Situs Warungboto |
Selancar kepakan burung merpati mendarat di ranting - ranting begitupun burung besi yang saya tunggangi dari Denpasar. Satu jam lebih sepuluh menit waktu tempuhnya dalam menempuh ibu kota kebudayaan Jawa itu. Sempat berkeliling langit Jogja beberapa belas menit, menuju utara dan balik lagi sampai beberapa kali, demi keselamatan sang pilot mengajak penumpang berkeliling dulu. Seperti yang diumumkan pramugara bahwa landasan pacu di bandara Adi Sutjipto sedang ada perbaikan.
Beberapa belas menit berlalu, burung besi mendarat ke bumi Jogja. Sugeng Rawuh kalimat awal yang saya baca dan dengar di bandara ini. Kembali ke Jogja lagi!
Batrei telpon genggam masih penuh jadi tidak ada kekhawatiran yang muncul. Beberapa rentetan pesan saya kirim melalui aplikasi WhatsApp Messenger ke Kang Tendy, seorang sahabat luar biasa. 'Tunggu di luar ya Kang' jawaban singkat darinya untuk ku.
Tendy Nugraha |
Sedikit agak lama untuk mengantre pengembalian barang bagasi. Maklum saat itu penumpang lumayan banyak. Kuraih barang bawaanku yang terbawa oleh mesin angkut itu. Jarak antara terminal kedatangan domestik dengan jalan raya tidaklah terlalu jauh hanya 200-300 meter saja. Lumayan pegal kalau membawa barang banyak yang super merepotkan, tapi itu berubah seketika ketika melihat seorang bule asal Eropa yang membawa dua tas super besar dan satu tas kecil. Betapa repotnya dia!!!
Banyak tawaran taxi dan ojek untuk saya saat menunggu jemputan Kang Tendy. Ya maklumlah mereka merayu untuk mendapatkan uang. Dengan halus saya menolaknya karena saya sudah ada yang menjemput. Tiga puluh menit berlalu dan Kang Tendy datang dengan gaya super trendi anak masa kini berlapis klasik tradisional sunda. Si Jonny nama sepeda motor klasik keluaran tahun 80-90an membawa kesan yang menyentuh bagi naluri seniku.
Lirikan Matamu |
Jonny melaju ke arah barat ke tempat Kang Tendy bermukim. Asrama Galuh Yogyakarta tepatnya di bilangan Warung Boto menjadi tempat bermukimnya mahasiswa asal Tatar Galuh Ciamis Yang sedang belajar di Yogyakarta ini. Dan Kang Tendy merupakan pemimpin yang sedang berada di ujung masa jabatannya. Gelar yang disandangnya membawa saya dalam pelayanan yang istimewa tentunya.
Perbincangan kecil yang jauh dari kata berfaedah muncul begitu saja sebagai social snack untuk saya, Kang Tendy dan beberapa penghuni asrama Galuh. Terlepas dari obrolan kecil lambat laun otak menyuruh saya untuk segera tidur melepas kelelahan akibat perjalanan jauh. Tidur!
Gedung BNI di Titik Nol Kilometer Yogayakarta |
Tak sempat mandi, saya diajak main ke situs purbakala di dekat asrama Galuh. Pasanggrahan Warung Boto yaitu tempat istirahat para raja - raja Mataram yang saat itu berkuasa. Arsitektur dan fungsi bangunan itu tak jauh beda dengan situs Tamansari. Berfoto adalah tujuan kami berdua tidak ada lagi selain niat untuk narsis di tempat - tempat menarik di Yogyakarta.
Tidak ada karcis masuk yang ditarik, mungkin saja karena datang saat sore hari jadi tidak ada petugas yang berjaga di sana. Dan yang lebih menggembirakan lagi tidak ada karcis parkir juga. Memang kami parkir dekat warung pinggir jalan dan persis di depan situs purbakala itu. Kami juga masuk melalui pagar besi seperti pengunjung lainnya. Nakal!
Ufuk barat mulai memainkan warna indahnya di langit sebagai tanda bahwa kami harus pulang dan mandi. Badan memang tidak terlalu bau asam tapi rasanya kurang pas kalau ga mandi. Apalagi saya mandi hanya beberapa gayung saat hendak berangkat ke bandara Ngurah Rai Denpasar. Selepas mandi, badan menjadi lemas dan tidak berdaya saat mencium aroma bantal. Mata, otak dan otot sudah merencanakan niatnya untuk membuat saya lemas dalam tidur.
Penjaja Kopi Jalanan di Malioboro |
Bangun di awal malam membuat keadaan otak seperti orang bingung. Tapi tetap semangat karena Kang Tendy mengajak saya untuk pergi jalan - jalan ke landmark Yogyakarta, jalan Malioboro. Cuaca yang terang membuat Malioboro bergeliat penuh nafsu dalam melayani tamu - tamunya dari berbagai daerah dan negara. Tidak ada kata lemas bagi Malioboro.
Pagelaran wayang kulit di dekat monumen sebelas maret membuat saya tertarik untuk melihatnya. Karena masih 'pagi' banyak orang yang nonton sehingga saya susah untuk mengambil gambar para pemain wayang kulit. Menikmati keindahan seni yang indah membuat saya terpesona. Waktu yang banyak tidak membuat saya terbuai oleh sajian seni berselera tersebut. Berjalan kembali menuju ujung utara, melihat - lihat, menikmati suasana, menghayati kehidupan malam Jogja dan mencari makanan yang pas untuk perut kami.
Dua bungkus nasi kucing dan lawuh sate membuat perut penuh kenikmatan khas Jogja. Murah tur maregi kata orang sana. Berjalan kembali ke arah selatan untuk meraih Jonny yang kami parkirkan di gedung BNI. Lumayan jauh memang jarak antara stasiun Tugu dengan gedung BNI. Sejauh - jauhnya melangkah di Jogja semakin terpesona oleh keadaan di sana. Bangku yang tertanam di pinggir jalan penuh orang dengan perasaan yang mereka miliki saat itu.
Pagelaran Wayang Kulit |
Wayang kulit masih menjalankan lakonnya, kami yang masih tertarik untuk menonton pun ambil jarak ke pertunjukan itu. Beruntung memang saat malam sudah mencapai puncaknya, para penonton kabur satu persatu hingga tersisa beberapa orang saja. Tak lebih 30 orang. Beberapa foto dari jarak dekat saya ambil dengan santai tanpa mengganggu penonton lainnya.
Sambil menyelam minum air pepatah lama berkata untuk kepulangan kami ke asrama. Dalam proses 'menyelam' kami 'minum air' di beberapa situs terkenal di Jogja.
Lelah Leha lah.....
Komentar