Puasa kali boleh dikata sangat spesial sekali karena saya menerima hadiah buku dari teman saya, Liana Safitri asal Sleman, Yogyakarta. Dua buku ini sangat istimewa sekali karena penulisnya merupakan penulis favorite dan juga penulis Indonesia kandidat medali Nobel di bidang sastra, Pramoedya Ananta Toer.
Novel yang kali ini saya baca berjudul sama dengan judul artikel ini "Suatu Peristiwa Di Banten Selatan". Alur cerita yang sederhana dan sangat mudah dipahami merupakan resep rahasia dari sang penulis terlebih diksi indah dalam novel. Tidak ada ulasan untuk kritik novel di sini, saya hanya membawa hikmah atau pesan moral yang dibawakan Bung Pram di novelnya.
Sampul Terbaru 2015 |
Saya tidak bisa menilai novel yang saya baca sekarang kurang dari 5-4,5 bintang (dari 5 bintang). Entahlah alasan logis maupun alasan subjektif saya enggan memberikan nilai di bawah itu. Percayalah novel ini sangat menarik.
Konflik ternyata dihidangkan begitu awal dan klimaks suatu konflik juga berlangsung cukup cepat di novel ini, perseteruan-perseteruan melawan kejahatan besar layaknya bintang buas. Selepas klimaks konflik yang dialami tokoh utama Ranta, cerita berjalan dengan berbagai konflik yang boleh dikata hanya konflik serpilan saja.
Pertama
Pesan moral yang saya dapatkan adalah perjuangan melawan bintang buas yang semena-mena menindas rakyat dengan topeng ilahiah. Tepat sekali dengan perkataan yang dipilih oleh Bung Pram " Di mana-mana Aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar."
Topeng ilahiah sering digunakan untuk penindasan, karakusan bintang buas. Sebuah kejadian yang masih sama dengan sekarang.
Kedua
Kejahatan tentu saja akan terungkap dengan sendirinya, seperti adegan di mana Juragan Musa tertangkap basah oleh Komamdan Militer dengan sederet kejadian sebagai bukti besar bahwa sang juragan terlibat dengan gerombolan sparatis.
Kesombongan Nyonya Juragan Musa nampak ketika bercemooh kepada Ranta (Lurah Sementara) yang tidak bisa baca tulis, sementara Nyonya Juragan Musa pernah sekolah dan bisa baca tulis.
Ketiga
Pena dan kertas lebih ditakuti daripada senjata tajam. Dalam penggalan peristiwa tersebut, saya berfikir memang benar kekuatan ilmu pengetahuan lebih besar dan lebih ditakuti daripada senjata tajam. Tapi dalam adegan tersebut masyarakat yang masih buta huruf masih merasa harkat martabatnya rendah ketimbang perempuan yang sudah bisa baca tulis. Dalam akhir cerita keindahan gotong royong digambarkan dengan keindahan manfaat besar bagi masyarakat itu sendiri.
Demikian ulasan yang sedikit mewakili apa yang ada di otak saya saat membaca buku ini.
Komentar