Lama sudah tidak ada pertemuan keluarga besar, keluarga dari pihak ayah, jalur kakek. Untuk dekat dengan keluarga pihak kakek memang agak memerlukan keberanian juga butuh modal sukses untuk bisa dekat. Sementara untuk kondisi miskin dan bodoh rasanya kurang pas di level mereka. Inilah penyakit yang menggerus kekuatan tali kekeluargaan selama ini, keluarga jalur kakek memang bukan orang biasa. Dan aku pun mengetahui sejak dulu, namun tak pernah menyadari juga tak banyak bertemu. Dari mulai pejabat tingkat desa sampai tingkat kabupaten pun ada, tersedia dan mblarah-mblarah tak terhitung dengan jumlah jari yang ada. Semua bermobil dan berkain 'sutra', silau rasanya.
Awal bulan Maret 2022 adalah satu langkah untuk bergabung dengan keluarga besar demi untuk mempererat persaudaraan yang memang lama telah memudar. Kematian Bibi Jayeng (Yenti) seperti batu nisan yang digunakan sebagai ciri atau tanda. Ya tanda sebuah kerekatan keluarga kembali, saat kematiannya kami datang dengan segala tangis yang ada. Tangis ringan saja, karena memang beliau adalah seorang ODGJ yang tak banyak memberikan cerita kehidupan. Lubang kuburan menganga akan memasukkan beliau kepada hakekat keabadian. Di sisi semua sisi berbentuk lingkaran semua orang saling memandang dan membasahi bibir dengan doa-doanya. Kepergiannya seperti sebuah awal kami bersatu.
Dua bulan sudah dari kematiannya, kini kami berkumpul kembali untuk saling mengingat akan hubungan darah. Hajatan. Salah satu acara pengumpulan saudara, yang sebelumnya jauh kini diundang dengan hormat untuk saling menghargai dan saling menguatkan. Pagi sebelum jam delapan, ibu dan anggota keluarga sudah siap berangkat untuk melihat saudara kami yang sedang berbahagia.
Dari acara hajatan saya mendapatkan informasi jalur darah dari pihak kakek, juga mendapatkan informasi saudara-saudara yang sukses. Juga mengetahui betapa dekatnya darah persaudaraan yang sebelumnya hanya tahu sebagai tukang tambal ban di pinggir jalan raya. Semua tersingkap dengan jelas. Perkenalkan, salam salaman menjadi pintu pembuka untuk saling kenal pada saudara yang sudah padam apinya. Kini sinarnya kembali menyala walaupun hanya beberapa hari, semoga saja sinar itu terus menyala walaupun hanya sebatas bara api di arang yang rapuh.
Hajatan juga membawa kami sedikit minder dengan gaya dan perkenalkan yang berlebihan terutama menyangkut nama gelar dan juga kekayaan yang terlalu menyilaukan. Satu demi satu tanganku menempel pada orang yang disebut sebagai keponakan, kakek, nenek, sepupu. Setalah perkenalan dilanjut dengan cerita usang sebagai sambungan keluarga, cerita para mendiang ayah dan kakek sebagai jalur utama darah yang mengalir pada diriku kini.
Aku dapat menyimpulkan bahwa darah ini memang terlalu istimewa, dimana para turunnya berkualitas baik. Tidak diragukan turunan dari pihak kakek adalah utama dan berisi ketimbang pihak nenek yang terlalu sederhana. Runut cerita memang kakekku, Santa Dirja adalah seorang sederhana dengan pemikiran sederhana. Bisa saja pemikiran njawani penuh filosofi terlalu berakar sehingga kemajuan duniawi tak pernah diraih, namun saya percaya kemajuan psikologi dan batin selalu diraih dengan sukses. Sama persis dengan bapakku.
Bukan saja orang Minang yang selalu menceritakan kesuksesan di rantau, pulang dengan segala dunia yang dibawanya dari rantau nan jauh. Begitu pula orang Jawa yang suka membicarakan dunia yang dimilikinya hari ini, pada gelar-gelar dan kehormatan lainnya. Di sini aku mulai muak, bukan berarti aku tidak selevel ataupun tidak mempunyai hal serupa. Tapi demi keutuhan keluarga, harusnya yang demikian tidak usah dibicarakan terlebih-lebih pada mobil -mobil, gelar dan pekerjaan sekarang.
Dan harapan pada waktu, bara persaudaraan kembali menyala walaupun di arang yang ringkih.
Komentar