Petualangan birahi masih terjadi pada bab ini, petualangan demi petualangan dengan berbagai jenis perempuan. Bab ini juga tidak bergeser latar belakang tokohnya hanya Keluarga Wanamarta yang mencari Syekh Amongraga diantaranya: Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya dan Nuripin. Tidak ada cerita lainnya selain mereka.
Cerita Ni Janda belum berakhir di Bab VIII, pada Bab ini Ni Jandi masih menjadi bintang dalam cerita. Tidak ada hujan dan angin tiba-tiba Ni Janda mengadakan pesta besar seperti pesta pernikahan, semua pembesar diundang. Berbagai gaya pakaian dan senjata dipakai demi menarik perhatian orang lain pada pesta besar tersebut. Ketiga anggota keluarga Wanamarta meminta izin pada Jayengresmi untuk ikut serta pesta besar Ni Janda.
Pesta miras, tayub dan seks menyatu pada acara Ni Janda. Turut mengundang Ni Madu sebagai penari utama nan ayu. Pada malam inilah paman dan keponakan terjerebab dalam nafsu syahwat. Ki Kulawirya lagi-lagi berhubung seks dengan Ni Janda dengan segala hadiah yang diberikan, Ki Nuripin pun sampai kecipratan rejeki. Berbeda nasib dengan Jayengraga hartanya terampas karena tertinggal, nasib buruk. Kotak sirih dari emas perak terampas oleh Ni Lanjar (janda kembang), dia juga tertipu oleh Ni Lanjar yang mengaku tidak ada hubungan dengan orang lain. Saat mani muncrat datanglah pacar dari Ni Lanjar masuk ke dalam rumah, pertikaian tidak bisa terhindar.
Berbagai wejangan dari Ki Jayengrasmi, sang kakak dari Ki Jayengraga. Menjadi sebuah pelajaran dan amanat yang berarti, baik bagi Jayengraga dan Ki Kulawirya, namun sayang kadang mereka tenggelam oleh syahwat. Perjalanan ini sebagai reuni kecil untuk sahabat Ki Bayi Panurta yang sebelumnya bernama Harundaya. Kedua anaknya dan adik bungsu Ki Bayi bertemu ke-sembilan sahabatnya sewaktu masih menjadi santri.
Ada satu bab yang unik yakni perkara hari baik dan naas untuk kalangan bencolèng, begal, pencuri dan bromocorah. Ternyata ada kitab dan perhitungan sendiri untuk mencuri atau berbuat jahat. Diceritakan bahwa keluarga Wanamarta masuk ke dalam kampung penjahat, di sana mereka mendengarkan wejangan-wejangan saat berbuat jahat termasuk mantra saat hendak melakukan kejahatan.
Jilid ke-9 diakhiri dengan wejangan sahabat Ki Bayipanurta tentang makna dan falsafah pertunjukan kesenian terutama tayub dan wayang kulit. Wejangan tersebut salah satunya menyebutkan manusia tidak boleh terlalu masuk dalam hiburan karena akan membawa keburukan, hiburan seperti wayang atau tayuban hendaknya dijadikan hiburan secukupnya, tidak berlebihan. Penjabaran makna dalam pagelaran wayang kulit pun disebut seperti makna blencong sebagai dian untuk kehidupan manusia yang perlu tuntunan.
Penulis: Sunan Pakubuwana V
Penyelaras: Marsono
Dimensi: 14,5X21cm; viii + 293 hlm
Cetakan: Kedua, Februari 2018
Penerbit: UGM Press
ISBN: 978-979-420-614-0
Komentar