Ramadhan ini memang belum masuk ke dalam rohku, masih sebatas mulut dan perut. Alam rohku belum terima sepenuhnya, hanya sentuhan dingin yang terlalu hampa. Apa aku kurang iman? Apa aku kurang aksi dari iman? Atau memang membuat bulan sakral ini sebagai hal lalu. Indah sebatas tuntutan, bukan cinta suci, bukan kebutuhan batin ataupun roh jiwa. Kupikir ini memang hanya tuntutan sosial, terlebih ibadah sembahyang taraweh. Taraweh menurut ilmu fiqih masuk dalam kategori sunnah. Tapi di lingkunganku adalah hal yang wajib dan menjadi darah daging tatanan sosial. Masalah hukum fiqih tidaklah ngaruh, tatanan sosial ini yang lebih mempunyai kekuatan besar.
Kok bisa tarawih jadi tuntutan sosial? Menurut pandanganku kenapa tarawih ini bisa jadi tuntutan sosial karena orang-orang hanya menuntut absen muka. Entah dia orang berpuasa ataupun tidak sembahyang lima waktu yang penting sembahyang tarawih sudah diakui sebagai Islam yang saleh. Tarawih di sini rasanya menjadi wajib, seperti sebuah bundling alias sepaket antara puasa dan tarawih. Jika seseorang puasa tanpa tarawih di mushola atau masjid menjadi hal janggal dan tidak sempurna.
Banyak kasus orang tersebut tidak berpuasa tapi selalu sembahyang tarawih, cap Islam saleh keluar seperti ijazah dengan nilai yang sempurna. Ada juga kasus orang tersebut berpuasa, sembahyang tarawih di masjid selalu, namun tidak sembahyang lima waktu yang wajib. Mutlak orang tersebut masuk ke dalam golongan saleh ahli surga. Beda kasus dengan seorang yang selalu puasa, sembahyang lima waktu di rumah, namun tidak sembahyang tarawih di masjid. Jadi kuncinya adalah sembahyang tarawih yang bersifat sunnah itu menjadi sebuah kewajiban yang sepaket dengan puasa wajib ramadan.
Bagiku ini adalah kesalahan cukup parah dimana masyarakat tidak paham urutan prioritas dari sebuah ibadah. Seperti mengurutkan prioritas yang tidak tertib. Sebagai contoh urutan yang tidak tertib: menomorsatukan sunnah daripada kewajiban. Banyak lagi hal yang bisa kita lihat dalam kehidupan beragama ini yang salah mengurutkan prioritas hukum dari fiqih. Ada yang berhaji berkali-kali, sementara kewajiban mengasihi tetangga yang kesusahan makan ditinggalkan.
Bisa jadi apa yang saya bicara di atas terjadi padaku, dan semoga Tuhan memberiku peringatan keras untuk selalu sadar diri dan sadar sosial. Saya jadi ingat pada apa yang diungkapkan oleh Wali Heiddeger yang cerdas, dimana seseorang tenggelam pada faktisitas yang akhirnya dia tidak menunjukkan kehakikian dirinya, eksistensi dirinya bukan yang orsinal. Tenggelam-nya pada faktisitas saya analogikan pada fenomena masyarakat yang salah kaprah dalam memposisikan urutan prioritas hukum fiqih dalam beragama.
Saya sering lihat video pendek dari Instagram, Facebook ataupun Youtube dimana gambarannya seperti ini: seorang pingsan atau tiba-tiba terjatuh saat sembahyang berjamaah, sementara jemaah di pinggir atau depan belakang santai tanpa menolong dan akhirnya si jemaat yang jatuh ini meninggal dunia. Bagiku di sini ada yang salah memposisikan prioritas tindakan, memang sembahyang lima waktu itu wajib, tapi lebih wajib lagi kita menolong tetangga jemaah yang tersungkur lemas itu. Dia memerlukan pertolongan, pertolongan yang menyelamatkan nyawanya.
Pernah ada cerita dimana ada kelompok mahasiswa KKN di suatu desa, di sana satu mahasiswa menjadi Imam solat. Tempat Imam solat ini beralaskan kayu dan di bawahnya adalah sumur (kolam). Entah karena rapuh atau terlalu mendapatkan beban berat hingga kayu patah dan menjerembabkan si Imam solat ini. Saat itu ceritanya tidak ada jemaat yang menolong, dan syahdan jemaat melanjutkan solatnya. Di akhir cerita setelah habis sembahyang jemaat baru menengok imam pertama yang terjerbab, dan ditemukan dengan kondisi meninggal dunia! Ada yang salah di sini? Salah prioritas atau apa? Semoga diriku menjadi seorang yang das sein. Ameen.
Pagi, Siang & Sore
Terbangun pada jam tujuh pagi, rasanya masih kurang! Tapi badan sudah tak mampu untuk tidur kembali. Apa selanjutnya yang bisa menggerakkan badan yang malas ini, terdiam, bernyanyi dan menghirup udara dalam-dalam. Cukup lama untuk sembuh dari kemalasan pagi ini, beruntung ada nafsu kecil yang bisa memberangus kemalasan pagi. Mencuci pakaian, berkebun, mencari kayu bakar dan menyapu sudah cukup membuat kemalasan hilang.
Tidak banyak kegiatan di luar, energi dalam tubuh tidak terlalu baik hari ini. Mungkin karena saat sahur makan sambal dan makanan asam terlalu banyak sehingga berdampak pada hari ini. Saat gowes sepeda sore tadi juga setiap sepuluh menitan terkentut dengan nyaring nan indah. Oh betapa nikmatnya.
Komentar