradisional Jawa dan Islam menyatu dengan harmonis, beberapa hal memang tidak bisa diterima seperti saat Syekh Amongraga menolak adanya patung Loro Blonyo saat pesta pernikahannya.
Karomah-karomah Ki Jamal dan Jamil nampaknya sudah diperhatikan dan dimanfaatkan oleh masyarakat Wanamarta. Ilmu penginapan, debus, seni terbang dan lainnya nampak pada kedua abdi Syekh Amongraga. Tanpa izin Syekh Amongraga abdinya tidak mau melaksanakan 'kekaromahannya' untuk keperluan orang lain. Beberapa kali Jamal Jamil membantu mengobati penyakit sanak saudara Ki Bayi.
"Dua saudara kembar itu lalu keluar untuk mencuci tangan. Setelah itu mereka kembali menemui Ki Pangulu. Ki Jamal berkata, "Ki, agar kuat dalam bersenggama maka carilah akar akas yang panjangnya disesuaikan dengan panjang zakar. Diracik dengan merica, sunti, tujuh potong cabai bengkok, garam lanang, arang jati, dan gula aren. Semuanya dipipis (ditumbuk) di tengah-tengah halaman. Cara memipisnya adalah dengan menggerusnya kuat-kuat. Jika sudah lembut maka ucapkanlah mantra: Senjataku bekerja cepat, menekan baga (vagina) dengan kuat, menembus rahim hingga mampat. Setelah itu obat pipisan ditelan, insya Allah berhasil. Agar air mani tidak cepat keluar maka carilah getah pi- sang benggala, kunyit lanang, daging murmak, garam lanang, minyak wijen, semuanya dihaluskan dan diberi air jeruk lilang lalu diminum. Biasanya setelah minum obat ini maka persetu- buhan bisa bertahan lama karena air mani lebih lama keluar nya."
Sementara Centhini masih pada tugasnya melayani Niken Tambangraras, dan selalu belajar tentang ilmu kemanunggalan bersama Syekh Amongraga di pintu depan kamar semalam suntuk. Disebutkan juga asap usul Centhini, ternyata Centhini masih famili dengan Ki Bayi. Dalam susunan keluarga Jawa disebut saudara mindho yang merupakan cucu dari kakak sepupu dari kakeknya Ki Bayi. Saudara Mindho ini adalah persaudaraan tingkat ke-empat dengan urutan pertama saudara, kedua nak-sanak/sepupu, ketiga misan dan keempat mindho.
Saatnya membangun rumah untuk Niken Tambangraras dan Syekh Amongraga, semua dipersiapkan dengan matang tak sampai dua bulan rumah sudah berdiri dengan segala kelengkapannya. Tak luput syukuran boyongan (pindah rumah). Setelah tetamu pulang sepasang pengantin baru masuk kamar dan memberikan wejangan seperti biasanya, begitu juga dengan Centhini yang setia menunggu di depan kamar tuannya. Malam ini berbeda dengan sebelumnya, penyatuan jiwa dan raga terjadi untuk pertama kalinya. Syekh Amongraga sudah tak malu lagi untuk saling menyatukan badan dengan istrinya, terlebih suasana hening dan di rumah sendiri. Suara senyap yang hanya didengar oleh dua telinga Centhini saja. Selebihnya terganggu suara hewan malam.
Centhini hanyalah manusia biasa yang bisa terpancing nafsu badaniah, ia merasakan sensai badaniah yang luhur nan surgawi. Centhini tahu diri bahwa dirinya hanyalah seorang abdi yang tak boleh dirasuki nafsu setan. Dan tak mungkin Centhini meminta bergabung. Setelah tersadar Centhini tergopoh-gopoh menyiapkan keperluan mandi janabat dan juga berlari ke rumah Ki Bayi untuk menyampaikan persetubuhan anaknya. Setelah kejadian pecah perawan, dalam tradisi Jawa ternyata ada among-among (selamatan) untuk rasa syukur karena sepasang pengantin telah melaksanakan tugasnya sebagaimana biasanya. Pada kesempatan ini juga ada momentum penting yakni Syekh Amongraga memberikan nama lamanya kepada adi iparnya Jayengwesti. Kini Jayengwesti berubah nama menjadi Jayengresmi.
Keperawanan sudah pecah dan berkali-kali melaksanakan kewajiban suami istri dalam olah asmara, tak tahu wingit dari mana Syekh Amongraga terdiam tak berkutik membisu dalam seminggu. Hingga menyebabkan kesedihan bagi istrinya, bahkan Niken Tambangraras merasa rendah diri, apakah pelayanan sebagai istri kurang atau memang ada sesuatu yang tidak setuju oleh suami. Kesedihan Niken Tambangraras sirna setelah kerningan mata Syekh Amongraga, hanya saja wingit yang diperoleh membuat sedih kembali.
Saat olah asmara Syekh Amongraga menyempurnakan keinginannya untuk mengembara sekaligus mencari kedua adiknya yang telah lama berpisah. Remuk sudah hati istrinya, namun olah asmara dengan birahi yang berpusat pada Shang Hyang Widhi menjadi kenikmatan surgawi tiada tara, hingga kesedihannya sirna. Malam pun hening seperti tersirap hingga pagi hari pecah oleh tangis Niken Tambangraras yang kehilangan suami dan hanya dititipi tiga pucuk surat.
=========================================================
Jilid ini terbagi menjadi dua antara kehidupan pengantin baru dengan perpisahan untuk sebuah perjalanan Syekh Amongraga. Dalam perjalanannya banyak rintangan dihadapi baik dari alam dan makhluk halus lainnya. Dari gunung ke gunung, danau, lembah dan jurang. Disisi lain istri yang ditinggal merana tiada tara, kebingungan saudara mara keluarga Ki Bayi dan lesunya masyarakat di Wanamarta.
Kesakitan meningkat baik untuk Syeikh Amongraga dan kedua abdinya Jamal Jamil. Pada jilid berikutnya diceritakan Syekh Amongraga mengajar agama Islam kepada 400 santri. Sementara beberapa anggota keluarga di Wanamarta mengadakan perjalanan untuk mencari sang kakak ipar.
Judul: Serat Centhini 7: Wejangan Syekh Amongraga tentang Ilmu Kesejatian
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: viii+396 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-287-8 & (13): 978-979-383-287-6
Komentar