Pura Bedugul |
Bunglon! lama menetap semakin mirip! Istilah biologinya mimikri. Itulah yang saya alami dengan hal kebahasaan saya selama tiga hari di Bali. Seakan intonasi bicara menyesuaikan dengan lingkungannya. Entah itu murni dari otak saya apa hanya sebagai kepura - puraan untuk menikmati sebuah perjalanan. Yang pastinya logat saya jadi kebali - balian.
Pengaruh bahasa Madura tidak ada dalam lidah saya, walaupun saya sendiri tamu untuk tuan Madura. Tentunya tiap hari mendengarkan Bahasa Madura yang tuan rumah tuturkan tiap hari dengan anggota keluarganya. Seharusnya saya lebih bisa berlogat Madura daripada Bali tapi entah kenapa, sama sekali tidak biasa mengucapkan logat Madura yang khas itu. Alasannya mungkin saja karena logat Madura itu begitu sulit untuk ditirukan. Kalaupun ditirukan pastinya lidah akan selalu kesleo ataupun bisa patah tulang lidahnya!!!
Tiga hari berlalu dengan kualitas yang luar biasa. Satu demi satu saya hafal karakter dan juga cerita - cerita tentang kehidupan para tetangga kosan. Banyak hal yang menarik dan luar biasa dalam kehidupan mereka. Bu Beti yang saya temui setahun yang lalu masih berkarakter khas Sumba yang supel kepada semua orang. Masih menjalani 'kesenangan' dalam gairah, Bu Beti masih berhubungan dengan mas - mas asal Jember (lupa nama) tanpa adanya sebuah benang agama atau tali catatan sipil untuk mengikat keduanya dalam sebuah keresmian. Mungkin ada faktor tertentu yang membuat dua sejoli itu enggan meresmikan hubungannya. Bisa jadi karena Bu Beti seorang Kristen dan mas Jawa seorang Islam yang membuat mereka susah untuk bersatu dalam kata resmi . Ataupun mas Jawa yang masih enggan menandatangani buku biru dengan istrinya di Jember. Entahlah itu bukan urursan saya. Tapi ini suatu kasus yang mesti saya ambil sebagai pelajaran hidup kedepannya.
Tuan Muda Madura |
Kehidupan yang sangat mengancam harapan membuat Bu Beti selalu kuat menghadapinya. Mulai dari menjadi tukang bangunan (kerjaan tahun lalu) dan kini menjadi seorang pedagang makanan kecil yang di jajakan sepanjang bibir pantai Sanur dan berbagai tempat yang menjadi sarang pelanggannya.
Logat yang sama dengan Bu Beti membuat saya percaya bahwa dia (Bu Khadijah) seorang dari Sumba. Ternyata dugaan kuat saya meleset !!! Namun tidak terlalu jauh melesetnya. Bu Khadijah sendiri seorang janda beeaal dari pulau paling selatan Indonesia yakni pulau Rote. Janda ditinggal mati ini berjuang keras untuk anak semata wayangnya yang masih duduk di SMP.
Berlatar belakang dari keluarga militer membuat sikapnya selalu teguh pendirian dan mandiri. Walaupun dari keluarga yang cukup berada, Bu Khadijah tidak serta merta menikmati kekayaan dengan mudahnya tangan membuang uang ke pasar. Dia menpunyai pikiran lain soal itu sehingga membuat dia berani merantau jauh untuk kehidupan yang dia idamkan. Bertemu dengan lelaki Jawa yang membuat hatinya gundah karena getar - getar cinta yang dia rasakan setiap saat, membuat Bu Khadijah rela meninggalkan Maria (nama lamanya).
Khadijah dan Beti |
Maria yang ditinggal begitu saja oleh Khadijah, dia tidak mengubur dalam - dalam tapi dia simpan sebagai pacuan dalam kehidupan religiusnya. Walaupun suaminya telah meninggal dunia dia tetap dengan Khadijah yang dia banggakan. Semoga Tuhan memberikan ketenangan batinnya. Dalam kehidupan sehari - hari Khadijah bekerja sebagai karyawan sebuah laundry dan menpunyai beberapa pekerjaan paruh waktu seperti menjadi tukang pijat, pedagang makanan keliling dan penjaga orang jompo. Banyak sekali pelajaran kehidupan dari mereka hanya saja tidak semua saya tulis sebagai sebuah buku catatan harian di blog ini.
Beralih dari sebuah kehidupan yang rumit
Ramalan cuca kali ini membuat saya tertantang untuk bisa menikmati Bali dengan susana berbeda. Ya dalam perkiraan cuca tiga jam kedepan Bali akan mendung dan hujan deras sampai jam empat sore. Jelas sebuah tantangan dalam menikmati keindahan. Saya selalu ingat apa yang Cak Nun katakan bahwa "Janganlah kamu memikirkan/menginginkan daging saat kamu makan tempe. Pikirkan kenikmatan tempe saat kamu makan tempe" rentetan kalimat sakti itu merasuk ke otak saya selama ini. Jadi saat hujan ataupun cerah saya selalu menikmati suasana.
Mbuh Opo Yo |
Benar saja apa yang disiarkan oleh Google Weather tentang cuaca di Bali khusunya Bedugul. Saat kami datang cuaca sedikit mendung dan lama - lama semakin hitam langit Bedugul saat itu. Tidak banyak pengunjung saat itu mungkin karena cuaca yang dianggap buruk sehingga pengunjung enggan untuk berkunjung ke Pura Bedugul. Terlihat beberapa wisatawan lokal dari Jawa yang sempat berkunjung ke Pura Bedugul walaupun tujuan mereka ziarah ke masjid Bedugul. Memang jarak antara masjid dan pura Bedugul tidak terlalu jauh hanya selemparan batu saja.
Berbagai pose telah terbentuk untuk album foto di Instagram ataupun Facebook. Rasanya puas sekali apalagi bertemu dengan gadis Bali yang membuat saya terpesona. Saking terpesonanya saya minta foto bersama dia dan keluarganya. Semoga kita bertemu dan berjodoh. Amin.
Pemandangan unik dengan kabut tebal nan hitam menyelimuti perairan danau Bedugul saat itu. Sekali hujan sekali berhenti Dan begitu terus sampai jam tiga sore. 'Selimut tebal' itu menghantui para wisatawan sehingga nampak sepi sekali. Sayup - sayup suara adzan memanggil saya untuk segera bergabung dalam ritual hari jumat. Dengan kesombongan diri saya menolak untuk ikut ritual mingguan itu dengan dalih sebagai pelancong yang hukumnya tidak wajib. Tentu saja sebagai gantinya saya melaksanakan ritual wajib seperti hari - hari biasa dengan empat rakaat!
Rasa lapar sudah menyerang Rosi Yang sejak pagi belum sarapan. Dia memaksa saya untuk makan di restauran di dalam wilayah pura yang tentunya mempunyai harga yang tinggi. Saya menolak!!! Dan saya mengusulkan untuk makan di dekat masjid Agung Bedugul yang persis dekat pasar oleh - oleh. Roda sepeda motor berjalan dengan cepat namun terhenti dengan seketika karena hujan menghujam dengan cara kroyokan. Tentu saja Rosi merasa khawatir kalau kamera saya yang dia bawa di lehernya basah dan rusak. Mlipir ke warung muslim sepanjang jalan Bedugul untuk berteduh sekalian menyumpal lambung untuk diam!
Bakso ayam dan soto habis dalam hitungan sepuluh menit. Ya betapa laparnya kita berdua. Kenyang dengan banyak syukur itu lebih nikmat daripada hanya sekedar kenyang. Tak lupa setelah kenyang kami naik ke atas bukit untuk melaksanakan ritual wajib itu. Rasanya luar biasa menjadi seorang imam untuk Rosi padahal saya sendiri seorang yang boleh dikata kafirun yang nyata. Tapi apa boleh buat Rosi menyuruh saya untuk jadi imam. Hahaha entahlah ritual itu diterima atau tidak.
Pemandangan di atas bukit lebih menarik sekali bagi saya karena melihat lanskap danau Bedugul dari ujung ke ujung. Indah!!! Tidak jauh dari masjid ada koperasi masjid yang menjalani kopi Bali dengan harga cukup murah, Rp 3000. Karakter kopi Bali yang lembut membuat saya merasa lebih tenang. Sepertinya di warung ini Rosi bertemu dengan pelayan warung yang cukup aneh. Cukup aneh karena setelah meminta nomor telpon genggam dia selalu kirim pesan dengan kalimat - kalimat yang tak biasa. Tidak seperti lelaki biasa yang mengujarkan pesan kepada lelaki lain selain saudaranya. Tergelitik!
Sore sebagai penutup hari datang dengan pelan - pelan membawa rona - Roma merah di setiap sudut langit.
Komentar