Katanya semesta sudah mempunyai skenario yang dari awal kejadian penciptaan sudah tersusun rapih, hanya saja kata orang juga, semesta bisa berubah dikala ada yang mau merubah. Tapi ini sebagai sesuatu yang tidak dapatku mengerti, apalah aku hanya sebuah ciptaan yang tak pernah tahu maksud dari sebuah penciptaan ini. Ada yang bilang "mati atau tiada, sama saja. Kau menciptakan aku untuk sesuatu yang tak pernah aku mengerti".
Itulah misteri dari semesta yang luas. Hari ini ku tulis cerita tentang jalannya semesta, pada orang yang bisa saja membenciku suatu hari nanti, atau bisa juga menjadi hal lain. Ditulis buka karena dari olah rasa, tapi dari permintaan. Dan jika ini terasa seperti olah rasa, bisa jadi karena dialektika bersamanya mempunyai olah rasa. Sila hermeneutik yang rumit itu dimunculkan untuk sebuah Catatan Kecil ini.
Tampak susunan angka sebagai tanda monumental di hidupnya, kemanapun susunan angka itu selalu disematkan. Tak pernah lekang hingga pada nisan terakhir. Pada kartu kecil PMI (Palang Merah Indonesia) tertera huruf O besar, di samping tersusun 3/9/2000. Serta hal-hal lain yang tampaknya dibutuhkan untuk sebuah identitas. Bukan, bukan dari sini kami memulai. Jauh dari kartu PMI semesta memainkan peran, ini hanyalah sebuah introduksi belaka.
Merek yang tersemat padanya cukup panjang dan berisi makna yang panjang pula, bila disingkat menjadi MAF, bukan sebuah kata yang berarti maaf. Katanya hadiah dari kakeknya, aku kurang peduli untuk hal itu. Maklum saja merek yang tersemat padaku tidaklah terlalu istimewa, hanya sebuah merek yang pernah dipakai oleh paman, setelah perceraian jasad dan rohaninya merek itu tersemat padaku (penulis). MAF terlahir dengan khas, tidak ada yang serupa. Potret usang menceritakan betapa sempurna, wajah kecil tersanding di depan kakek nenek dan laman yang sedang menjadi pengantin. Wajah seperti langit biru dengan terik mentari, dan bisa juga seperti wajah bulan masuk umur empat belas hari.
Potret usang lain pernahku lihat dari kirimannya dan ku simpan sebagai pemberian. Pada foto yang tercetak digital tergambar lagi wajah, rambut lurus dengan saudara (teman). Ada juga potret sendiri dengan baju sarjana, memegang gulungan kertas yang terikat pita merah. Matanya tajam, bibirnya merah sendu seperti orang suci yang tak pernah mengumbar dosa. Di atas ada dua alis tebal yang masih ada hingga sekarang, entah sihir apa dalam mata dan alisnya. Mengenai hal lainnya aku tidak mau membahasnya, biarlah menjadi arwah penasaran.
Semua teori tentang semesta tercuat pada berbagai macam buku, entah katagori teologi, sains ataupun buku dengan pemikiran antah berantah yang menceritakan kejadian semesta. Semua ada dan tercerita dengan baik, begitupun Catatan Kecil ini akan bercerita untuk menjadi arwah penasaran yang siap merasuk pada setiap saraf-saraf aktif. Beruntung bagi kalian yang mempunyai banyak saraf tidak aktif, ini bisa jadi sebuah keberuntungan dahsyat.
Sudah tak kandani bahasaku memang terlalu memuakan. Berhenti saja, daripada muntah.
Boleh dibilang inilah manusia yang dikirim dan dicipta untuk menemani, entah sampai detik keberapa. Dan itu akan tersemat pada jejak-jejak waktu sebagai sebuah cerita, dan kini jejak itu tertulis. Dikirim untukku, semua dan untuk yang melahirkan. Cukup kesulitan untuk bercerita bertemu pertama, aku takut arwah itu lenyap dari rasa penasaran.
Beberapa hari sebelum pilihan raya negara, gonjang ganjing dunia perpolitikan terbakar. Sana sini saling benci demi membela junjungan yang tak kalah suci dari para dewa yang ada. Riuhnya sampai ke telinga setiap dari kami, hanya beberapa pasang mulut saja yang bisa menjaga panasnya perpolitikan. Otak tanpa ijazah perpolitikan pun menjadi pakar dadakan, tanpa perlu buang duit untuk menjadi profesional. Semua serba dadakan sehingga otak terbakar hingga otot pun keluar. Di belahan selatan Indonesia, di situlah kami bertemu pada sebuah kegiatan yang banyak menelan tenaga.
Tidak ada harapan untuk hal lain, karena ini adalah kegiatan selingan. Terlebih kumpul bocah yang masih terbakar segala yang masuk di otak kecilnya, semua seakan menjadi hal selingan yang kurang meyakinkan diri untuk bermain dan bertukar pikiran. Terlebih pada sikap yang kurang menggambarkan pada identitas yang dipamerkannya, ya walaupun aku sendiri bukan nabi yang selalu suci. Ini soal lainnya yang membawa saya bersikap muak pada seseorang yang selalu pamer identitas di segala tempat dan waktu.
Sebagai 'tes air' beberapa pertanyaan meluncur untuk melucuti otak kecil mereka yang sedang berkembang. Hampir semua jawaban sama dan terlalu menyakitkan, hanya satu yang beda dan itu datang dari mulut irit bicara. "Untuk mencapai hal pada diri sendiri yang selalu ingin menang" jawaban yang sudah saya ubah dari sisi kalimat, namun kalimat asli dari mulutnya mengandung hal sama persis dengan kalimat di atas. Jawaban itu menjadi titik tolak untuk dekat, dekat dan dekat. Ada yang beda dari pemikirannya, ada yang istimewa, ada yang sama dari dirinya. Lagi-lagi aku belum sedia untuk membuka diri lebih banyak, terlalu letih untuk menjalin hal baru.
Tidak banyak obrolan intim, hanya sekadar basa-basi selama dan paska kegiatan. Tidak ada yang menarik.
Sekian bulan terlewat dengan jejak sejarah Indonesia yang telah memilih pemimpin di tengah panasnya neraka pikiran kotor sang politikus, juga pada otak kerbau pengikut.
Kegiatan kedua kami bertemu dengan formasi dan tempat yang berbeda. Semua terasa biasa, hanya pemandangan yang indah membuatku terpana. Bukan keindahan anatomi pada dirinya, sekali lagi bukan. Hanya seburat alis tebal, mata tajam dan mulut yang mengeluarkan mantra halus, tanpa kata.
Pulang dari kaldera, muncul gejala semakin dekat dari sebuah percakapan. Foto kemarin terkirim dengan sejumlah kalimat yang semakin memakan waktu hingga menjadi sederet kebiasaan hingga sekarang. Ternyata dari percakapan!.
Sehari setengah jam, kemudian sepuluh menit, sejam, lima menit, empat detik. Menumpuk menjadi cerita yang saling berkaitan dan berbalas dengan hal yang berbeda. Tidak ada kalimat yang terekam, aku masih sedikit acuh.
Sebulan kurang empat hari media komunikasi hilang. Tanpa cerita.
Menjelang hari raya cerita dimulai dan jatuh pada kegiatan yang sama. Dekat semakin dekat semakin dekat. Di sini cerita rumit dimulai, pertukaran pemikiran sering terjadi hingga nanti aku lenyap dan menjadi benih.
Sepulang dari kamar penuh asap, 3 Juli 2020
Komentar