Cebolang menjadi bintang di antara masyarakat ibukota Mataram saat itu, semua masyarakat yang 'ahli' pada bidangnya masing-masing mengutarakan ataupun menjelaskan keilmuan yang mereka punya kepada Cebolang. Jelas ilmu yang dilimpahkan kepada Cebolang dari orang ke orang bak mengambil satu gengggam pasir hingga terkumpul satu padang gurun.
Serat Centhini hadir kepada masyarakat Jawa untuk mempertahankan segala kejawaan, mulai dari falsafah kehidupan, teknik-teknik dalam menjalankan hidup dan pegangan agama.
=========================================================
Akhirnya Cebolang dengan bekal ilmu agamanya menjelaskan makna Qur'an, hadist, ijmak dan kiyas kepada masyarakat yang berada di sekitar Kotagedhe, tempat dimana dia berada. Kini masyarakat lebih menganggumi Cebolang, terlebih pasca penjelasan mengenai bab agama Islam. Wajar saja Cebolang paham betul apa makna-makna tersebut di atas karena dia adalah seorang gus (anak kiyai).
Ilmu hitung masih dibahas pada jilid ke-tiga ini, kali ini mengenai neptu dalam tahun dan bulan, hitungan juga sampai ke windu. Pada segmen ini saya tidak banyak tertarik karena pusing dengan angka-angka yang muncul. Sedemikian rumit hitungan kalender Jawa membuat saya olab. Bayangkan saja dalam kalender Jawa yang terdiri campuran masehi, hijriah dan jawa sendiri. Oleh karena tiga campuran itu maka muncul banyak hitung-hitungan mulai dari skala hari (pasaran), wuku, windu, neptu, mangsa dan lain sebagainya.
Tibalah saatnya Cebolang melangkahkan kakinya lebih jauh bersama keempat santrinya. Awal rencana hanya belajar tentang asmaragama pada Ki Ajar, namun setelah pembelajaran ada dauh yang menyebutkan bahwa Cebolang mestinya melanjutkan perjalanan, sementara Ki Modin segera pulang ke rumah karena nanti akan menjadi khatib luhung.
Kembali ke hal yang anget-anget. Masih ingatkan Cebolang mempunyai istri empat dan waktu itu meminta pengajaran soal cara menangani istrinya karena dia kewalahan di ranjang. Kini dengan gamblang dia bertanya akan keluh kesah dirinya yang nyosor menggebu tanpa babibu tancap dan crot! Melalui Ki Ajar semua ilmu asamaraga dikeluarkan termasuk tatacara senggama yang benar. Berikut kutipannya: "Jika kemaluan laki-laki belum keras dan kuat sekali, jangan terburu-buru memasukkannya ke dalam lubang milik istri. Jika tetap melakukannya, maka itu sama saja dengan menipu. Akibatnya tidak akan tercapai kepuasan, ujungnya adalah kecewa. Kadang-kadang wanita menjadi enggan bersenggama jika sering begini karena ia merasa tidak puas padahal ia sudah terlanjur membuka lebar kemaluannya. Ini merupakan kekurangan dalam hal senggama, istilahnya adalah katitih asmara (kalah dalam senggama'), sebab belum siap perang kok dipaksa untuk menyerang. Akibatnya loyo di tengah peperangan, hilang kekuatan, dan tak bertahan lama. Ini terjadi karena rahsa dan jiwa belum dikuasai oleh ulah Sang Hyang Pramana."
Perjalanan Cebolang meraih ilmu makrifat dimulai dari Ki Tumenggung yang menjelaskan ilmu rahasia para dewa yang diambil dari Sastrajendra. Pada bagian ini santri Nurwitri mempunyai keinginan tahuan lebih besar sehingga lumayan banyak bertanya tentang kemakrifatan. Bukan saja Sastrajendra yang membuat kemakrifatan mereka menjadi matang, juga ditambah dengan Suluk Hartati, Wirid Hidayat Jati, Shalat Makrifat, dan kisah-kisah fabel yang menarik. Bagiku kisah fabel ini seperti pada cerita Persia Klasik seperti Khalila wa Dimna dan juga Musyawarah Burung karya Syèh Fariduddin Attar.
Jangan lupa Serat Centhini adakah ensiklopedia Jawa jadi tentu saja menemukan ilmu budaya Jawa seperti bentuk rumah tradisional Jawa, perkakas yang ada dalam rumah tradisional Jawa. Disebutkan juga cara memilih dan cara menentukan kayu yang bagus sebagai bahan konstruksi rumah tradisional Jawa. Tak ketinggalan juga hitungan keberuntungan dalam membangun rumah.
Sebelum akhir Jilid 3 ini ada kisah menarik di segmen Gunung Tembyat di sana Cebolang dan empat santrinya diterima oleh Kanjeng Pangeran Tembayat sekaligus menjadi santrinya. Kejadian menarik saat acara 'ulang tahun' atau wetonan dari Pangeran Tembayat dimana Cebolang dan santrinya mengadakan sebuah pertunjukan. Pertunjukan yang takkan hilang ingatan bagi para tamu yang datang, di sanalah Nurwitri menari dengan indah sehingga banyak lelaki memuncratkan air maninya:
"Mereka kembali menikmati sajian tarian dari Nurwitri. Ada yang melenguh dan tubuhnya menegang, bagaikan mau bertempur di ranjang asmara saja. Tak terasa, keluarlah air maninya, meringis sambil menahan kencing. Tercurah hingga basah kuyup sarungnya. Namun demikian ia masih saja terus menikmati goyangan sang penari, mengangguk-angguk dan berteriak gembira. Pegal tubuhnya terhimpit pakaian yang sesak pada bagian selangkang, kaku hatinya, lalu ia longgarkan pakaiannya itu. Tak tahan juga, akhirnya ia keluarkan mani bercampur kencing, mengenai orang di depannya. Orang yang terkena cipratan air itu marah sambil mengumpat keras, "Dasar, badhong (kemaluan) ibumu!"
Begitu juga saat Nurwitri dan Cebolang meragakan kisah asmara antara sang putri dan pangeran.
"Ada juga yang tak mau menahan-nahan, tengkuknya bergidik dan bergetar, napasnya tersengal-sengal, matanya ber kedip-kedip, bibirnya terkatup rapat, tiada hentinya mengayun ayunkan tangan, sesekali lidahnya menjulur berdecak. Kali nya ia renggangkan, selangkangan menganga, alat kelaminma mekar, puting susunya tegak mengeras, badan pun bercucur keringat. Kedua tangannya ditaruh di belakang sebagai nopang, menggeliat, menyentak-nyentak. Setelah puas, lelah tubuhnya. Pantatnya diraba, basah kuyup penuh cairan. Ia bergumam, "Jangan-jangan kainku robek, untungnya dua bibir bawahku tak bergigi."
Setelah pagelaran selesai hingga subuh tiba, Cebolang dan Ki Anom Mataram menghaturkan sembah untuk undur diri dari Pangeran Tembayat. Mereka berjalan hingga pada sebuah jalan utama mereka berpisah, Cebolang dan empat santrinya pergi ke arah matahari terbit sementara Ki Anom Mataram kembali ke barat menuju Mataram.
Judul: Serat Centhini 3 - Perjalanan Cebolang Meraih Ilmu Makrifat
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Terbitan: Pertama, 2015
Dimensi: X + 414 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-283-5 & (13): 978-979-283-8
Komentar