Keceriaan Di Santirah |
Alih-alih sering plesiran murah saya selalu dijuluki pemandu wisata oleh sebagian keluarga besar saya tak terkecuali oleh si penganten baru ini. Pasangan suami istri ini bernama Juli dan Atik yang baru melaksanakan janji kudus di hadapan romo kiyai di akhir Desember 2017 lalu, tepatnya di hari ulang tahunku, berasa aneh sumpah saat ulang tahun tapi acaranya nikahan sepupu hahaha.
Selagi pacaran mereka sering berandai untuk berkunjung dan menikmati pesisir tanah Sunda, beberapa kesempatan libur panjang terkadang memberikannya harapan untuk berkunjung ke tanah kelahirannya. Perlu diketahui Juli memang lahir dan pernah hidup beberpa tahun di Banjar, Jawa Barat jadi wajar saja dia merindukan tanah kelahirannya terlebih mendiang ayahnya istirahat damai di Banjar. Atik, sang istri turut berandai juga mengunjugi kampung halamanku yang selalu dicibirnya sebagai kampung mblesek, bagiku dia berandai terlalu jauh melebihi daya khayal penyair Persia. Cukup beruntung mereka berdua ditetapkan Tuhan untuk berkunjung ke kampung halamanku di hari ketiga lebaran.
Mereka tentu saja tidak pergi sendirian ke Banjar melainkan ikut bersama saya saat kunjugan keluarga ke Kroya (link). Perjalanan jauh nan menjemukan ternyata tidak mematahkan semangat mereka terutama Atik yang tetap semangat mengunjugi kampung kelahiran suaminya.
Lelah terasa begitu melemahkan urat syaraf dan otot-otot pembalut tulang, sebagian tulang pun rasanya remuk karena perjalanan yang terlalu lama terlebih jalan yang hancur sehingga tulang begitu remuk dibuatnya. Tidak ada obrolan panjang di malam kedatangan kami di Banjar, sekali ucap mata sudah diselimuti kulit halus kelopak mata. Lelap hingga cahaya fajar menerjang waktu.
Hangatnya sinar mentari pagi dan dinginnya sapuan angin tidak mengurangi rasa pegal-pegal di otot tubuhku, rasanya ingin kembali tidur atau bermalas-malas. Teringat tamu istimewaku yang mempunyai waktu terbatas, akhirnya bangun dengan semangat yang masih tersisa. Tak sempat mandi pagi (padahal 24 jam belum mandi) saya ajak dua sejoli itu jalan-jalan ke sawah hits di ujung kampung, tentu saja dengan harapan mereka menikmati sajian keindahan alam Banjar. Sayang sekali sunrise saat itu tidak begitu sempurna tapi masih bisa dinikmati walaupun kapas hitam di langit menutupi.
Tidak Ada Jeram Solusinya Ditarik |
Sebagai manager perjalanan, saya berwenang mengatur waktu sedemikian rupa agar tamu lebih disiplin dengan pembagian waktu yang sudah diagendakan. Agenda pagi ini memang tidak terlalu muluk hanya menyaksikan sunrise dan berkunjung ke sebagian keluarga. Dalam kunjungan keluarga setiap keluarga (rumah) dijatah tidak melampaui 10 menit saja. Awal kunjugan ke rumah keluarga uwa Sawin, pembicaraan berlangsung tidak lebih 10 menit. Berlanjut ke rumah keluar Mang Panjul, di sini agak lama mungkin juga terbawa suasana keramahan jadi agak lebih betah. Waktu yang digunakan lebih dari sepuluh menit, mungkin sekitar 15 menitan. Management waktu yang saya terapkan cukup berhasil, khawatir saja jika tidak ada management waktu semua agenda terlewati begitu saja dan mubah.
Proses menyebalkan daripada perjalanan adalah persiapan, utamanya mandi!! Ya setiap orang punya kebiasaan tersendiri dalam urusan personal hygiene satu ini, tak jarang orang menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk urusan mandi saja. Jadi repot sekali jika ada salah satu anggota keluarga ataupun siapa saja yang mempunyai tabiat mandi lama. Bersyukur mereka berdua tertolong manusia normal untuk menghabiskan waktu di kamar mandi.
Semua persiapan sepertinya sudah dikatakan laik jalan! Mulai dari ban bocor sudah diperbaiki, baju ganti, perbekalan dan keuangan sudah komplit, tinggal berangkat saja!. Sebelum berangkat menyempatkan dulu untuk isi bahan bakar dulu di SPBU terdekat, perjalanan pertama ini tidak ada satu pun SPBU di jalur Pamarican-Pangandaran via Langkaplancar. Jadi persiapkan bahan bakar mesti penuh.
Agenda ke dua ini memang sudah diidamkan Juli dari tahun-tahun di mana dia masih lajang, namun selalu gagal karena terbentur aku yang sibuk di sekolah dan kampus. Rumah bibi Siad, rumah saudara yang belum pernah dikunjungi Juli selama hidupnya berlangsung. Banyak faktor yang menyebabkan Juli tidak pernah berkunjung ke sana, salah satunya jarak yang lumayan jauh, tidak ada layanan kendaraan umum dan akses jalan yang boleh dikata di bawah SNI atau memang itu Standar Nasional Indonesia untuk kualitas jalan di pedesaan Indonesia?! Entahlah yang pasti jalan itu lebih buruk daripada jalan di depan rumahku.
Lokasi rumah bibi Siad memang masih satu kecamatan denganku hanya saja dia di pegunungan dan tepat di perbatasan kabupaten Pangandaran dan Tasikmalaya. Jaraknya kalau menurut perhitungan Google Map sekitar 15 Km, bisa ditempuh dengan menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam tergantung orang yang sudah professional membawa kendaraan di jalan jelek atau tidak pernah sama sekali. Untuk ukuran saya bisa mencapai 1 jam lebih 10 menitan, itu dalam kondisi jalan tidak basah (kering) dan mungkin akan lebih dari 4 jam kalau kondisi jalan saat ataupun selepas hujan! Ngeri cuy...! Taruhannya nyawa soalnya!.
Berbagai tanjakan dan turunan tajam dilewati dengan perasaan yang lumayan menguras andrenaline dalam kelenjar-kelenjar endokrin. Entahlah untuk mereka berdua, tapi saya percaya mereka pun mengeluarkan adrenaline yang cukup besar. Sekitar jam 09:30 kami sampai ke rumah bibi Siad, bersyukur sekali ada Nita (anak Bibi) yang belum berangkat ke rumah hajatan, coba kalau dia tidak ada di rumah, pastinya saya repot telpon sana-sini dan mondar-mandir mencari keberadaan bibi saya itu. Kalau anda mempunyai daya khayal tinggi mungkin bisa merasakan betapa susahnya mencari orang di pegunungan dengan jumlah warga yang super sedikit. Bayangkan saja satu desa (bukan ukuran kampung) satu sama lainnya saling kenal! Itu karena sedikitnya jumlah orang. Wong Aku yang satu RT saja ada yang tidak kenal.
Pose Bersama Toni, Sang Pemandu |
Cukup lama juga menunggu bibi Siad, maklum saja dia jalan kaki menyelusuri beberapa gundukan gunung yang membentang dari rumah hajatan ke rumahnya. Sambil menunggu, menyempatkan nyolong kopi cokelat (cocoa) yang sudah menguning di pohon. Lumayan buat menghilangkan jenuh dan menambah segarnya lidah. Bola kepala yang terbungkus kerudung tampak di balik gundukan tanah dan semakin membesar karena jarak yang semakin mendekat, tampak wajah berseri dari bibi yang saya cintai. Senyuman tulus terpancar menyinari hati kami yang penuh cinta kepadanya.
Obrolan sarat akan kemesraan antar keponakan dan bibi menjadi intim dan penuh kebahagiaan. Suguhan anggur hijau dan buah mangga ludes perlahan seiring kalimat-kalimat yang dimuntahkan oleh kedua bibir. Sejujurnya masih ingin menjaga kehangatan cinta dan kerinduan keluarga hanya saja waktu terikat oleh agenda lainnya. Kami memutuskan pamit untuk segera mangkat ke destinasi wisata yang sudah direncanakan jauh-jauh hari.#
Kresek hitam itu menjadi tanda manis sebuah cinta bibi terhadap keponakannya. Dia yang begitu sederhana selalu memberi keikhlasan walau hanya sekerat saja. Terima kasih akan cintamu.
Jalan menuju Pangandaran via Langkaplancar kondisinya sudah berubah 90 derajat, beberapa ruas jalan rusak bagai kulit wajah yang terkena jerawat batu yang membandel hingga bopeng-bopeng muncul menjadi logakan yang menjijikan. Ruas jalan lainnya cukup bagus hanya saja mempunyai rentang tak panjang. Rem selalu aktif saat tanjakan maupun melewati jalan dengan kondisi ektrem. Duhai Tuhan saya tak mampu lagi berapa kali tuas rem dikerutkan hingga lampu rem belakang putus terbakar!.
Paket Makanan Besar |
"Oh... Ini bernar-benar eksporasi yang 'menyenangkan' bagi kami" ucapan paska kejadian coba saat itu kalimat itu mutahil muncul, sebuah kemutlakan kalimat yang muncul adalah "Saya tidak percaya ini di pulau Jawa?! Ini menyiksa!". Itulah gambaran sepanjang jalan menuju Pangandaran.
Sepertinya saya harus menjelaskan sedikit kenapa kami memilih jalan alternative yang sungguh menyiksa motor dan driver-nya?! Penjelasannya bisa masuk diakal, pertama silaturahmi ke rumah Bibi Siad dan kedua Menghindari macet parah di jalan nasional menuju Pangandaran!. Dengan alasan itulah kami bertekad menyelusuri jalanan yang tidak memenuhi unsur SNI ataupun ISO 2008. Jangan ISO, standar MUI dan BPOM juga gak masuk!.
Berbekal Google Map Aku menemukan lokasi Grand Santirah, lokasi body rafting yang cukup terkenal. Jujur saja saya sendiri belum tahu lokasinya dan belum pernah juga mencoba plesiran ke Santirah. Jadi inilah yang pertama bagiku! Horeee....
Akses menuju Santirah boleh dibilang sangat bagus terutama dari Pangandaran hingga masuk sampai depan kantor desa Selasari, hampir semua jalan diaspal jenis hotmix dan sebagian dengan beton. Sementara jalan dari depan kantor desa Selasari menuju muka Santirah masih menggunakan aspal kualitas rendah. Namun cukup beruntung karena tidak ada kerusakan jalan yang menyusahkan pengunjung.
Menunju Santirah kami dihadang calo pemandu wisata, kalimat-kalimat iklan yang persuasif terlontar dari mulut pemuda yang bernama Toto. Saking persuasifnya kami bersedia menggunakan jasa wisatanya, hanya sayang saat di lokasi kami tidak dipandu oleh Kang Toto, melainkan oleh rekannya yang bernama Toni. Tapi semua itu tidak ada masalah. Jasa wisata yang kami beli untuk satu orang paket komplit seharga Rp 125.000 meliputi rafting, pemandu, toilet, parkir dan satu paket makan besar dengan daging ayam bakar.
Berpikir akan kesenangan lain kami yang masih capek dengan perjalanan jauh Pamarican-Pangandaran ingin melepas capek itu dengan segarnya air pegunungan. Buka celana, buka baju, pasang life vest kami siap rafting! Yeeee.....
Banyak Lalat Kerbau Di Sepanjang Jalan Pulang Dari Aliran Sungai Santirah |
Sebelum rafting ada breafing tentang keselamatan saat rafting. Setelah breafing barulah rafting dimulai! Waduh airnya jernih dan dingin sekali, kulit bereaksi berlebihan saat terkena cipratan air dingin itu. Huuuhhh...dingin!.
Sesuai dawuh alam bahwa musim kemarau memang debit air meyusut tajam sehingga jeram sungai tidak kuat bahkan disebut lemah! Tapi beruntung masih bisa menghanyutkan ban mobil yang ditunggangi bokongku. Terkadang juga jika salah posisi bokong terbentur bebatuan. Duh lumayan sakit loh terlebih lagi kena coccygis kalau kena otot sih gak terlalu sakit.
Pemandangan bebatuan/tebing sungai Santirah begitu mempesona bagi setiap pengunjung, ukiran Tuhan yang sempurna. Beberapa air terjun juga ditemukan, saya pikir jumlahnya lebih dari lima buah. Keistimewaan lainnya dari Santirah yakni adanya gua yang cukup banyak yakni empat buah gua, salah satu gua yang terpanjang memiliki rentang panjang 100 meter. Beberapa spot untuk terjun bebas juga tersedia tapi yang paling tinggi, sekitar 13 meter yakni di akhir rute rafting.
Keseruan rafting terjadi dan penuh iri dengki dengan kemesraan yang mereka lakukan. Hanya aku dan pemandu saja yang iri, merasa dunia begitu sempit hingga susah bernafas. Ini bukan salah mereka tapi salah kami yang belum menikah hahahaha.
Mereka Selalu Pamer! |
Toni sebagai pemandu kami menceritakan sedikit legenda Santirah yang berasal dari keirian masyarakat dan kecurigaan masyarakat terhadap Santirah yang merupakan rongeng gunung yang mashur kala itu. Santirah menjadi korban persembahan dengan diceburkannya ke aliran sungai. Tragis memang! Tapi terbukti legenda itu memang syarat akan kearifan lokal, keadaan alam aliran sungai ini boleh dibilang secantik Santirah si rongeng gunung.
Pelayanan dari wisata Santirah cukup memuaskan kami bertiga. Di akhir sesi kami disuguhi ayam bakar dengan seonggok sajian khas Sunda. Wangi nasi liwet begitu menggiurkan lidah,aliran ludah keluar deras dari kanal-kanal kasat mata. Dua kali tiga kali suap kenikmatan terasa sampai meresap ke lidah paling dalam, rasa ingin menambah tak terbendungkan tapi apa daya ini sudah paket jadi jika ingin tambahan wajib mengeluarkan uang ekstra.
Pengalaman seru sudah tercipta di Santirah, kini kami berpindah ke lokasi lainnya yang cukup menarik yakni Jogjogan Pangandaran yang lokasinya masih satu desa dengan Santirah. Saya sendiri sudah pernah berkunjung ke sana di awal tahun 2018 dengan Rylo. Jogjogan Pangandaran memang masih mempunyai keindahan tersendiri bagi setiap pengunjung. Untuk memasuki wilayah Jogjogan dikenai karcis masuk dengan hitungan yang agak membinggungkan (bukan perorang) melainkan perkendaraan. Kami berruga dikenai biaya Rp 15.000 untuk semuanya. Cukup murah memang!.
Tulisan Segede Gaban Untuk Orang Yang Minus Sepuluh |
Hidangan menarik dari Jogjogan Pangandaran adalah spot swafoto yang menarik, curug yang keren dan gua kelelawar yang panjang. Spot menarik lainnya ada taman di atas bukit sebelah timur, namun tampaknya jarang orang tertarik ke sana.
Latar belakang hutan hujan tropis yang hijau menjadi background yang menarik terlebih lagi saat terang hari samudra terlihat jelas di ujung selatan sana. Atik dan Juli berpose mesra di spot ini, beberapa gaya lenjeh terekam dalam bidikan kamera. Saking menikmatinya mereka meminta beberpa kali difoto. Di tempat inilah saya khilaf akan harta benda yang dikeluarkan, beruntung masih ada tangan Tuhan yang dipercaya untuk menolong saya. Hampir saja lensa manual dan telpon genggam pintar milikku hilang dengan kekonyolanku.
Keluarga NKKBS |
Berjalan kembali menuju Curug Jogjogan yang berlokasi di bawah jurang sana tepatnya di kawasan lembah. Bisa jadi beberapa pengunjung kecewa karena curug tidak ada aliran air, ya maklum saja musim kemarau sehingga petani lebih berhak mendapatkan suplai air untuk sawahnya yang hampir berbunga. Jika pihak pengelola wisata egois dengan mengalirkan air ke curug maka petani gagal panen karena tanaman padi kurang air.
Hanya saya saja yang menyeburkan diri ke sungai dan masuk ke dalam gua. Mereka berdua sibuk memotretku dari atas. Atik nampaknya sudah lemas oleh kegiatan air yang cukup melelahkan. Juli masih tampak mempunyai energi.
Berhubung cerita sangat panjang jadi saya bagi dua saja dan saat pengetikan sudah masuk tengah malam jadi berilah tubuhku haknya untu istirahat.
Komentar
Kapan yah bisa explore lg,,😞