Seperti posting sebelumnya saya mencutat atau lebih tepatnya salon tempel dari artikel yang dibuat oleh Kodar Solihat yang diterbitkan oleh harian Pikiran Rakyat, Jawa Barat pada tanggal 17 Februari 2018. Ayo kita Simak!.
Kesan tenang, rapi lengang, dan menyenangkan sering menjadi keseharian suasana Stasiun Kereta Api Tasikmalaya di masa kini. Namun, di masa lalu, sosok Stasiun Tasikmalaya juga menyimpan sejumlah catatan sejarah semasa zaman perang tahun 1942-1949 lalu.
Berdasarkan informasi National Library Of Australia, Stasiun Tasikmalaya juga menjadi salah satu lintasan yang banyak membawa tawanan perang pasukan Inggris dan Belanda semasa Perang Dunia II tahun 1942 ataupun interniran paska Kemerdekaan Indonesia 17 Augustus 1945, serta Nationaal Archief Belanda di mana Februari 1948 pada pemberangkatan hijrah pasukan Tentara Nasional Indonesia setelah perjanjian Renville, 17 Januari 1948.
Namun, ada pula ceceran kisah Stasiun Tasikmalaya pada priode Masa Bersiap yang diceritakan pula oleh Jan Mobach pada situs archief-vantrane.nl Jan Mobach merupakan salah seorang interniran dalam sebuah rangakain kereta api yang membawa banyak interniran yang singgah di Stasiun Tasikmalaya pada September 1945.
Disebutkan, bahwa Jan Mobach masih berusia 17 tahun dalam kereta api tersebut singgah di Stasiun Tasikmalaya pada 29 September 1945, pada kereta api dari Yogyakarta menuju Bandung karena para interniran akan dikumpulkan oleh pasukan Inggris.
Dalam kenangannya, situasi di Stasiun Tasikmalaya dalam kondisi panas di mana orang-orang Indonesia sangat bersemangat mempertahankan kemerdekaannya sejak 17 Augustus 1945. Namun, ketegangan dialami para interniran Eropa tersebut di Stasiun Tasikmalaya karena banyak orang Indonesia yang mengepung gerbong rangkaian kereta api yang mereka naiki.
Menurut Jan Mobach, melihat kejadian itu masinis kereta api memutuskan melarikan diri dari kereta api tersebut. Namun, kemudian ada salah seorang teknisi kereta api memberangkatkan kereta api tersebut hingga lolos meninggalkan Stasiun Tasikmalaya.
Pada peristiwa lain, Surat Kabar Nieuwe Courant terbitan 29 Oktober 1946 yang arsipnya tersimpan di Koninklijke Bibliotheek Belanda, memberitakan, pada Senin, 28 Oktober 1946, Siang sebuah kereta api membawa 29 interniran sakit yang berasal dari pelosok Pulau Jawa tiba di Jakarta. Mereka datang dari Tasikmalaya, Solo dan Kotok dengan didampingi 132 anggota keluarganya.
Disebutkan, ada tiga dokter Indonesia mendampingi interniran dalam perjalanan kereta api tersebut, dengan dipimpin Mayor Jendral Abdul Kadir dari Tentara Nasional Republik Indonesia. Setiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan selama 20 jam, para interniran tersebut kemudian diserahkan kepada pasukan Inggris.
Sementara berdasarkan arsip Koninklijke pula, Stasiun Tasikmalaya sejak Februari 1948 diduduki oleh pasukan Belanda. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah segera merencanakan perbaikan jalur kereta api Tasikmalaya-Singaparna.
Komentar