Suatu cerita memang kadang tidak pernah terduga, ya wajar saja kita bukan Tuhan yang sudah punya buku sekenario. Kecuali memang cerita itu sudah dirancang sedemikian rupa. Untuk masalah rasa pada cerita yang dirancang sedemikian rupa, tentu saja akan memberikan kesan yang berbeda pada setiap pembuat cerita ataupun pelaku cerita itu.
Mengenai cerita, hari ini saya akan bercerita soal plesiran mendadak sehari yang lalu (5/6/20). Di tengah periode pandemi ini, banyak orang yang kepincut dan saking ngebetnya untuk pergi ke luar rumah. Entah itu ke rumah teman, mall, tempat wisata ataupun ke pasar, kesemuanya menjadi hal yang surgawi untuk orang yang sudah jenuh dengan keadaan saat pandemi. Selepas dari pendakian Cikurai tempo lalu, kami ternyata bertemu kembali untuk sebuah plesiran yang tidak beragenda. Dadakan.
Awal cerita, pagi ahad yang terkepung sinar mentari. Suatu ajakan ke curug Padaherang, Pangandaran masuk ke pesan instan WhatsApp milikku. Tak lain dari sahabat klasik, Raihan. Jawabnya simple saja "Mas saya juga ke sana dan saya tunggu" wah pesan yang menantang nih, terlebih Imam yang sedari minggu lalu merasakan jenuh sampai ke ujung saraf. Kesempatan tidak perlu dibuat permainan, akhirnya saya menghubungkan beberapa teman untuk bersama-sama ke curug Padaherang.
Pertama saya hubungi Rifki yang menyatakan siap untuk plesiran kemana saja, selanjutnya saya hubungi Azmi dan tidak merespon. Waktu tak pernah mundur, hanya pikiran manusia yang bisa memundurkan waktu. Akhirnya semuanya siap dan tepat jam setengah sembilan saya menjemput Rifki di pertigaan tukang ojek pangkalan sekitaran Desa Kertahayu. Tak lama, dirinya datang dengan sejumlah anggota keluarga. Ku pikir Rifki ngajak keluarganya ikut, ternyata hanya sebatas antar ke pasar swalayan.
Jalan nasional nomor delapan belas lajur ke Pangandaran penuh oleh berbagai jenis kendaraan, termasuk sepeda. Ada juga iring-iringan pejabat yang turut memenuhi lajur jalan, entah ada acara apa. Sesekali macet karena tim keamanan seperti TNI dan polisi yang berjaga memberi sinyal untuk melaju pelan. Pikiranku berjalan dengan penuh tanya "kira-kira berapa orang lagi yang mau ikut?".
Kabur sudah harapan saat pesan singkat dari Raihan masuk "mas saya lanjut pantai" suatu pukulan telak untuk rencana ini. Tak mau dibuat merana, akhirnya kami ke rumah Angga dan mengajak beberapa teman. Bersyukur beberapa teman ikut termasuk Zia, jadi formasi sekarang hanya lima orang saja.
Sebelumnya tidak ada rencana untuk ngaliwet, entah ada ilham apa tiba-tiba disepakati untuk ngaliwet. Beruntung seperti mendapatkan gumpalan ambergis di lautan saat tiada ikan, Imam memberikan bantuan berupa uang untuk membeli daging ayam. Dia membeli daging ayam tak tanggung-tanggung, satu setengah kilogram. Cukup banyak untuk dimakan berlima. Kemurahan keluarga Angga juga saya akui, beras sekitar satu kilogram dan peralatan masak diberikan untuk kelancaran acara.
Terkumpul uang Rp 20.000 dari empat orang, uang ini saya belanjakan untuk membeli bahan-bahan pembuatan nasi liwet. Tentu saja yang Rp 20.000 tidak lebih cukup, dengan segala keterbatasan semua bisa diakali. Dari uang itu mendapatkan cabe lima biji, barang merah tujuh biji, santan kara cair dua buah, kerupuk dua kantong, dan satu kecap bango.
Perjalanan dimulai setelah semua siap, perjalanan cukup mendebarkan terlebih soal protokol yang. Kami sedikit nakal karena beberapa orang dari kami tidak menggunakan helm dan masker mulut. Yang kami takutkan hanyalah eksekusi dari petugas kesehatan, namun ternyata kehidupan pada masa pandemi ini tidaklah banyak berbeda dengan sebelumnya.
Diantara kami memang ada yang oenrha ke curug yang berada di kecamatan Padaherang. Berhubung cukup banyak curug, kami memilihnya. Sesuai kesepakatan kami berkunjung ke curug Grigis Bunton di kawasan Balater, Padaherang. Berbekal peta digital dari Google Map dan bertanya kepada beberapa orang lokal akhirnya kami sampai ke curug yang dimaksud.
Curug Grigis Bunton - Padaherang
Akses menuju curug Grigis Bunton tidaklah sulit, ada dua akses: pertama dari jalan dekat Alfamart Kedungwuluh masuk ke jalan Balater. Kondisi jalan pertama beraspal dalam kondisi baik, selanjutnya jalan menjadi beton (cor-coran) dengan kondisi baik dan rusak sedang. Pada umumnya jalan menajak cukup curam dan mempunyai tikungan yang tajam. Bagi pengguna sepeda motor matik diusahakan berhati-hati dan utamakan van belt tetap kuat. Perkiraan dari Alfamart Kedungwuluh sampai lokasi sekitar 2,1 Km dengan waktu tempuh sekitar 6-12 menit. Untuk anda yang membawa mobil ukuran kecil bisa sampai ke lokasi juga.
Mencari curug ini cukup berusaha untuk mencari plang nama ataupun plang petunjuk, apa dikata semua plang sudah raib hingga akhirnya kami bertanya ke orang lokal yang sedang jajan es dawet di pinggir jalan. Berutung berkat petunjuk orang lokal kami sampai ke lokasi. Gerbang selamat datang dibuat dari kayu dan bambu dan tidak tampak tulisan yang jelas.
Untuk mobil bisa parkir sekitar madrasah atau masjid, sementara sepeda motor bisa masuk ke dalam. Biaya parkir seperti pada umumnya yakni Rp 2000 saja. Tiket masuk kawasan curug tidak dipungut biaya (5/6/20) sepeserpun. Menurut Angga dan Zia dulu saat masa kejayaan swafoto dan demam tempat wisata ikonik masuk ke kawasan curug diteken Rp 5000 perorang.
Dari tempat parkir (depan rumah warga) tidak terlalu jauh sekitar 50 meter saja. Terdapat semacam gerbang yang terbuat dari bambu, namun di bawahnya terdapat bambu yang melintang. Mungkin untuk menutup akses motor masuk ke kawasan itu. Awal memasuki kawasan seperti kebun atau huma yang baru ditanami pohon cengkeh. Tampak beberapa gazebo runtuh dan rusak bambu penyusunya lepas berserakan. Di sudut selatan ada satu gazebo yang masih terawat, di situlah ada satu warung jajanan. Warung satu-satunya yang masih melayani tetamu curug.
Spot selfie berbentuk bintang yang menjorok ke jurang, tatanan kayu dan bambu yang menjorok ke jurang juga tampil compang-camping seperti hasil amukan zaman dan kebencian manusia. Hampir semuanya rusak. Semut ganas berwarna merah dan hitam hilir mudik masuk ke dalam rumahnya di puing-puing bambu yang sebelumnya tegak sebagai gazebo.
Curug ini berada di lembah dasar. Dasar jurang. Waktu tempuh dari warung sekitar 10-15 menitan, cukup jauh memang. Bisa jadi bagi anda yang jarang berolahraga membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Lebih-lebih jika kondisi selepas hujan atau sedang hujan. Jalan (track) menuju curug masuk katagori ekstrem, dengan jalan yang curam, jurang, dan sudut kemiringan ekstrem.
Beberapa jalan menggunakan tangga yang dibuat masyarakat, ada pula yang masih tanah atau batu alami. Aspek keamanan dan keselamatan cukup dijaga dengan baik yakni adanya tali untuk berpegangan. Ditengarai bahwa kawasan curug masuk ke dalam hutan lindung berhubung jenis tanaman yang ada menunjukkan pepohonan liar khas hutan hujan tropis. Tidak ditemukan juga tanaman khas yang sengaja dipelihara oleh masyarakat seperti pohon jati, mahagoni ataupun pohon lainnya yang dikembangkan oleh manusia. Semua tampak alami dan indah.
Suara burung terdengar jelas dengan gema yang muncul akibat kondisi alam yang seperti dinding. Kami menuruni jurang dengan hati-hati, berhubung kondisi kering sehingga resiko terpeleset kerikil semakin banyak. Angga di depan menyusul, Imam, Zia, Aku dan Rifki.
Berharap tidak banyak orang di sana, dan benar saja hanya satu kelompok saja berisi pria muda semua. Mereka sedang ngaliwet juga. Mencari tempat yang agak datar dan terhalang oleh angin untuk keperluan memasak, akhirnya nemu tak jauh dari mulut curug.
Saya sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk memantik api dengan keadaan darurat, terlalu sulit. Padahal di rumah sendiri dapur masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar utama. Hanya Imam saja yang mempunyai kemampuan yang baik soal itu, saya bagian memasak. Yang lainnya membantu apa yang ada. Nasi liwet tidak ada yang tersisa sama sekali, cuma daging ayam yang masih tersisa sekitar delapan biji. Tak terlewat sesi swafoto terjadi dengan hikmat.
Acara mandi di curug batal karena air yang terlalu dingin, membasuh muka pun tidak. Dingin rasanya walaupun tanpa menyentuh airnya, terpaan angin dan percikan air seperti gerimis halus menerpa badan, masuk menusuk saraf dan tulang.
Di sana kami ngaliwet dengan bahan-bahan yang dibawa, setelah prosesi ngaliwet kami memutuskan untuk pulang. Bisa jadi karena kurang banyak main akhirnya kami mencari curug kembali.
Curug Quali - Padaherang
Keputusan bersama diambil pada kesempatan akan beribadah di depan mushola. Sayang tidak ada sarung tersedia, akhirnya kami batal sembahyang di mushola itu. Awalnya bingung mau ke curug yang mana, ke Kedungwuluh yang ada air panas atau Curug Quali yang tak jauh dari curug Grigis.
Lagi-lagi bertanya kepada penduduk lokal untuk memperoleh kepastian lokasi dan jalan. Mengandalkan Google Map bisa jadi sampai ke tempat tujuan, namun rasanya lokasi di peta tidak terlalu tepat. Awal bertanya kepada orang yang keluar dari gedung madrasah, kamu diarahkan ke arah selatan.
Jalan menuju ke curug Quali hampir semuanya bagus, baik dari curug Grigis maupun dari Pasar Padaherang. Cukup banyak percabangan jalan dan tidak ada petunjuk arah yang jelas, keterangan curug memang ada hanya saja tidak ada anak panah yang menunjukkan lokasi/arah jalan yang benar. Dua kali kami bertanya ke pedagang dawet keliling, selanjutnya di percabangan jalan kami mengira-ngira saja. Beruntung perkiraan kami benar.
Masuk ke lokasi sungguh ramai dengan musik dangdut modern yang diputarkan pemuda dan om-om yang menjaga warung. Banyak sepeda motor yang berderet di sekitaran warung, entah milik siapa. Dan aku berpikir milik para pengunjung dan ternyata salah, sepeda motor itu ternyata milik pemuda dan om-om yang nongkrong di warung.
Jalan menuju curug dari warung atau tempat parkir tidak terlalu jauh, tidak terlalu curam juga, kondisi jalan dicor dengan baik. Beberapa gazebo runtuh dan tak terpakai menjadi bangkai wisata yang arwahnya gentayangan kepada setiap wisatawan. Ada juga gazebo yang masih sehat nampak menghadap pemandangan pegunungan penuh pohon yang hijau. Teriakan bocah tengil saling bersahutan dari gazebo entah meneriaki siapa. Sambutan dijawab dengan gelak tawa dari para gadis yang mulai kecentilan, seakan respon alamiah yang saling menggoda.
Suara percakapan antara air dan batu hitam di curug terdengar menggebu dengan gema dari dinding jurang. Curug ini tidak terlalu tinggi seperti curug Grigis, hanya sekitar 10 meter dengan lebar sekitar lima meter dan mempunyai banyak aliran air yang memecah sesuai alur. Indah rasanya jika dipandang dari kejauhan. Ada beberapa meter bebatuan tersusun oleh alam berjuta tahun lalu, batu tertumpuk seperti jenang kacang kering. Di sebelah batuan yang datar itu adalah jurang yang cukup dalam dan mengerikan. Bayangkan jika debit air naik, bisa saja pengunjung akan hanyut dengan arwah yang terbang secara halus dari tubuh yang terbuang ke bawah menuju jurang yang hitam. Ngeri.
Kualitas air tidak begitu baik, warna keruh seperti satu gelas susu kental manis rasa cokelat yang kurang cokelatnya. Tampak menjijikkan untuk dicumbu, tapi apakah daya hasrat mencumbu begitu tinggi hingga akhirnya saya, Angga dan Zia masuk ke lubang kenikmatan yang menjijikkan itu. Sebelumnya saya ada tiga bocah perempuan yang mandi di situ, seperti bidadari kecil bermain air.
Ada "kotak amal" dengan tulisan sumbangan kebersihan lingkungan curug, terlihat berisi koin uang Rp 500 tidak sampai 30 koin. Berhubung kondisi kami kéré, ya terlewati begitu saja. Kami hanya bayar ing parkir saja, satu motor Rp 2000 saja. Tarif parkir sama di curug sebelumnya.
Di perjalanan otak kami yang haus liburan tertantang untuk lanjut ke pantai untuk sekedar melihat matahari tenggelam dan menanak nasi untuk sisa daging ayam di kastrol milik Angga. Benar saja kami melanjutkan perjalanan ke pantai Karapyak, pantai terdekat dari jangkauan kami.
Pantai Karapyak - Kalipucang
Bagian akhir ini adalah bagian penyesalan karena kurangnya kesadaran diri pada teman lainnya, berharap suatu hari tidak ada hal seperti ini lagi. Ini adalah suatu kesalahan dari saya yang menyepelekan kesetiaan dari seorang sahabat.
Sore menuju jam lima, hilir mudik pejabat pulang ke arah utara, Banjar. Bisa jadi mereka pulang ke Bandung ataupun Jakarta, banyak plat nomor yang berawalan huruf D dan B. Sisi lajur tampak sepi seperti sedia kala, kadang pengendara lain berplat nomor yang sama, Z.
Kejadian bermula saat memasuki wilayah Emplak, awal sekali saya menjadi navigator. Berjalan di depan, namun Zia menyalip dan melesat jauh. Aku yang tahu soal jalan akhirnya masuk gang untuk memotong jalan, melalui kawasan pesantren. Perjalanan berlanjut tanpa Zia sampai dekat kantor desa Bagolo, kami sempatkan untuk menunggu dia. Sambil menunggu Zia, saya kirim pesan WhatsApp dan berbelanja beras, kerupuk dan kecap.
Dipikir dan dipercaya Zia sudah sampai ke pantai Karapyak akhirnya kami lanjut ke pantai. Sampai di sana kami selalu mencoba menghubungi Zia baik melalui telfon analog maupun melalui jaringan WhatsApp. Hasilnya nihil. Tersadar bahwa batu baterai handphone milik Zia sudah habis sedari di curug Quali. Dengan tergesa-gesa saya dan Angga menyusul Zia ke sekitaran bundaran dekat masjid Aljabar.
Berkeliling sampai kawasan pesantren berakhir nihil. Suatu penyesalan nyata kehilangan teman. Kami percaya bahwa Zia baik-baik saja, dan mungkin pulang ke rumah karena tidak ada kejelasan yang didapat. Kami segera ke pantai Karapyak untuk bergabung kembali setelah dirasa pencarian untuk Zia gagal total.
Sampai di pantai Karapyak, Zia mengirimkan pesan suara "Mas tadi aku tunggu di bundaran dekat masjid, tapi tidak muncul-muncul. Nunggu lama akhirnya aku pulang" Ya Tuhan benar dugaan Imam selanjutnya. Ini merupakan pelajaran bagi saya untuk bersiplin soal perjalanan.
Kegiatan pelesir masih berlanjut, walaupun tanpa Zia. Imam dan Rifki sibuk membuat perapian sementara saya dan Angga mengambil beras untuk dibersihkan. Akses air tawar masih ada dan gratis, kami dapatkan di mushola. Daun pisang untuk tilam nasi bisa didapat dengan mudah juga di sana. Oh ya berhubung kami memasuki kawasan pantai Karapyak jam lima sore, jadi tidak pungutan karcis.
Selepas sembahyang yang dirapel, kami santai dengan sepenggal obrolan ngalor ngidul di ayunan kain yang saya bawa. Nasi dan daging ayam sudah matang dan siap disantap, alhamdulillah kenyang. Rasa kantuk selepas makan (food coma) menyerang begitu surgawi, ah perjalanan kami masih jauh dan masih membutuhkan energi dan konsentrasi tinggi.
Meninggalkan pantai Karapyak sekitar jam delapan malam dan sampai di Banjarsari sekitar jam setengah sembilan malam. Sedikit tenggakan air dingin dari rumah Angga, kami berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing. Alhamdulillah perjalanan ini ditutup dengan keberkatan dan keselamatan yang sempurna, walaupun ada kejadian yang mengecewakan sahabat kami, Zia.
Pulang di sekitar Sukajadi kakiku terasa perih dan ada darah yang keluar, saat pagi juga kaget ada darah di celana terutama wilayah bokong. Ternyata gumpalan darah yang ada di tiga titik perih berasal dari pacet yang menghisap darah segarku. Ya Tuhan.
Pamarican kala mendung, 6 Juli 2020
Komentar