Cucian beres seketika dengan kekuatan 10 tangan lumayan capek karena kotor semua. Barang tentu karena cucian sudah beres saya akan lanjutkan kembali edisi "Purwokerto" sebagai edisi penutup. Solo traveling adalah kebiasaan lama saya yang dinikmati dengan kebebasan hanya saja kadang merasa kesepian karena tidak ada orang bisa diajak ngobrol. Namun di setiap perjalanan pasti ada teman yang luar biasa. Kali ini pun saya mendapatkan teman perjalanan baru dan tentunya native people alias bumiputera. Ketidaksengajaan ini menjadi tuah tersendiri bagi saya, dimulai dari keinginan untuk mengunjungi Pancuran Pitu atau Pancuran Tujuh yang terletak 2,5 Km dari lokasi wisata Baturaden saya bertemu dengan Yudha dan Muhammad.
Keselamatan memang lah hal utama dimana pun berada saya memilih untuk mencari teman baru untuk dijadikan pemandu atau sebagai teman yang bisa menjaga keselamatan satu sama lain. Lokasi Pancuran Pitu yang agak jauh dengan hutan yang lebat ternyata membuat hati saya ciut untuk menyelami lautan pohon itu. Syukur pada yang Kuasa saya bertemu dengan dua orang bumiputera tersebut.
Akses menuju Pancuran Pitu tidaklah seterjal yang dibayangkan hanya saja bagi sebagian kalangan memang agak memeras peluh di badan. Jalan yang bisa dilewati bisa memuat 2 orang namun kadang-kadang ada yang cukup satu orang saja. Sampah hal yang menyedihkan dari kebiasaan buruk para wisatawan selain itu juga sangat disayangkan pengelola tidak menyediakan tempat sampah yang besar dengan jarak yang cukup hal ini bisa mengurangi wisatawan untuk membuang sampah sembarangan.
Arah jarum jam: Ibdisch, Muhammad dan Yudha |
Vegetasi di hutan ini sepertinya heterogen namun ada vegetasi homogen di sekitar lokasi. Layaknya trek untuk memanjat gunung di sini terdapat pos pos untuk beristirahat dan menikmati hidangan khas. Setiap pos memiliki keindahan tersendiri misalnya saja ada sebuah pos dengan pemandangan kota Purwokerto dan wilayah lainnya.
Pancuran Pitu sepertinya mempunyai manajemen atau pengelola terpisah dengan Baturaden. Di sini Anda harus membayar Rp 10.000 untuk memasuki kawasan Pancuran Pitu. Bagi saya tiket termasuk mahal karena hanya beda Rp 5000 saja dengan Baturaden. Baiklah ini hanya pendapat relatif ekonomi seseorang seperti saya.
Dari gerbang karcis beberapa meter masih landai selanjutnya menuruni anak tangga. Di sepanjang jalan banyak pedagang yang menjajakan barang dagangan misalnya ada bubuk belerang yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit kulit, lahang atau air dari nira ataupun pohon aren yang rasanya super manis, di kampung halaman ku sendiri, Ciamis banyak yang membuat gula dari air nira ini baik dari pohon kelapa maupun pohon aren. Bagi Anda yang mencari azimat atau jimat di sini banyak sekali yang menjual barang azimat baik dari pepohonan ataupun dari hewan. Bagi yang percaya akan pembacaan garis nasib di tangan silahkan mendekati Bapak peramal tentunya sediakan uang sebelum transaksi. Saya tidak tahu persis tarif untuk membaca suratan tangan. Sederet kios sederhana yang berjajar berhadap hadap jalan membentuk sebuah lorong juga menjajakan makanan minuman serta souvenir.
Pancuran Pitu yang menjadi ikon lokasi ini tak jauh dari sederet kios tadi di sana terdapat pancuran yang berjumlah tujuh dengan air panas bumi yang mengalir alami namun tidak deras mengalir. Jika mengantri terlalu lama untuk mandi di Pancuran Pitu Anda bisa merogoh kocek kembali untuk memanjakan tubuh dengan lulur belerang. Cukup Rp 50.000 untuk lulur wajah, tangan, kaki dan badan. Jika hanya menginginkan sebagian anggota badan saja bisa membayar Rp 20.000 lumayan terjangkau.
Hari Ahad memang ramai pengunjung akhirnya saya putuskan untuk mencari lokasi lain yang agak sepi yakni ke bagian bawah dari Pancuran Pitu. Di sana ada curug air panas yang lumayan tinggi dan airnya lumayan deras. Menarik sekali selain air panas yang mengalir ada air dingin yang setara dengan air dari lemari es. Cobalah untuk merasakan saraf Anda bekerja di air hangat dan di air dingin. Tidak sia-sia memang dengan harga Rp 10.000 untuk menikmati keindahan alam dan pemandian air hangat dan super dingin ini. Yang menjadi penyesalan di sini adalah kemanakah celana dalam mahal saya?!!! Kemungkinan hanyut hahahaha. Menyedihkan. Sebulan menabung untuk celana dalam itu ternyata harus lepas hilang dibawa dinginnya air di Pancuran Pitu.
Curug yang memadukan air panas dan dingin |
Ada lorong atau juga disebut gua yang menjadi aliran air nampak tidak begitu panjang. Di atas gua juga terdapat curug kecil yang mengalir dengan air dingin. Rasanya puas sudah dengan sajian alam di Pancuran Pitu. Akhirnya saya, Muhammad Asgaf dan Yudha memutuskan untuk kembali ke Baturaden karena ada beberapa rencana lain yang belum ditunaikan.
Pulang dengan kebahagiaan dan kepuasan merupakan tujuan utama dari plesiran. Berjalan dengan santai sambil membagi foto yang telah dihasilkan dengan teknologi Bluetooth yang tersedia di telpon genggam masing - masing. Sesampainya di Baturaden mampir ke kedai untuk menyantap hidangan khas berselera. Saya sampaikan sekali lagi kepada Bapak Warsono atas hidangan yang nikmat.
Sesuai kesepakatan ada rencana lain yang terbilang nyeleneh karena ini tidaklah biasa bagi kami ataupun bagi Anda - anda sekalian. Tujuan terakhir kami adalah Gang Sadar yang terkenal seantero Indonesia bahkan dunia bagi peminat kebebasan dalam eksperimen seksual. Kami hanya penasaran saja untuk melihat - lihat aktivitas apa yang terjadi di lingkungan Gang Sadar tersebut. Berbekal keberanian yang tipis akhirnya saya dan Yudha mencoba masuk ke area "Lampu Merah" tersebut. Masuk agak dalam ada pos yang dijaga oleh bapak bapak setengah baya dan beberapa orang wanita yang cekak cekik entah apa yang mereka lucukan. Pertama masuk kami langsung ditawarkan seorang perempuan oleh bapak tadi jelas kami menolak. Terus terang kepada penjaga bahawa kami datang untuk lihat - lihat saja. Kami dipersilakan untuk membayar sumbangan suka rela sebelum masuk.
Kepala dan kuping terasa panas karena lingkungan yang dicap sebagai sarang "jahanam" ini. Berjalan menyelusuri semua bagian dari gang yang cukup luas dan.terisi oleh rumah rumah kecil seperti kos - kosan dengan penghuni yang sedang berdandan maupun sedang menunggu lelaki yang ingin melepaskan "lendir kenikmatannya". Tidak sampai 10 menit untuk mengelilingi kawasan "jahanam" ini kami putuskan untuk kembali pulang. Sayang sekali Muhammad tidak ikut masuk hanya saya dan Yudha saja. Mendung dan gerimis mengiringi perpisahan dengan teman yang luar biasa. Terima kasih untuk kalian semoga kita bisa berjumpa lagi dengan petualang yang luar biasa kembali.
Komentar