Awal membaca buku dan melihat judulnya sangat menarik hati, terlebih aku yang sedari dulu senang dengan hal berbau zaman kolonial. Aku kepincut untuk segera membaca dan menyelesaikan dengan pemahaman sejarah yang jelas dan gamblang. Kalimat awal yang lumayan berat membawaku sedikit mikir keras untuk mengetahui isi dari pembukaan yang dibuat oleh orang Indonesia. Berlanjut pada paragraf penulis asli, emosiku berubah perlahan. Ada rasa takut, menjijikkan, muak, dan rasa benci yang tidak pernah bisa dijelaskan alasan yang jelas.
Walaupun bukan menjadi saksi mata sejarah ataupun keluarga korban pembantaian itu, aku merasakan emosi yang membucah dari takut hingga benci. Seakan mengiris kembali luka yang lama sedikit lebih dalam, atau mengiris daging tipis sehingga mendapatkan nyeri yang menyerap ke saraf. Aku Jawa Indonesia, aku juga manusia yang bisa merasakan hasil dari peperangan ataupun pembantaian. Aku membucah manah.
Yang menarik dari buku ini bukan saja dari peristiwa besar nan mengerikan di Sulawesi Selatan itu, tapi juga penulis dari buku ini yang merupakan anak dari anggota militer yang bertugas dalam komando pasukan Westerling. Sebagai anak yang tertarik pada kehidupan ayahnya selama tiga minggu di Sulawesi, dia menyingkap sejarah yang sedikit njembul dari cerita-cerita ayahnya dan arsip surat sepeninggal mendiang ayahnya. Sangat jarang seorang anak mendudah sejarah orang tuanya, terlebih dalam kategori kegelapan.
Buku ini bukan sebuah bualan semata, banyak lembar-lembar dan foto arsip yang ditampilkan. Ada foto yang sangat miris bagiku yakni setumpukan mayat korban tembak mati dari tentara pimpinan Westerling. Ada juga foto-foto Piet, Ayah penulis; foto surat-surat Piet, dan surat tugas. Semua terasrip dengan baik sebagai saksi sejarah kelam hubungan Indonesia-Belanda di Sulawesi Selatan.
Saya suka sekali dengan bahasa yang digunakan oleh penerjemah. Semua tergambar dengan baik dan mudah dicerna. Bagiku terjemahan buku ini sudah dikatakan sempurna.
Judul: Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya
Penulis: Maarten Hidskess
Penerjemah: Susi Moeimam, Maya Sutedja-Liem, dan Nurhayati Santoso.
Terbitan: Pertama, Agustus 2018
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Dimensi: xxx + 298 halaman; 14,5x21 cm
ISBN: 978-602-433-645-5
Komentar