Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Kembali Lagi Ke Klaces, Kampung Laut - Nusakambangan

Suasana Di Laguna Nusakambangan

Minggu pagi dimana ibu-ku sudah sibuk mempersiapkan diri untuk rewang di rumah sohibul hajat Bibi Niah. Ya hari ini anak kecil yang aku sayangi sedari dulu akan disunat. Maafkan aku yang sekarang lupa. Bagiku hari ini tidak lah spesial dan juga tidak terlalu buruk, berjalan saja sesuai jarum-jarum penunjuk waktu yang berwarna merah atau hitam. Itulah waktu yang berubah dan merubah. 

Seminggu yang lalu, sepulang gowes dari Jawa Tengah sejengkal (perbatasan) berbagai rencana gowes diumbar begitu saja, entah terjadi atau tidak tapi inilah sebuah rencana. Dan tangan Tuhan memberkati hingga akhirnya rencana itu terjadi. Terima kasih Tuhan.

Awalnya penuh ragu dengan kondisi keuangan yang sangat minim, hanya 120.000 rupiah saja dalam dompet. Rencana gowes ke Nusakambangan mungkin akan menjadi sebuah angan saja, ide perjalanan diganti sampai Banjarsari atau perbatasan Kabupaten di Ciulu. Dalam perjalanan masih saja ingat apa yang terjadi di rumah, seperti kurang pantas tapi mau bagaimana lagi. Ini sudah terjadi.

Aktifitas Nelayan Di Nusakambangan

Di desa terakhir kecamatan Pamarican, tampak satu rombongan kecil mengayuh sepeda jenis balap dengan ban kecil. Ternyata mereka master sepeda di Pamarican, Mas Bagio salah satu pendiri klub KSEP (Komunitas Sepeda Pamarican). Aku dan Imam sempat kewalahan untuk menyeimbangi kecepatan mereka, maklum aku pakai sepeda jenis MTB sementara mereka sepeda jenis balap. Aku tertinggal jauh entah berapa kilometer hingga bertemu kembali di tugu perbatasan Kabupaten Ciamis - Pangandaran.

Keraguan dalam hati bergejolak kembali, setiap gowesan terasa bimbang dengan uang yang cukup atau tidak. Aku khawatir menyusahkan orang hanya karena kegiatan yang tidak penting. Bayangkan uang Rp 15.000 hanya cukup untuk naik perahu sekali jalan lagi. Ada ide lain yang bisa diambil yakni hanya sampai dermaga Majingklak atau keliling Palatar Agung. Dalam hati hanya bisa berharap untuk sampai lagi ke Klaces seperti dua tahun yang lalu. 

Sekali-kali otakku berkata "Semoga nemu duit di jalan" sambil mengayuh peda harapan itu selalu ada. Maklum lah kepepet tapi keinginan terlalu besar sehingga khayalan begitu tidak masuk akal. Gowesan semakin melambat saat memasuki wilayah Ciganjeng dimana hembusan angin cukup kuat dari arah selatan. Beberapa wilayah dengan sawah luas membuat tenaga keluar maksimal untuk mengayuh dan melawan angin. Wilayah muara dekat pelabuhan Majingklak juga mempunyai angin cukup besar sehingga kaki terasa lemas dibuatnya.

Sampan Kecil Di Kanal Klaces

Beberapa teknik harus dilakukan agar energi tidak keluar terlalu besar dan percuma. Saat di wilayah penuh hembusan angin saya hanya menggunakan kekuatan ringan sampai sedang saja kecuali angin tidak berhembus kencang kecepatan diperbesar. Dalam berolahraga sepeda juga harus mempunyai teknik yang baik terutama jika sepeda bukan yang diperuntukan, medan lintasan dan juga kekurangan sepeda. Dengan alasan tersebut juga aku menolak ajakan mas Bagio yang mempunyai tujuan ke pantai Karangnini. Saya menolak karena alasan kemanan dan keselamatan dari Imam dimana sepedanya tidak safety.

Medan berat di Karangnini cukup banyak terutama di kawasan Emplak dan di Karangnini sendiri dimana banyak kendaraan besar yang lalu lalang, banyaknya tikungan tajam, tanjakan dan turunan sekaligus tikungan. Medan tersebut harus mempunyai kesiapan mental, kondisi laik dari sepeda dan juga konsentrasi penuh. Semua itu sangat beresiko. Berbeda dengan track ke Nusakambangan yang hanya melewati beberapa tanjakan biasa di sepanjang jalan dari Pamarican hingga Dermaga Majingklak, sementara di Nusakambangan sendiri hanya track datar dengan lingkungan rawa.

Kami sempat bertemu kembali hanya selewat saja karena kelompok mas Bagio sedang istirahat di komplek warung kecil di pinggir sawah rawa Ciganjeng. Selanjutnya kami tidak bertemu kembali. Selama keberangkatan kami hanya istirahat barang lima sampai delapan menit saja, tidak lebih. Istirahat pertama di Sukajadi untuk isi angin, ke-dua di Ciulu dan yang terakhir di Majingklak sebelum menyebrang ke Nusakambangan.

Aku dan Imam sempat terheran dengan sebuah harga gorengan tempe mendoan yang ukurannya cukup besar dengan harga Rp 1000 perbijinya. Bayangkan masih ada harga Rp 1000 untuk gorengan tempe mendoan sebesar itu. Di Pamarican sendiri harga mendoan sebesar itu biasanya dihargai Rp 2500 perbijinya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih untuk ibu pedagang yang rela memberikan air minum 500 ml secara gratis untuk ku. 

Pesawahan Dekat Muara Sungai Citanduy

Terik matahari mulai menyengat dengan suhu sekitar 30°C tidak ada gerombolan awan hitam yang melintas di antara birunya langit. Hampir bersih nan biru. Suasana dermaga begitu sepi hanya diisi seorang petuga dan empat calon penumpang. Beberapa tukang perahu menanti penumpang yang akan menyebrang ke Nusakambangan. Begitu sepi, namun terjadi.

Dari ujung selatan sebuah perahu cukup kecil membawa dua box besar berwarna kuning. Sesekali mereka bercakap dengan bahasa Jawa Banyumasan, bahasa yang sama dengan bahasa ibuku. Semua percakapan aku mengerti dan tak ada satu kata pun lolos dari otak-ku. Dengan lantang seorang tadi meminta tolong untuk dibantu membawa box besar dari perahu ke daratan hingga naik ke sepeda motornya. Aku dan Imam bersedia membantunya dengan senang hati. 

Box terasa berat dan sedikit dingin, ternyata berisi ikan laut yang dilapisi es batu. Menurut pedagang ikan, box ikan akan dibawa ke Pangandaran untuk dijual, harga ikan di Klaces Nusakambangan dengan harga di Pangandaran terlampau jauh perbedaannya sehingga para nelayan dengan sedikit bersusah payah menjual hasil tangkapannya ke Pangandaran untuk memperoleh untung yang cukup tinggi.

Dermaga Majingklak

Aku bersyukur waktu tunggu perahu tidaklah terlalu lama, mungkin hanya 15 menitan. Merasa kasihan juga kepada rombongan keluarga yang sudah menunggu selama satu setengah jam. Ada kejadian cukup membuatku malu dimana aku salah masuk ke perahu barang bukan ke perahu penumpang. Bersyukur tidak ada seorang pun yang menertawakanku. Perahu ukuran sedang itu hanya diisi tujuh orang berserta "kapten" perahu, cukup sedikit juga. Sepeda ditaruh di sisi paling depan dekat mancung perahu, sementara penumpang duduk di tengah-tengah perahu.

Inilah pengalaman ke-dua kalinya, namun perasaan tidak pernah berubah dengan keindahan dan penduduk dari Klaces Nusakambangan. Terlalu kagum. Entah dengan hati kecil Imam, takjub atau tidak. Tapi tampak begitu antusias mungkin dia sedikit terhibur dengan perjalanan ini. Waktu tempuh penyebrangan menelan waktu sekitar 15-20 menit saja, cukup lama memang.

Perjalanan kali ini berbeda dari sebelumnya karena tidak melewati pulau-pulau kecil dengan tumbuhan bakau, sayang sekali. Padahal jika melewati pulau-pulau kecil itu pastinya akan menarik karena melihat satwa-satwa dilindungi seperti lutung jawa dan primata lainnya.

Dermaga Klaces Nusakambangan

Sampai di Klaces Nusakambangan kami tidak berhenti untuk istirahat melainkan langsung gowes ke tempat-tempat menarik. Tempat pertama yang kami kunjungi ialah dermaga Klaces. Dermaga Klaces yang dibangun pemerintah begitu sepi hanya tampak beberapa perahu saja, entah kenapa dermaga resmi dari pemerintah sepi dibandingkan dermaga yang dibangun masyarakat sekitar. Jarak dermaga tidak resmi yang lokasinya berhadapan langsung dengan kantor kecamatan Kampung Laut tidak terlalu jauh sekitar 200 meter saja. 

Tidak terlalu lama kami berkunjung ke dermaga Klaces, hanya sebatas melihat begitu saja lalu pergi ke mata air alami dan juga gua keramat Masigit. Jarak antara gua Masigit dan dermaga cukup jauh sekitar satu kilometer saja, jalan yang ditempuh berupa dataran dengan paving yang disusun rapih, beberapa paving ada yang rusak terutama di kawasan hutan rawa-rawa. Lima kali roda sepeda hampir saja menggilas kadal besar, biawak. Beruntung biawak tidak mengejar ataupun menggigit kakiku. Beberapa spesies burung yang dilindungi tampak seperti jenis-jenis bangau, jalak kerbau, burung koak, dan gagak. 

Seruan "selamat datang" cukup keras untuk didengar, seruan-seruan itu keluar dari mulut buas dari primata penghuni hutan. Suara primata yang paling mudah dikenal yakni suara monyet jenis beruk. Sisi-sisi jalanan terdapat solokan kecil bahkan saluran air besar mungkin juga sungai dengan warna air kuning hingga cokelat khas air rawa-rawa. Aduhai betapa surganya daerah ini, bayangkan di solokan kecil saja banyak sekali ikan. 

Imam Dan Aku Di Depan Gua Masigit

Akhirnya kami sampai di sumber mata air yang jernih. Hanya saja kami sangat menyesal karena sumber mata air tercemar oleh minyak. Mungkin minyak dari kegiatan-kegiatan memasak. Kilauan minyak tampak tapi tidak begitu banyak. Kejernihan air masih tetap. Sepatu dibuka dan baju pun dibuka hingga menanggalkan celana khas pesepeda. Maklum saja kami tidak membawa baju atau celana ganti. Apalagi aku yang tidak memakai celana dalam. Ups.

Saya sendiri selalu tidak memakai celana dalam jika gowes lebih dari sejam. Kenapa tidak memakai celana dalam? Celana dalam jika digunakan saat gowes lebih dari sejam akan menghambat aliran darah dari atas ke bawah, gesekan kulit dengan kain juga akan semakin besar sehingga rawan lecet terlebih lagi kulit bagian kelamin sensitive dan cukup tipis. Jadi lindungilah asset anda dengan pemilihan pakaian yang pas. Celana khusus pesepeda biasanya menggunakan kain halus dan elastis sehingga cukup nyaman untuk kulit, selain itu terdapat busa padding yang membuat nyaman "burung" dan dijamin bokong tidak akan cepat sakit karena gesekan dan tekanan besar dari tubuh ke sadel sepeda.

Celana basah beserta kulit, terasa segar sekali. Seakan-akan surga masuk ke dalam tubuh. Alhamdulillah. Pohon beringin di samping kolam mata seakan-akan menjadi ibu yang selalu memberikan air jernih yang suci. Kami kadang-kadang mendiskusikan akan keragaman kepercayaan di Indonesia termasuk kejawen dan keislaman. Jarak mata air dengan gua Masigit tidak terlalu jauh hanya 50 meter saja. Beberapa peziarah berlalu lalang dengan latar belakang bahasa yang berbeda. 

Susana Mata Air Masigit

Tak sedikit para peziarah menggunakan kerudung dan kopiah, ini adalah sesuatu yang sangat biasa untuk kawasan ini. Semua orang paham dan menghargai. Gua Masigit sendiri cukup terkenal diantara masyarakat kebatinan ataupun masyarakat yang kenal akan dunia mistikus. Para peziarah datang bukan hanya untuk 'beruzlah' tapi banyak tujuan termasuk kemudahan rezeki. 

Rombongan kedua dari peziarah datang dari Karangkandri - Cilacap, mereka datang sekitar sepuluh orang lebih dan masih mempunyai hubungan keluarga dekat. Saya membuntuti mereka, dengan nada sopan aku mulai masuk ke kelompok peziarah itu. Banyak percakapan keluar hanya untuk basa-basi termasuk menanyakan asal usul kota. Ibu itu terlampau baik kepada kami walaupun hanya sebatas susunan kalimat, namun kami sungguh berkesan. Ibu itu mengajak kami untuk ikut tanpa harus membayar jasa sang kuncen (juru kunci). Aku cukup gelisah walaupun untuk kedua kalinya berkunjung ke halaman muka gua Masigit.

Gua Masigit dipercaya sebagai sebuah masjid raya bagi mahluk Tuhan lainnya, daya mistik sungguh terasa dimulai dari mata air, muka gua hingga masuk ke dalam gua. Gua ini ternyata belum dipugar, padahal dua tahun berlalu saya pernah ke sini walaupun hanya sampai muka gua saja. Bagunan pendopo untuk peziarah masih seperti dulu bahkan kondisinya sedikit memprihatinkan. Gerbang gua tampak kotor dan rapuh. Sekan memunculkan aroma mistiknya.

Gua Masigit

Aku sempat merasa tidak terhormat karena masuk ke muka gua dengan celana ketat dan hanya sampai lutut saja. Saya menghargai kepercayaan bahwa gua ini merupakan sebuah masjid besar. Otak-ku ternyata tidak terlalu bodoh untuk menemukan sebuah ide, akhir celana berjenis kain mulur itu diperosotkan sampe ke lutut hingga lutut tertutup. Dengan keyakinan keislaman atau budaya jawa bahwa batas kesopanan atau aurat berada di pangkal lutut untuk seorang pria. Beruntung otak-ku berfungsi saat itu, akhirnya aku bisa masuk ke dalam gua yang sungguh amat besar.

Sebelum masuk ke dalam gua, kuncen pamit dulu kepada sang penghuni 'masjid', dupa wangi dibakar dan ditancapkan di dekat batu kecil yang agak lancip. Untaian kalimat 'kulo nuwun' keluar dari mulut kuncen dengan bahasa jawa halus yang fasih. Aku tidak bisa menangkap setiap kosakata jawa halus itu, namun paham dengan maksud pak kuncen. Sekitar dua menit Pak kuncen berpamit, hingga akhirnya kalimat asalamualaikum sebagai kalimat awal masuk ke dalam gua. 

Wangi dupa masih terasa hingga ke dalam gua tapi tidak membuat sesak nafas ataupun merasa risih dengan wewangian khas itu. Imam dan aku hanya ikut saja dengan ibu yang mengajak-ku tadi. Beberapa cahaya lilin tampak di beberapa titik, awal sekali lilin berada di 'pancuran' dimana air menetes dari batu stalaktit. Air dari 'pancuran'itu dipercaya mempunyai banyak khasiat hingga banyak penziarah membawanya dengan botol minuman. Ada 'pancuran' yang hanya keluar untuk orang-orang 'pilihan', orang-orang 'pilihan' adalah orang yang dengan mudah mendapatkan air yang menetes dari batu stalaktit, sementara orang bukan pilihan sampai kapan pun tidak akan mendapatkannya.

Foto Dekat 'Saka Masjid'

Beranjak kembali ke 'saka' (tiang) berbentuk batu stalaktit yang cukup besar membentuk sebuah tiang. Kepercayaan setempat mengatakan bahwa batu stalaktit itu sebagai tiang masjid dan bagi setiap orang yang bisa memeluk 'tiang' tersebut hingga jari dengan jari menyentuh berarti orang tersebut sangat istimewa dan mungkin keinginannya dikabulkan atau dalam arti cocok dan diterima oleh sang penunggu gua. Rombongan keluarga peziarah itu mencoba satu bersatu, namun tidak ada yang dapat mengapainya. Padahal ada dua bapak-bapak yang perawakan jangkung dan tangannya cukup panjang. 

Aku tertarik mencobanya. Tidak banyak harapan ataupun doa, hanya tertarik dan penasaran. Dan ternyata jariku menggapai dengan sempurna. Aku terheran padahal badanku kecil. Imam pun tak kalah penasaran, Imam sendiri mempunyai perawakan lebih besar dariku tapi sayang sekali jari dia tidak bisa mengapainya.

Ada satu titik cahaya lilin berada jauh cukup jauh,di sanalah kuncen dan keluarga peziarah berdoa. Penasaran namun hatiku berkata untuk tidak selalu penasaran dengan hal-hal yang terlalu pribadi. Aku keluar dari gua dan menyempatkan diri untuk berfoto. 

Bagunan Sebelah Gereja Adalah Masjid

Aku kembali ke kolam mata air dimana sepeda aku parkirkan. Bingung mau kemana lagi, aku bertanya ke orang lokal yang sedang membawa batu kapur untuk pembangunan sebuah masjid. Aku bertanya tentang lokasi gua Maria, terasa patah harapan karena gua Maria cukup jauh dan tidak ada kuncen di sana. Bingung mau kemana lagi.

Dua orang pemuda dengan motor klasik RX King datang menghampiri, entah apa tujuan mereka menghampiri. Mungkin juga mereka ingin berenang di mata air. Mereka tampak bingung. Aku mendekati dengan ramah untuk menanyakan tempat-tempat menarik di sekitar Klaces.

Mereka yang hangat menerima kami sebagai teman baru membawa ke kampung Ujung Alang dimana banyak bakau dan jembatan apung yang cukup menarik. Lokasi Kampung Ujung Alang cukup jauh dari gua Masigit sekitar 3 Km menurut perhitungan Google Maps. Track seperti yang lainnya yakni paving dan jenis corcoran. Kiri kanan berupa kanal-kanal khas laguna. 

Kami sempat terpisah dengan dua pemuda itu, entah bagaimana ceritanya namun aku bersyukur dan berterima kasih atas saran dan sambutan hangatnya. Akhirnya kami sampai ke jembatan apung yang cukup terkenal itu indah juga ya jembatannya. Berkeliling di kampung Ujung Alang cukup menarik karena pulau ini cukup padat penduduk terlebih lagi pulaunya kecil.

Pose Di Depan Jembatan Apung

Ada hal menarik yang saya pikir sangat berharga untuk kehidupan dimana di Ujung Alang terdapat dua gereja dan masjid yang lokasinya bersebelahan ataupun saling berhadapan. Aku sungguh terharu melihat fakta ini. Dimana dua tempat ibadah bersebelahan dengan damai, tentu saja ini gambaran nyata sebuah kedamaian dalam beragama. 

Keramahan sungguh terasa dari penduduk lokal dimana saya mendapatkan air minum gratis dan juga mendapatkan keramahan yang luar biasa. Kami memutuskan untuk kembali pulang pada jam 14:30 tepat pukul 14:40 kami menyebrang dengan selamat hingga ke daratan pulau Jawa.

Dermaga Ujung Alang Nusakambangan

Perjalanan ini menghabiskan Rp 58.000 berikut details: Gorengan Mendoan Rp 4000, Perahu berangkat Rp 20.000, Minum es Rp 2000, Perahu pulang Rp 15.000, Mie ayam Rp 12.000 dan Teh gelas Rp 5000.

Kami sampai rumah jam 18:15 jadi perjalanan ini menghabiskan waktu 12 jam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d