Bu kos saat itu sudah menanyakan apakah mau diperpanjang atau tidak? Saya jawab tidak. Besok hari saya pulang dengan penerbangan pagi. Padahal saat itu saya belum pesan tiket sama sekali. Biarlah berbohong sedikit. Ya semoga saja tiket masih tersedia untuk saya. Benar saja masih ada banyak kursi yang tersedia di penerbangan Air Asia menuju Yogyakarta. Mepet, bisa mahal bisa juga super murah. Tapi kali ini saya mendapatkan tiket lumayan tinggi Rp 450.000 tapi juga termasuk murah diantara penerbangan lainnya yang menawarkan dari harga 500.000 sampai 750.000. Masih ada untunglah walaupun sedikit.
Tuan madura, Rosi Mahendra |
Di hari terakhir saya masih mengisi waktu membantu bu Haji dalam hal tusuk menusuk sate. Semua berjalan sempurna hanya gosip dan obrolan tak penting yang saya lontarkan ke Rosi. Ya apalagi selain obrolan tak penting yang jadi bahan Yang renyah untuk kita bahas. Membahas hal penting seperti politik, negara, agama, ataupun hal - hal di luar nalar saya adalah kekacauan belaka. Jadi lebih baik membicarakan kekonyolan hidup saya saja. Hahahaha.
Nusa Dua jadi destinasi pilihan saya terakhir. Di sini saya ingin memberikan hal yang berbeda untuk sebuah pengalaman hidup untuk Rosi. Menggunakan kendaraan umum bagi Rosi adalah hal yang jarang dia gunakan tentunya berbanding terbalik dengan saya yang selalu menggunakan transportasi umum.
Trans Sarbagita, angkutan termurah di Bali. Hanya dengan 3500 rupiah, bisa pergi dari ujung ke ujung trayek. Murah memang. Bagi Rosi menaiki Sarbagita adalah yang pertama kali walaupun dia hidup lama di Bali namun tidak pernah naik bis nyaman ini.
Kami memulai perjalanan ke Nusa Dua tepat jam setengah empat sore waktu itu. Cuaca yang sepertinya mengancam tidak membuat kami membatalkan niat untuk ke sana. Sebelum berangkat saya membeli topi tradisional Bali yang dianyam dari daun kelapa. Keren! Entah kenapa Rosi selalu membayar apa Yang saya ambil. Balasan apa yang pantas untuknya suatu hari nanti?! Semoga Tuhan memberikan saya kekuatan dan rejeki lebih untuk membalas setiap derajat kebaikanya.
Nusa Dua tidak jauh berbeda dari setahun yang lalu, hanya saja halte bus Sarbagita dihilangkan terutama yang dekat pantai dan mall. Sangat disayangkan. Kami berjalan luamyan agak jauh dari bundaran Nusa Dua sampai ke bibir pantai. Saat itu hujan telah nampak di atas bumi Denpasar, kabut tebal nan hitam menyelimuti langit kota itu. Terkadang pecut api memecah heningnya kehidupan di langit. Surut sampai jauh sekali membuat Nusa Dua terasa berbeda dan nampak merana karena kehilangan keindahannya. Namun itu tidak berlangsung lama, air pasang akan kembali. Cantik pun akan kembali, demi menggoda penggunjung untuk terus terbuai oleh kemolekan Nusa Dua.
Penjor |
Hujan tiba tanpa ada kabar sebelumnya, keributan pun terjadi karena manusia enggan dibuat basah oleh hujan. Pontang - panting dan kocar - kacir sekumpulan manusia menghindari hujan yang basah itu. Beruntung sekali saya membawa payung. Ya payung adalah bekal utama saya selain uang saat musim penghujan.
Macet. Lebih dari dua jam perjalanan Nusa Dua sampai ke Sanur. Membuat hidup ini terasa njlimet karena banyaknya kendaraan yang meluncur ke arah Denpasar. Beruntung sekali Kami hanya bisa menikmati kegaduhan dari kemacetan yang mereka buat sendiri. Coba saja semua orang pakai kendaraan umum. Mungkin semua lalu lintas akan lancar golencar seperti arus air dari atas gunung surrrrr sampai ke bawah.
Makan nasi goreng yang kami beli sebagai santap malam kali terasa hambar dan tidak ada nilai cita rasa yang berarti. Kecewa sih tapi bagaimana lagi wong sudah dibeli. Ya wis dimakan saja tanpa dinikmati sing penting wareg.
Karena ini adalah malam terakhir saya jadi mesti ada buah tangan yang saya bawa untuk diri saya sendiri. Saya sekali lagi pelit untuk memberikan oleh - oleh ke keluarga. Saya sendiri ingin menghapus oleh - oleh dari suatu kegiatan pelsiran murah. Dupa dan lilin sebagai oleh - oleh yang saya bawa. Semua itu Rosi yang membelikannya. Coba balasan apa yang pantas bagi dia? Saya bingung.
Kamar kosan masih berantakan dengan barang - barang bawaan saya yang masih tercecer seperti sarang tikus. Oh Tuhan ini malam terakhir saya di Bali. Satu - persatu barang saya rapikan dan dimasukan ke tas ransel. Sekalian pamit ke Rosi. Saya pamit lebih awal karena saya mesti ke bandara jam empat pagi. Suatu kemustahilan Rosi bisa bangun jam empat pagi.
Istirahat terakhir di Bali........
Komentar