Kebersamaan; Arah Jarum Jam: Imam, Rylo, Solih, Cenggi; Depan Saya Dan Bayu. |
Kegagalan muncak ke gunung Slamet dan Papandayan menjadi cikal bakal balas dendam untuk muncak maupun kemping di gunung.
Selepas solat jumat pertama di bulan Ramadan tahun 2018, otak saya bergumul untuk mencari "sensasi" berbeda saat bulan puasa. Itmam yang bernama asli Imam Muafa, salah satu tetangga dan adik sahabat kecilku, setuju dengan usulanku. Berbagai tawaran muncak dan kemping ke seluruh teman-teman sudah saya lakukan, beberapa menolak dan ada juga menerima dengan semangat.
Rencana tersebut memang sedikit mendadak dan mengejutkan yang lainnya. Solih termasuk salah-satunya. Aku paham jika rencana diusukan jauh-jauh hari maka kenyataan akan bisa mengecewakan, mungkin karena perubahan jadwal mendadak yang ada di setiap orang. Berbeda dengan rencana dadakan yang saat itu juga orang mempunyai kesiapan dan mempunyai waktu luang yang sama.
Sabtu sore, kesiapan dari para peserta nampaknya belum muncul, hanya segelintir orang yang bisa dihubungi untuk ditegaskan keikutsertaan-nya. Rylo dan Bayu siap ikut, sementara Imam belum ada kabar, mungkin masih sibuk dengan urusan sekolah. Persiapan berupa tinjauan lokasi gagal di pagi hari, gagal. Xride-ku bocor, lebih jelasnya ban luar robek. Tapi itu tak mengapa, tinjauan lokasi tidak terlalu perlu karena banyak dari peserta yang pernah kemping di gunung dekat rumahku itu.
Suasana Menjelang Magrib Di Puncak Gegerbentang |
Aku bingung sebenarnya Gegerbentang disebut sebuah gunung, bukit atau perbukitan?! Entahlah yang pastinya kami masyarakat Jawa maupun Sunda di Pamarican menyebutnya sebuah gunung, walaupun ketinggian hanya 300-400 Mdpl saja. Gegerbentang sendiri melajur dari barat ke timur sampai di Desa Sukajadi, ujung wilayah kecamatan Pamarican. Tempat kami berkemah memang bukan lahan khusus untuk berkemah melainkan suatu hutan jati milik pemerintah yang juga dimanfaatkan sebagai huma oleh masyarakat sekitar.
Persoalan soal istilah ataupun sebutan boleh dienyahkan yang penting kemping!. Selepas sembahyang ashar, saya menghampiri Solih untuk mengambil beberpa peralatan out door yang dia pinjam beberpa minggu lalu. Tak lupa saya juga mengajaknya untuk ikut serta, awalnya bingung mungkin karena tidak ada persiapan terutama "alat tempurnya" dalam zona kuning karena belum disambungkan ke sumber energi listrik. Ajakan diterima! Akhirnya peserta bertambah hingga menjadi lima orang.
Dadakan, semua persiapan logistik belum disiapkan dengan matang terutama bahan pangan yang belum dibeli khususnya untuk hidangan sahur. Terkumpul uang Rp 50.000 hasil dari patungan dari semua peserta. Awalnya saya mengusulkan untuk membeli daging ayam ataupun ikan segar, dipikir kembali oleh semua peserta dan akhirnya membatalkan membeli daging segar karena dinilai kurang praktis. Beberapa ikan asin jenis peda sudah dibeli oleh Solih dan Bayu di warung. Hanya tinggal membeli camilan dan minuman saja.
Xride-ku siap membuang gas, Rylo dan saya satu motor, Imam bersama Bayu, sementara Solih membawa sepeda motor sendiri. Sebelum sepeda motor nanjak ke gunung, Kami sempatkan untuk berbelanja camilan, minuman dan lawuh spesial untuk saya. Maklum saja saya alergi makan ikan asin peda.
Cenggi Menghindari Asap Perapian |
Hari mulai terang khas sore hari, gemuruh mesin-mesin penggerak roda berderu membuang gas di setiap lajur jalan. Kesibukan manusia mempersiapkan hidangan istimewa untuk berbuka puasa, Kami perkiraan sampai lokasi pas saat buka puasa ataupun masuk waktu magrib, lokasi memang tidak terlalu jauh hanya saja jalan menuju lokasi sangat buruk terutama di wilayah hutan jati menunju Caringin.
Jalan menanjak turun sangat ekstrim sampai-sampai yang dibonceng harus turun terlebih dahulu karena kecuraman dan tingkat kebahayaan cukup tinggi. Saya dan Bayu turun berjalan menyusuri jalan menurun sangat curam menunju huma. Lokasi memang tidak banyak pohon besar karena setahun ataupun dua tahun lalu pohon jati sudah dipanen.
Lokasi pertama sepertinya tidak cocok oleh peserta lainnya karena terhalang oleh pepohonan sehingga merusak pemandangan. Berpikir mencari lokasi baru sesuai dengan harapan, di sisi barat ada puncak gunung yang terlihat gundul, mungkin pemandangan di sana lebih cocok pada harapan semua peserta. Saya dan Bayu terpaksa berjalan kaki menyusuri punggung puncak gunung hingga akhir dari puncak, di lokasi tersebutlah saya dan Bayu cocok. Pemandangan di lokasi tersebut cukup memuaskan dengan pemandangan kota kecamatan Pamarican yang terlihat jelas.
Mereka yang masih terdengar suara sepeda motornya ku panggil dengan suara keras dan akhirnya kembali. Mereka kembali dengan kalimat setuju dan puas dengan pemandangan yang tersedia di lokasi kedua tersebut. Tak jauh dari lokasi strategis tersebut terdapat gubug huma yang sudah rusak. Klasa yang terbuat dari tumbuhan mendong digelar menjulur di tanah yang lumayan datar. Menit demi menit suara keras dari corong mushola maupun masjid terdengar mengumandangkan panggilan ilahi, suara sirine juga terdengar sebagai penanda waktu berbuka puasa.
Hari semakin gelap, butiran-butiran cahaya dari neon maupun lampu kuning dari rumah-rumah warga di bawah sana mulai muncul dan semakin banyak. Betapa indah!. Angin berhembus agak kencang kadang menampar wajah kami baik dari arah selatan maupun dari utara, otot-otot mulut yang menempel di bagian wajah masih bekerja mengunyah penganan.
Kemunculan Matahari Kuning Telur Di Pagi Itu |
Ketua kelompok, Imam memulai mempersiapkan api unggun, sebagian lainnya masih menikmati hidangan buka puasa dan sebagian juga melaksanakan tugas keagamaan. Lidah api unggun tampak berkibar-kibar menjilat-jilat udara sekitar sehingga hangat.
Waktu semakin luang dengan hembusan angin yang semakin kuat, Rylo dan saya mengeluarkan kamera untuk menghangatkan suasana. Beberpa pose terekam dalam memori kamera masing-masing baik di telpon genggam pintar maupun kamera. Beberapa pose menjadi ejekan hingga sebuah guyonan yang renyah.
Cenggi, sahabat Solih diundang untuk datang melalui pesan singkat WA. Dia menyatakan siap datang. Solih tidak membiarkan kesempatan itu hilang hingga ia memesan kebutuhan lainnya yang diperlukan seperti lotion anti nyamuk, power bank, hingga camilan.
Malam benar-benar sepi ditambah dengan tamparan dingin angin dari arah yang selalu berganti seakan mengusir Kami untuk pindah dan membuat sebuah perlindungan. Klasa mendong digulung dan dipindahkan ke tempat yang lebih baik, tepatnya di belakang gubug huma yang rusak itu. Tempat itu datar sekaligus aman dari terpaan angin buas. Gotong royong dimulai dari penyusunan rangka tenda hingga merapikan barang-barang.
Makan Nasi Pasek Beralaskan Daun Jati |
Lima belas menit tenda jadi dan siap dihuni. Lagi-lagi Imam membuat perapian tepat di depan tenda, perapian kali ini cukup besar dengan kayu bakar yang banyak juga, perapian ini sepertinya sudah pernah ada, tampak dari arang yang ada di sekitaran. Awalnya hanya mempersiapkan makanan untuk sahur tapi ternyata Solih kembali lapar.
Cenggi kembali mengirimkan pesan ke nomor WhatsApp untuk segera dijemput di pinggiran huma. Saya dan Rylo segera menjemput. Jalan setapak di puncak gunung itu sepi dan gelap, hembusan angin semakin kuat ditambah dengan suara hewan nokturnal. Berjalan melewati beberpa gubug huma yang sudah ditinggal lama pemiliknya. Tiba-tiba Rylo terkejut dan langsung memegang saya yang sedang berjalan di depannya, raut mukanya sedikit pucat, ada apa gerangan?! Saya pun sadar hati, seperti ada sesuatu. Benar saja saat melihat ke gubug rusak itu tampak bayangan putih berangguk-angguk, sedikit ngeri tapi logikaku berjalan untuk selalu menyangkal.
Pose Bayu Saat Terkena Asap Perapian |
Indra yang lain muncul dengan signal yang cukup kuat, layaknya dicurigai orang dengan pandangan sinis dari arah tertentu, namun tak terlihat. Perasaan itu semakin mengerdilkan logika dan kekuatan hati, otak bertanya macam-macam dan terimidasi oleh cerita-cerita mistik klasik kebudayaan kami. Berjalan sedikit cepat dan segera menemui Cenggi. Syukurlah.
Aku pikir Cenggi berjalan di depanku untuk memberi penerangan jalan ternyata dia sedikit egois dengan meninggalkan kami di belakang dengan ketakutan yang menguncang. Aku dan Rylo lari terbirit-birit dengan hati-hati.
Pasek (nasi liwet dengan ikan asin peda) ternyata sudah masak selapas Cenggi datang. Solih dan semua peserta seperti tertarik untuk menyantapnya! Terpaksa nasi liwet pasek habis dimakan oleh semuanya kecuali saya.
Pose Bersama Di Pagi Hari |
Kenyang sekali! Alhamdulillah. Semua nasi pasek ludes tak bersisa hanya meninggalkan kerak saja. Kerak pun habis saat menjelang tegah malam dimakan Imam. Bahan makanan utama habis, Kami hanya berharap Cenggi membawa beras dan beberapa lauk untuk dijadikan santapan saat sahur. Cenggi kembali pergi ke rumahnya yang tak jauh dari lokasi, sekitar 20 menit.
Perut kenyang dengan segudang letih membuat semua merasakan kantuk dan membutuhkan istirahat. Semua bersiap diri untuk tidur. Tenda dengan kapasitas empat orang itu penuh, hanya saya yang di luar tenda menunggu Cenggi datang.
Angin malam semakin kuat, Aku di luar tenda merasa sendiri dan selalu dipandang hal yang tak ada. Hembusan angin itu menciutkan hati kerupuk ku yang semakin kecil di setiap detik menuju tengah malam. Bintang di selatan tampak bersinar lebih terang daripada bulan itu yang mulai termakan ganasnya gumpalan awan hitam. Rasa kantuk terhalang oleh susana yang tidak mendukung. Berharap Cenggi datang lebih cepat dengan membawa klasa baru. Malam semakin dahsyat. Cenggi belum datang juga.
Sayup suara buangan gas dari sepeda motor lama-lama mendekat dan semakin dekat hingga mati dan senyap. Langkah-langkah kaki itu terdengar semakin dekat semakin jelas, Cenggi datang dengan semua pesanan yang sudah diminta. Penderitaanku hilang dengan kedatangan Cenggi, nilai keberanian kembali naik.
Dari Dalam Tenda |
Klasa mendong digelar tepat di bawah gubug huma yang rusak. Sleeping bag dilebarkan untuk berbagi dengan Cenggi. Hembusan angin lumayan berkurang karena terhalang oleh jerami dan kayu yang tersusun di gubug huma. Rasa nyaman dan aman menjelma ke dalam suatu ketentraman hingga mataku menutup diri dengan kelopak yang sudah lelah.
Kesadaranku terjaga ketika suara Imam dan Bayu membangunkan, rupanya masuk waktu santap sahur. Tepat jam dua pagi lebih. Imam dan Bayu memasak hidangan yang sama seperti hidangan pertama, nasi liwet pasek. Saya hanya membantu sedikit untuk perapian sementara urusan masak saya serahkan ke mereka berdua.
Perapian Yang Dibuat Imam |
Nasi pasek sepertinya gagal dan cukup mengecewakan pembuatnya. Nasi pasek sedikit sangit karena asap yang berlebihan masuk ke dalam ketel. Santap sahur berlangsung dengan nikmat hampir semua habis hanya sisa-sisa nasi sangit saja yang terbuang. Santap sahur berakhir dan kembali tidur, saya pun tidur. Imam saja yang masih melek untuk menunggu terbitnya matahari.
Asupan air terlalu penuh hingga kantung kemih penuh oleh urine hasil produksi tubuh. Aku masih dalam wilayah kerjaan mimpi terbangun untuk membuang hasil produksi tubuhku. Dengan mata sayup penuh kemalasan saya mencari tempat yang pas hingga terperosok ke dalam semak-semak. Beruntung saya ditolong Imam yang masih di depan perapian itu.
Rupanya matahari enggan muncul karena ancaman besar dari awan hitam yang menghadang. Awan khas pegunungan juga tidak keluar, hanya dingin menusuk tulang. Sesi foto pagi ini sedikit lesu karena ada beberapa kejadian alam tidak muncul. Matahari kuning telur muncul perlahan setengah-setengah karena tercampur oleh hitamnya awan. Menarik dan indah.
Komentar