Jilid depan ini terbagi menjadi dua bagian, pertama diawali dengan cerita perjalanan Syeikh Amongraga dan kedua abdinya Jamal Jamil dan bagian kedua yakni kisah perjalanan dari Keluarga Wanamarta dalam perjalanan mencari sang kakak ipar (Syekh Amongraga). Sungguh cerita baru dengan lakon utama baru akan dimulai kembali pada bagian pengembaraan keluarga Wanamarta.
Perjalanan Syekh Amongraga masih berjalan dengan tujuannya menggapai kemakrifatan, dimulai dari gunung ke gunung, bukit, gua-gua semua terlewati dengan berbagai rintangan. Pada bagian ini Syekh Amongraga menjelajah di rangkaian gunung Lawu, di sanalah mendapatkan berbagai gua yang angker dengan banyak penghuninya. Pada bagian ini juga disebutkan berbagi jenis buah-buahan hutan, dedaunan dan hewan-hewan liar. Adapun hal yang baru bagiku adalah nama-nama dari hantu yang bergentayangan menggoda tiga orang pengembara.
"Tempat ini memang menjadi kediamaan ge- rombolan setan dan iblis sejenis tuweg janggitan, bleg kethekur, thongthongsot pipindhir, jajalamat, menje, kelunthung, thethekan, bajangkerek, olang-aling, bebethoh, cicir, kemamang, ilu- ilu, keblak, banaspati, tulah geladrang, lengkrang, antu greges, dan tulah braja".
Pada halaman 19 juga disebutkan beberapa jenis hantu yang sedang beraktifitas dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita tahu bahwa dunia modern ini sudah tak banyak nama hantu yang eksis. Hanya beberapa saja yang masih populer, selanjutnya hilang karena menurunnya angka kepercayaan pada hantu juga ada invasi jenis-jenis hantu dari luar negeri melalui film, buku ataupun media lainnya.
"Itu adalah suara-suara setan memedi dan lelembut sebangsa keblak, anggas teluh, tulah braja, janggitan, ilu-ilu, thethekan, thongthongsot gonggo, bebethoh, bleg kethekur, gidrah, geladrah, ludreg, kalunthung, wewe gombel, letheg, kulekah, lengkrah, pipindhir, budhur, bengleng, lenger, dan anja-anja jorong".
Setelah melewati gua-gua angker, Syekh Amongraga sampai pada puncak gigi gunung Lawu dan bertemu dengan Wasi Wrêgasana, seorang guru spiritual yang masih hidup menyatu diri dengan alam dan menghening di gunung Lawu. Pada pertemuan itulah Syekh Amongraga, Jamal dan Jamil berlajar tentang Wuku.
Cerita berlanjut hingga Wasi Wrêgasana berganti menjadi Ki Wergajati dan ikut serta dengan Syekh Amongraga. Sejatinya Ki Wergajati merupakan seorang ajar agama Buddha, sehingga saat melakukan Islamisasi di daerah Gunung Bangun menjadi mudah. Bahkan seluruh penduduk desa rela bergotong royong membangun sebuah masjid. Bak cerita dongeng yang tidak masuk akal kini desa Lemahbang, menggoreng hanya menggunakan jarik, menanam padi hanya sembilan hari dan banyak lagi keanehan terjadi pada episode ini.
"Dan hari itu, Kiai Guru Jamal dan Jamil berada di antara kerumunan para santrinya. Mereka berdua menunjuk pada seorang anak kecil. Anak itu mendekat lalu dibukalah kain yang membebat pinggang. Tampak kemaluan kecil di antara selangkangan anak kecil itu. Dipegang oleh Ki Jamal, diacung-acungkan beberapa saat sambil diberi mantra. Seketika zakar itu membesar dan memanjang, uratnya mengeras dan mengejang. Panjang hingga lima depa. Lingkar batangnya sebesar kendang, hanya bagian ujungnya saja yang mengecil lantaran belum ngkah disunat, mengerucut seperti payung. Kemaluan itu tampak kuat dan tegar, menganguk-angguk hingga menyentuh tanah menghasilkan bunyi gedebag gedebug. Orang-orang terpana, mendekat untuk melihat lebih jelas kemaluan raksasa itu".
Berbagi pertunjukan debus dipertontonkan, berbagi peristiwa tidak masuk akal menjadi camilan harian para santri dan masyarakat. Tanpa sepengetahuan Syekh Amongraga, Jamal Jamil memperkenalkan praktik Ojrat Dul Birai atau Dul-dulan, dimana ada seseorang yang lebih tinggi ilmunya akan menyerahkan istri atau anaknya untuk dijadikan bahan seks, tanpa ikatan perkawinan. Banyak santri yang langsung 'tanjap' saat birahi, tanpa perhitungan dosa ataupun syariat. Dalam dul-dulan ada masa waktunya, mereka berhenti saat matahari sudah bergerak sampai ubun-ubun. Pada saat itu para santri kembali pada kesadaran sempurna dan menangis menyesali apa yang telah diperbuat.
=========================================================
Cerita berganti pada fase perjalanan keluarga Wanamarta yang mencari kakak sepupu Syekh Amongraga. Nampaknya kisah perjalanan ini akan seperti perjalanan Cebolang yang terdiri berbagai ilmu, syahwat, budaya dan mistik.
Pada pertengahan malam Jayengresmi dan Jayengraga saling menjemput untuk sebuah misi, begitu juga dengan Ki Kulawirya sebagai tetua di keluarga Wanamarta. Saat perjalanan Ki Kulawirya ingat bahwa mereka mempunyai abdi yang bisa diandalkan sepanjang perjalanan yakni Nuripin. Awal persinggahan perjalanan mereka di desa Kempleng, desa terpencil yang diketuai oleh Ki Suryadigdaya. Selera Ki Surya tak lebih dari Ki Kulawirya dan Jayengraga, malam pertama mereka saat bersinggah diisi dengan tayuban. Kegilaan keluar dari dalam selangkangan mereka, terlebih Ki Kulawirya dan Jayengraga. Sementara Jayengresmi dan Nuripin menepi berzikir pada Allah di surau.
Kegilaan akan seks ini menjadi hal yang menjijikkan dikala Jayengraga menginginkan kuncup kembang mungil milik anak Ki Surya. Diceritakan bahwa si Gendhuk ini masih kecil, payudara pun belum besar. Cerita ini cukup menjijikkan berhubung masuk katagori pedofil. Beruntung si Genduk hanya dicium, penis besar Jayengraga tak bisa masuk karena kuncup yang masih sempit. Semprotan mani keluar menyebrot pada anak kecil itu, dan pergi ke sugai untuk membersihkan diri. Saat menuju sungai disitulah Jayengraga bertemu dengan si janda muda, syahwat kembali membara walaupun mani sudah keluar. Paman dan ponakan sama saja, Ki Kulawirya yang hanya petting dengan si janda muda, kini bersenggama denga nyi ronggeng. Sayang ternyata ronggeng itu mengeruk semua harta yang dibawa Kulawirya.
"la ucapkan itu dengan nada lirih, jelas tak ada bisa didengar oleh orang-orang yang tengah melihat tayuban di pendapa. Dibimbibgnya Ni Janda ke sebuah balai-balai di dekat dapur, di telentangkan tanpa perlawanan. Kain atas disingkapnya, tampak jelas dua payudara besar yang melambai membuat Jayengraga tak tahan untuk segera menggumulinya. Puas bermain sebentar ia sibak seluruh kain Ni Janda hingga tak tertutup apa-apa, ia renggangkan pahanya dan tampaklah belahan kemaluan yang penuh rambut, mengkilat lantaran berair. Jayengraga tak mau menunggu, ia buka kainnya sendiri dan diarahkannya kemaluan miliknya ke lubang basah itu, masuk seketika tanpa hambatan Ni Janda sendiri sedikit kaget bercampur senang karena yang memasuki lubang miliknya kali ini sungguh besar dan panjang la menggelinjang keenakan".
Subuh pun usai, pesta sirna dengan sisa mabuknya kepala desa Ki Surya. Empat orang dari Wanamarta berpamitan hendak melanjutkan perjalanan. Tampaknya kealiman Jayengresmi semakin tampak, begitupun ilmunya semakin bersinar. Beberapa petuah akan agama, kemanunggalan dan sebagainya didakwahkan pada ketiga orang lainnya. Seperti kakak iparnya, Jayengresmi mengunjungi gua dan puncak gunung bersifat wingit, serta menemui para guru, rsi dan orang-orang sakti untuk bertukar ilmu ataupun sekadar bertanya ihwal Syekh Amongraga.
Beberapa adegan mesum dan juga pertaubatan kembali terjadi saat ke-empat orang Wanamarta tiba di desa Ki Jabaludin. Mereka berempat juga berguru pada Ki Ragayuni, kesaktian dan tingkat keilmuannya sudah satu level dengan Syekh Amongraga. Selepas bertamu di rumah Ki Jabaludin entah kemana lagi mereka berempat pergi.
Judul: Serat Centhini 8 - Ujung Pengembaraan Jasmani Syekh Amongraga
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyunting: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: viii+412 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-288-6 & (13): 978-979-383-288-3
Komentar