Darahku berdesir deras dan memanas dari kata ke kata hingga berparagraf, semakin memanas. Perut jadi mual saat indra menerima citra dari otak yang terus menggambarkan bagaimana peristiwa mengerikan itu terjadi. Pembunuhan, penyiksaan dan kekerasan lainnya adalah hal teng membuat aliran kardiovaskular semakin memanas dan menyesakkan. Tak biasa untuk menjadi keras dan tidak ada ajaran kekerasan yang diterima.
Cerita dari buku ini sangat mengacaukan otak dan jalannya aliran kardiovaskular, ngeri. Cerita ini terinspirasi dari peristiwa dimana Jawa Barat khususnya wilayah Priangan Timur sedang dilanda kekacauan oleh pemberontak DI (Darul Islam) yang dilancarkan Tentara Islam Indonesia (TII) pimpinan Kartosoewirjo. Darul Islam adalah suatu kelompok sparatis yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Kelompok ini pernah ada pada tahun 1947 sampai tahun 1962, banyak tumpahan darah suci keluar dari pertikaian ideologi ini. Bahkan ibu dan Ayah saya sering bercerita tentang kengerian saat wilayah Pamarican diancam oleh TII.
Cerita ini berlatar di Garut, Jawa Barat. Keluarga Pak Sumo seorang petani cukup makmur yang menjalani lika-liku kehidupan. Berawal dari nestapa hidup dimana keluarganya harus diboyong mengungsi ke pekarangan (tegalan) yang jauh dari lokasi rumahnya demi terhindar dari bahaya 'garong' yang tak lain adalah grombolan DI/TII. Peristiwa naas diawali dengan tewasnya pak Sumo oleh pasukan DI/TII, eksekusi mengerikan itu juga disaksikan langsung oleh keluarganya, termasuk anaknya yang masih kecil.
Tokoh sentral pada cerita ini adalah Sumo, seorang pemuda berusia empat belas tahun yang berbakti kepada keluarganya. Setelah ditinggal oleh ayahnya yang tewas, Sumo menjadi tulang punggung keluarga. Menghidupi ibunya dan Dali, adiknya. Berbagai upaya dilakukan demi penuhnya ruang kosong pada usus-usus mereka.
Sesuai dengan judulnya bahwa nasib dari keluarga ini mempunyai banyak lika-liku, rencana Tuhan yang bisa diterima atau tidaknya oleh seorang hamba. Perjalanan hidup Sumo membawa banyak pelajaran berarti bagi para pembaca sekalian, dimana gempuran nestapa harus dilalui dengan kesadaran akan hakekat manusia.
Alur cerita ini berjalan maju, tidak ada penggulangan atau alur yang mundur. penggunaan bahasannya enak dibaca dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik pada zamannya. Tidak ada kata yang sulit dimengerti, semuanya jelas.
Judul: Lika-liku Jalan Kehidupan
Penulis: Matia Madjiah
Penyunting: Kunti Suharti
Cetakan: Pertama 1982
Dimensi: 135 halaman, 14,8 x 21 cm
Penerbit: Balai Pustaka Utama
Komentar