Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Rumah Tusuk Sate Di Amsterdam Selatan

Buku berkulit hitam putih ini bergambar dua orang Belanda yang sedang mencetak sebuah surat kabar ataupun buku, bertuliskan RUMAH TUSUK SATE DI AMSTERDAM SELATAN, tentunya dengan huruf kapital semua. Buku terbitan Oak yang ditulis oleh Joss Wibisono. Setahu saya, Bung Joss adalah seorang mantan penyiar dan reporter RNW (Radio Netherlands Wereldomroep) seksi Bahasa Indonesia. Beliau sendiri sudah mempunyai beberapa judul buku yang sudah dipasarkan di toko buku Indonesia, buku-buku karanganya memang tidak jauh dari Belanda, Indonesia dan Musik Klasik yang beliau suka. 

Awalnya percapakan menarik di aplikasi Facebook Messenger yang cukup panjang dengan Bung Joss, sedikit saja beliau juga menceritakan isi bukunya. Merasa tertarik dan cocok dengan buku beliau, saya meminta beliau menuliskan kontak Penerbit Oak untuk membeli dengan cara online, maklum saja di kota kecilku tidak ada toko buku besar yang menjual berbagai jenis buku. Survey mengenai harga juga saya lakukan, demi hemat. Akhirnya saya dapat harga paling bagus di toko buku online yang masuk dalam "kandang" Bukalapak.Com.

Kesalahan Belanja Online Hingga Beli Dua Buku

Ulasan ini memang sangat subjektif karena dibuat dengan selera pribadi dengan kacamata orang awam bukan kacamata pengamat literasi maupun kacamata sastrawan. 

Buku yang saya pegang saat ini, sangat cocok dibawa kemana-mana karena mempunyai berat yang sangat ringan. Wajar saja jenis kertas yang digunakan Bookpaper atau Storenso berwarna kecokelatan dan sangat ringan yang biasa digunakan sebagai kertas untuk novel. Buku ini tidak terlalu tebal karena hanya berisikan 149 halaman belum termasuk daftar isi dan yang lainnya. 

Rumah Tusuk Sate Di Amsterdam Selatan bukan sebuah novel, melainkan sebuah kumpulan cerita pendek (cerpen). Terdapat lima judul cerpen sebagai suguhan gurih di buku ini diantaranya: Kura-kura sungai Kamo, Rumah tusuk di Amsterdam Selatan, Rijsttafel versus entrecôte, Salam perkenalan spesial, dan Terbalut songket di Kyoto. Saya merasa tertarik untuk mengulas satu-persatu dari semua judul cerpennya, jadi biarkanlah saya menilai dengan ke-awamanku.

Kura-kura Sungai Kamo

Sebuah cerita pendek tentang cinta dan pertemuan dengan mantan kekasih, di sini Bung Joss menceritakan bahwa tokoh SadewÃ¥ yang pernah berpacaran dengan Yumi, seorang perempuan Jepang. Dalam cerpen ini Bung Joss mampu membawa perasaan SadewÃ¥ yang cemas dan kikuk masuk ke dalam hati pembaca terutama saat adegan keraguannya untuk add akun Facebook Yumi, saat ditelpon Yumi dan saat pertemuan dengan Yumi. 

Tokoh Yumi bagiku merupakan perempuan yang luar biasa karena tampaknya dia menerima kondisi orientasi seksual mantan pacarnya, mungkin dalam percapakan itu ada sedikit kekecewaan, namun Yumi mempunyai sikap toleransi yang bagus. Mungkin juga pendidikan, kebudayaan di Jepang mempengaruhi Yumi untuk bersikap "adil" kepada orientasi seksual seseorang.

Bahasa yang digunakan Bung Joss cukup mudah dicerna, dalam cerpen ini juga tidak ada kalimat-kalimat kiasan atau kalimat indah seperti sebuah puisi. Bung Joss menulis dengan gayanya yang lugas, tidak bertele-tele. 

Berlatar belakang di Belanda dan Jepang tentunya mempunyai istilah-istilah asing bagi pembaca Indonesia sekalian, Bung Joss sepertinya memudahkan pembaca untuk tidak mencari arti/keterangan dari istilah asing yang dimuatnya misalnya kalimat di halaman 17: "Letaknya di Kawaramachi dori (Jalan Kawaramachi)" beliau menuliskan langsung keterangan istilah asing tersebut di sebelahnya tanpa memasukan index istilah, namun sayang sekali beberapa istilah asing yang dicetak miring tidak diberi keterangan arti. Bagi orang yang malas mencari ke sumber lainnya (Karena tidak ada index istilah) tentunya akan bingung dengan kata bercetak miring tersebut. 

Rumah Tusuk Sate Di Amsterdam Selatan

Cerpen kedua ini judulnya sama persis dengan judul buku, mungkin juga cerpen kedua ini merupakan cerpen paling istimewa bagi Bung Joss. Termasuk istimewa juga bagiku karena Bung Joss mengetik cerpen ini dengan ejaan Suwandi yang sudah lama tidak tergantikan oleh EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) oleh pemerintah Orde Baru saat itu. Saya tidak kesulitan saat membaca cerpen dengan ejaan Suwandi ini, mungkin juga pengaruh dari seringnya membaca artikel dari Bung Joss ataupun sering membaca buku lama yang menggunakan ejaan itu. Tapi saya yakin yang belum biasa membaca ejaan Suwandi awalnya begitu sulit tapi lima sampai sepuluh paragraf mungkin akan terbiasa.

Aku suka sekali dengan cerpen ini selain menggunakan ejaan Suwandi juga menceritakan permasalahan-permasalahan yang memang saya belum pernah baca sebelumnya. Dunia Eropa memang jauh, terlebih aku yang hanya mendapatkan informasi-informasi Eropa dari radio dan televisi, mungkin permasalahan Eropa saat ini cukup gampang diperoleh tapi permasalahan Eropa saat dulu mungkin susah terlebih dengan perjuangan dan kehidupan pelajar ataupun masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) di sana. 

Permasalahan yang muncul sangat unik di mana peran utama cerpen mempunyai masalah kehidupaannya yang terancam oleh penjajahan Nazi Jerman, dia "merasa" sebagai anak campuran Aria dan Yahudi, tentu saja masalah besar bagi yang mempunyai darah Yahudi. Masalah kenegaraan muncul juga di mana pemerintahan Belanda harus mengungsi ke Inggris, sementara hal tersebut adalah pelanggaran konstitusi. Pelajar Hindia Belanda mempunyai sikap tersendiri yang boleh dibilang unik karena mendukung Belanda dari jajahan Nazi Jerman yang sangat gila dan juga menginginkan Belanda untuk melepas Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara merdeka. Permasalahan terakhir adalah si pemeran utama cerpen bukan keturunan Yahudi dan Aria yang berprofesi sebagai pemusik dan pemain opera yang handal, melainkan anak titipan dari seorang teman yang menikah dengan seorang raden dan sekarang hidup di Hindia Belanda.

Lagi-lagi Bung Joss tidak menyertakan index istilah Belanda yang diketiknya dalam cerpen ini, jadi pembaca harus menghilangkan rasa malas untuk mencari tahu arti dari kata yang bercetak miring.

Sayang sekali cerita ini hanya sebatas cerpen, padahal permasalahan yang muncul sangat unik dan bisa dikembangkan menjadi sebuah novel. Saya harap Bung Joss menerima usulan saya. Saya sempat berpikir mungkin karena keunikan ini, Bung Joss memilih judul cerpen ini menjadi judul bukunya. 

Rijsttafel Versus Entrecôte

Cerpen ketiga dalam daftar urutan di buku Bung Joss, cerpen ketiga ini menggunakan ejaan sekarang, jadi mata dan otak pembaca sekalian merasa segar kembali karena mendapatkan kemudahan dalam membaca ejaan. Saya juga sangat senang karena dalam cerpen ini terdapat index istilah, jadi tidak repot-repot mencari arti dari kata atau kalimat yang bercetak miring itu, memang ada beberapa kata bercetak miring yang tidak masuk index istilah, tidak masalah.

Halaman Di Cerpen Nomor Pertama

Selepas membaca keseluruhan, otak saya sepertinya menginggat bahwa cerpen tersebut sudah pernah baca sebelumnya tapi saya tidak ingat apakah di blog Bung Joss ataupun di surat kabar. Saya lupa, pastinya saya pernah baca sebelumnya.

Cerpen yang berlatar belakang pada zaman kolonial di Hindia Belanda ini sangat menarik karena mengunggkap pasal perzinahan yang telah lama ada namun baru kali ini terjadi razzia besar-besaran sehingga hotel dan restauran tampak sepi pengunjung. Permasalahan sederhana tentang sikap inlander yang masih memegang perinsip inlander itu sendiri tanpa mengikuti kebiasaan orang Belanda mulai dari makanan yang dipilihnya hingga cara makan. Mungkin permasalahan ini cukup besar kala itu, dimana posisi inlander susah sekali untuk disamakan dengan orang Belanda atau juga sebagai bentuk perlawanan.Kasus menarik juga terdapat di cerpen ini, di mana seorang pembesar Belanda melakukan mesum dengan serorang inlander berjenis kelamin sama di sebuah hotel. 

Saya pribadi sangat menikmati keindahan cerpen ini karena berlatar belakang zaman kolonial, suatu genre cerita yang saya sukai selain genre yang dikeluarkan oleh generasi Balai Pustaka.

Salam Perkenalan Spesial

Sepertinya lanjutan dari cerpen nomor dua dengan tokoh yang sama seperti cerpen nomor dua yaitu Irwan seorang mahasiswa Hindia Belanda yang sedang belajar di Ibukota negri penjajah. Cerpen ini masih seputaran Nazi yang menduduki Belanda dan gerak-gerik mahasiswa Indonesia dalam merencanakan kemerdekaan. 

Cerpen lanjutan ini menggunakan ejaan EYD dan mempunyai index keterangan jadi memudahkan pembaca. Saya sendiri belum bisa mengimajinasikan cerpen tersebut karena keterbatasan ihwal pergerakan mahasiswa Hindia Belanda di Amsterdam saat itu. Namun saya masih bisa menikmati dan merasakan bagaimana manusia Hindia Belanda dalam cekaman Nazi Jerman.

Terbalut Songket di Kyoto

Awal paragraf yang membuat saya ketawa sendiri karena masih terperangkap akan romantisme salju tanpa melihat kejamnya udara dingin, saya sendiri masih bagian dari kebanyakan orang tropis lainnya yang belum pernah menyentuh maupun memakan salju. Wajar saja saya masih terperangkap. Hehehehe...

Cerita selanjutnya membuat saya yang sedang beribadah puasa tak kuasa mengeluarkan air liur asin dari lubang-lubang ludah di rongga mulut, cerita akan kuliner Jepang dan Indonesia yang menyatukan tokoh cerpen dengan seorang lelaki Jepang keturunan Iran. Cerita berlangsung dengan apik terlebih lelaki Jepang keturunan Iran yang bernama Tsu itu mempunyai kakek yang juga mempunyai hubungan emosional dengan Indonesia.

Alur cerita sangat saya nikmati, terlebih dengan alam Jepang yang sudah saya kenal dari post card, maupun film-film Jepang dan berbagai media. Selain alam Jepang, alam Salatiga juga terasa dekat dengan saya, terlebih karena saya seorang Jawa yang tinggal di pulau Jawa. Tidak ada permasalahan yang berarti kecuali pesan ataupun catatan kakek Tsu yang telah diterjemahkan. Catatan itu sangat emosional sekali terlebih hubungan itu merupakan hubungan "spesial" karena berbeda dengan orang pada umumnya. 

Cerpen ini bagi saya menimbulkan rasa penasaran lebih dalam akan hubungan emosional antara Tsu dan kakek juga hubungan kakek dengan Shiman. Cerpen nomor Terakhir ini membuat saya penasaran dan mengharapkan adanya novel dari cerpen ini.

Keseluruhan

Kacamata awamku memandang buku ini pantas mendapatkan nilai 3,5 (dari 5). Mungkin karena termasuk orang malas mencari arti dari kata bercetak miring dan juga kurang pengalaman membaca, dan berimajinasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d