Kehidupan Syekh Amongraga dan dua santrinya tertulis lengkap di Jilid 8 ini, perjalanan dari gunung ke gunung, lembah ke gua. Berbagai setan demit sudah dijamah, begitu juga dengan orang yang sedang bersemadi di tempat-temopat wingit. Diceritakan juga Syeikh Amongraga pertama mendapatkan seorang santri (pengikut), pengikut pertamanya adalah seorang pintar pada bidang hitungan wuku, namanya Wergasana. Setelah menjadi murid Syeikh Amongraga serta turut kemanapun pergi, dia menjadi seorang mualaf. Dan diberi nama Wergajati.
Setelah cerita Seykh Amongraga yang sudah mempunyai banyak pengikut, cerita beralih pada kehidupan di Wanamarta. Keluarga yang ditinggalkan masih dirundung sedih, terutama Niken Tambangraras. Mata pucat pasi, badan kurus tak terurus karena meriang akan kerinduan pada suaminya. Berbagai selamatan digelar agar Syekh Amongraga selalu sehat dan dapat kembali lagi ke Wanamarta.
Kini Jamal Jamil mendapat teman dalam perjalanan yakni Ki Wergajati yang tak kalah pintar. Perjalanan demi perjalanan hingga sampai pada sebuah desa, di sana Syekh Amongraga bertapa di sebuah pucuk gunung. Sementara tiga muridnya berasa di desa. Kegiatan ketiga muridnya di desa sangat aktif seperti ber-ojrat, debus, berkesenian dan mengajarkan ilmu agama sehingga masyarakat desa setempat dan desa tetangga tertarik dengan ilmu agama yang disebarkan. Beratus murid (pengikut) Syekh Amongraga bermula di desa ini, pembuatan masjid dan padepokan pun dibuat dengan segala upaya.
Ada keunikan tersendiri pada penanaman tempat yang ditinggali oleh Syekh Amongraga atau muridnya. Seriap tempat diberinya nama —abang seperti Lemahbang. Nama muridnya pun sangat khas seperti Gorajati, Wergajati. Nama depan atau belakang ditambahkan kata 'jati'.
Dua adik Tambangraras merasa kasian pada kakaknya yang ditinggal suami, berbagai upaya telah dikerahkan seperti bertanya pada pedagang ataupun sesiapa yang berasal dari Bang Wetan. Namun semuanya tiada arti hingga akhirnya mereka merencanakan menyusul Syekh Amongraga ke arah timur pulau Jawa. Dalam perjalanan tersebut turut serta sang paman, Kulawirya dan abdinya Ki Nuripin. Perjalan mereka mencari Syekh Amongraga menemui berbagai tantangan, berbagai jenis dosa, kehidupan seni dan lain sebagainya.
Tantangan jenis dosa zina selalu muncul, pertama sekali Kulawirya bermain perempuan dan juga keponakannya Jayengraga dengan anak penghulu. Jayengraga gagal mencicipi daun muda yang belum pernah mengerti akan persetubuhan, beda cerita dengan Ki Kulawirya bersetubuh nan hambar dengan seorang penari ronggeng. Celaka persetubuhan tersebut membuat Kulawirya bangkrut karena beberapa barangnya dicuri termasuk tempat sirih kinang yang terbuat dari perak.
Tak ada tobat, birahi masih saja menyala kepada kedua orang tersebut. Kini di desa yang berbeda mereka memainkan gamelan dan bertamu pada pemimpin desa, dengan permainan gamelan inilah semua orang tertarik untuk berkumpul termasuk Ni Janda. Diceritakan Ni Janda adalah seorang janda tua kaya raya, mempunyai nafsu seksual yang sangat tinggi. Kulawirya kalah bersebadan dengan Ni Janda. Hampir tiap jam Ni Janda minta disetubuhi, selalu tidak ada puasnya. Bahkan semua pria di desa tersebut mendapatkan jatah untuk bersetubuh dengannya.
Ni Janda yang sudah tua tidak kehilangan akal dalam memancing pria agar kemaluannya keras sehingga bisa menusuk ke dalam pada miliknya yang sudah tidak empuk lagi. Ni Janda bersiasat dengan para sinden atau penari yang lebih muda sehingga pria siapa saja bisa ngaceng saat melayaninya. Bisa dikata teknik threesome. Pada terbitan UGM Press bahasa yang digunakan termasuk lebih vulgar dibandingkan dengan versi novelisasi. Pada versi novelisasi tidak menggunakan kata kontol untuk menyebut alat kelamin pria.
"Kacer yang disuruh tidak lama lalu datang. Ni janda memegang kemaluan dibasuh dengan air kendi, dicuci rebah bagai lintah. Kontolnya dicuci dalam bokor. Tidak berdaya lagi tidak berkekuatan, rebah lemah lunglai. Ni Kacêr ikut meraba-raba. Dipegang dengan tidak ditekankan kemaluan itu, terasa geli seram kulit tangan kehangatan. Bergerak-gerak agak bangkit."
Kevulgaran bukan saja pada sebutan nama alat kelamin pria, melainkan juga pada jalan cerita yang lebih terbuka.
"Ni Janda Sêmbada tertawa kecil sambil menciumi kemaluan mengangguk-angguk sambil mohon belas kasihan membujuk-bujuk, "Aduh-duh kenthol, marilah lagi! Kenthol enak tujuannya, didesakkan ke depan, bawahnya, pinggang membalik menuruti menindih pada paha", Nyai janda memasang sedia diri sambil berkata, "Biyang Kacer ke situ, sandaran jagalah ini. Jangan memakai kêmbên 'kain penutup dada' serta kain panjang. Telanjang bulatlah seperti saya agar inginnya kentholmu ini!". Kemaluan lelakinya dimasukkan menyelam keras suaranya. Bergerak-gerak bagai penabuh gejog 'berlagu di lesung. Dasar tadinya tidak dibasuh, oleh karena itu sangat nikmat tabiatnya bersetubuh. Dipersemangat dalam kenikmatannya Ni Janda sampai sepuas-puasnya. Mendesis-desis menggeliat menggelinjang menggeliat, memejam-mejam meliuk-liuk terpuaskan kehendak inginnya."
Ni Janda sebenarnya juga menginginkan kontol Jayengraga, sayang incarannya selalu gagal. Hanya saja petualangan seks tersebut jatuh pada penari tandhak yang masih segar. Sayang sekali kontol panjang dan besar Jayengraga tidak terlalu kuat berlama-lama dielus oleh Ni Kacer. Beberapa dielus kontolnya menyemburkan mani segar ke seluruh wajah Ni Kacer.
Tiada hari tanpa hubungan badan, orang yang menggadaikan barang dan tidak bisa ditebus bisa ditebus dengan seks. Ni Janda penguasa desa tersebut, tidak ada satupun laki-laki yang tak pernah mencicipinya. Ki Modin yang tahu agama pun terpaksa melayani nafsu Ni Janda karena paksaan ekonomi. Hingga akhir halaman cerita pengalaman seksual dari Ni Janda belumlah berakhir.
KEKURANGAN DARI BUKU CETAKAN DAN EDISI KE-8
UGM Press apakah kalian tidak mempunyai tim QC? Sayang sekali buku yanh saya dapat cacat. Beberapa kecacatan ditemukan sebagai berikut:
1. Halaman tidak tercetak (blank page). Halaman 66&67, 70&71, 90&91 dan 94&95. Hilangnya cetakan dalam beberapa halaman jelas menghilangkan cerita.
2. Cerita tidak nyambung. Kemungkinan terjadi karena salah cetak pada halaman 151-152 diceritakan dari cerita Syeikh Amongraga dan Jamal Jamil yang berbeda latar belakang cerita disambung ke cerita di Wanamarta pada acara slametan. Cerita tidak singkron kembali ditemukan pada halaman 137-138 dari cerita Syekh Amongraga yang masuk pada pertengahan cerita perjalanan keluarga Wanamarta. Sungguh kesalahan ini sangat fatal.
3. Cetakan buku dan lem buku tidak menunjukkan kualitas buku asli (buku original).
Judul: Serat Centhini - Tambangraras Amongraga Jilid VIII
Penulis: Sunan Pakubuwana V
Penyunting: Marsono
Dimensi: 14,5x21 cm; viii + 294 hlm.
Cetakan: Kedua, Februari 2018
Penerbit: UGM Press
ISBN: 978-979-420-603-4
Komentar