Katanya novel 'pancaroba', novel peralihan zaman. Novel pembaharu di zaman itu, dimana sastrawan-sastrawan lainnya masih menggunakan gaya lama (klasik). Armin Pane kala itu membawa tulisannya dihadapan para pembaca Nusantara dengan gaya baru, gaya sastra yang belum pernah ada pasa kesusastraan Indonesia. Menurut beberapa komentar mengatakan akan sangat sulit memahami novel Belenggu jika tidak pernah membaca novel barat, atau mengerti bahasa Belanda.
Novel ini menggunakan ejaan yang disempurnakan alias EYD dari rezim Soeharto, namun penggunaan bahasa Indonesia termasuk dalam bahasa Indonesia lama. Untuk pembaca seperti saya mungkin akan lebih mudah menangkap atau mencerna dari kalimat atau kosa kata yang disajikan, sementara untuk generasi sekarang mungkin akan butuh penyesuaian. Tahun penulisan novel mungkin pada tahun 1938 dan bisa jadi diterbitkan pertama kali pada tahun 1940. Pada buku elektronik yang saya baca kali ini (cetakan ke-13) merupakan terbitan tahun 1988 sehingga ejaan sudah menggunakan eyd.
Sebagai contoh bahasa Indonesia lama yang ditulis dalam bentuk eyd: "Waktu masih menuntut pelajaran di sekolah Geneeskundige Hooge School di Betawi, tiada sedikit kawan-kawan dokter Sukartono yang memastikan, dia tiada akan sampai ke ujian penghabisan. Dia tiada cakap jadi dokter, terlalu suka akan lagu, akan seni. Pikirannya terlalu banyak terlalai". Hal 24.
Diterbitkan oleh PT Dian Rakyat Jakarta pada tahun 1988 menuai sukses kembali oleh para pembaca Nusantara, terbukti sastrawan-sastrawan mengomentari karya Armijn Pane dengan baik seperti Karim Halim, H.B Jassin, dan direksi media massa saat itu. Larisnya novel ini terbukti dengan cetakan ke-13 pada tahun 1988, tentu saja berlanjut tahun mendatang hingga saat ini. Kira-kira apa sih yang menyebabkan buku ini laris manis tanjung kimpul? Yok kita telanjangi setiap sudutnya.
Alur cerita dan gaya penceritaan tidak asing bagi pembaca saat ini, mungkin untuk pembaca zaman dulu gaya tersebut sungguh sangat membagongkan. Gaya penceritaan yang tampak modern untuk masa itu, hingga saat ini pun gaya tersebut masih kekal dan terus dinikmati pembaca.
Cerita ini berawal dari Sukartono seorang dokter yang mempunyai pasien 'gatal' namanya Ny Eni yang berstatus sebagai janda. Pada awal ceritanya nyonya Eni merupakan pasien dokter Sukartono, hasil diagnosis tidak ditemukan suatu penyakit dan disimpulkan sebagai penyakit psikologis akibat perceraian. Keanehan rasa sudah dialami Sukartono sejak awal hingga akhirnya terjebak dalam gairah perselingkuhan. Perselingkuhan ini memang bukan tanpa alasan, banyak alasan yang menjadikan mereka berdua memutuskan untuk menjalin perselingkuhannya bergairah. Nyonya Eni merupakan nama samaran dari Rohayah (Yah) teman lama dari dokter Tono, dia merupakan seorang wanita tuna susila. Sementara dokter Tono memutuskan selingkuh karena hambarnya hubungan suami istri dengan Tini.
Masalah politik juga masuk di novel ini, tentu saja masalah politik saat perang kemerdekaan dimana Indonesia saat itu hendak dan telah merdeka hingga banyak pergolakan secara politik. Nama Ir Soekarno turut disingung di sini. Selain itu rumus matematika pun tercantum di novel ini, sangat menarik sekali. Konsentrasi novel ini umumnya pada sebuah perasaan, masalah psikologis dari setiap tokohnya. Pengalaman saya sendiri untuk membaca novel ini sedikit pening karena gap bahasa yang lumayan jauh dan ada alasan lainnya yakni alur kronologis cerita yang bagiku sedikit membosankan. Maklum kurang begitu greget dengan alur percintaan.
Belenggu dicap sebagai novel seronok atau porno, untuk zaman sekarang novel ini tidaklah mengandung hal seronok ataupun cerita porno. Novel ini hanya memasukkan alur cerita perselingkuhan tanpa memasukkan kata-kata porno atau sensual. Mungkin logika atau norma zaman itu (1940) memasukkan tokoh pelacur dan alur perselingkuhan adalah imoral.
Judul: Belenggu
Penulis: Armijn Pane
Terbitan: PT Dian Rakyat Jakarta
Cetakan: Ke-13, 1988.
Komentar