Diawali dengan menjenguk tugu-tugu sakral dengan nama, tanggal lahir dan tanggal lepas. Segala untaian pujian dan harapan terlepas dari mulut setiap pengunjung di pagi, siang dan sore hari menjelang bulan tanpa makan. Aku termasuk ke dalamnya, masuk dalam pusaran keagamaan dan budaya leluhur. Semua membuat bulu kuduk berdiri karena datangnya waktu istimewa!
Saya tulis sesuai dengan rentang waktu menurut kalender lunar yang bermula dari lenyapnya matari sampai datangnya mega kemerahan dari barat! Kini sudah masuk waktu istimewa yang diidamkan oleh setiap yang percaya, tapi juga bagi yang tidak percaya. Hanya orang tertekan saja tidak mengidamkan waktu istimewa ini. Percaya tidak percaya, hanya tertumpu pada sebuah kepentingan dan manfaat. Yang tidak percaya bisa merasakan hawa yang khas, memanfaatkan masa untuk penawaran hingga mendapatkan pahala duniawi. Bagi yang percaya mendapatkan segalanya hingga hal sebiji zarrah pun. Dan bagi yang tertekan hanya sebuah kesulitan yang sulit dimengerti oleh dirinya.
Sepulang dari kunjungan, beruntung saya mendapatkan undangan untuk makan mie ayam oleh sahabat baik. Dengan kerelaan hati, saya menanggapi undangannya. Satu tumpuk lajur-lajur tepung berbentuk benang terkunyah nikmat. Katanya ini nikmatNya, tapi aku belum bisa menikmati sesempurna apa yang dariNya.
Rencana untuk masa istimewa tidak terlalu ambisius untuk mengejar poin ataupun menambah pundi mata uang yang bisa membeli satu kavling firdaus. Aku tak sanggup untuk seperti pengumpul poin, hanya saja sebagai pemulung jalanan. Dimana dia dapat, bersyukur untuk untuk hal yang didapat. Tanpa sebuah paksaan yang memuakan dan berjalan layaknya angin di musim semi. Jadi apa yang akan diambil di jalanan musim semi yang istimewa ini? Belajar agama Buddha dari pdf hasil unduhan, membaca setumpuk kalimat suci dengan kesadaran, mencatat dan berpikir untuk menjadi orang yang sadar bahwa aku adalah manusia. Kira-kira begitulah proposal untuk diriku yang masih ingin menjadi manusia. Kiranya Tuhan dan usaha bersatu untuk membentuk cita-cita yang mempunyai roh mulia. Amen.
Malam
Lebih dari dua puluh menyembah keringat membasah hasil dari aktifitas penyembahan. Terasa berat, namun nikmat. Penyembahan bersama khalayak ramai kali ini adalah pertama kali untukku setelah lima minggu absen. Berbagai kekhawatiran muncul saat semua jemaat menginginkan jari-jemariku saling menjamah miliknya. Parno memang diajak bermain jabat tangan dengan lainnya terlebih jumlah yang terinfeksi semakin baik dari hari ke hari. Lantai langgar menjadi momok menakutkan bagiku, suatu lantai dengan ribuan pijakan dan ciuman dari umatNya. Aku bukanlah seorang fatalistik, aku ingin selalu berusaha dengan segala kekuatan dariNya. Bukan tanpa alasan aku memilih demikian, tapi ada nalar yang bekerja.
Lepas dari aktifitas persembahan antara aku dan Nya. Mampir barang sepuluh menit untuk mencicipi kudapan tradisional yang disuguhkan si tuan rumah, Imam. Tak ada aktifitas lain yang menyertai setelah itu hanya membaca buku. Sesuai dengan tagline ramadan kali ini, måcå-mikir-nulis. Saya sudah mempersiapkan diri untuk membaca segala bahan bacaan, media menulis dan waktu yang dialokasikan untuk mikir. Bahan bacaan yang saya ambil agaknya ekstrem dan selalu frontal: membaca ajaran agama lain untuk menemukan keislaman yang universal. Untuk membaca ajaran agama lain, saya mengambil agama Buddha sebagai yang pertama. Malam ini membaca sampai halaman 19 dengan mukadimah agama Buddha sebagai agama yang homosentris, agama yang berpusat pada manusia dan pengalaman pribadi sebagai dasarnya. Buddha Gautama menawarkan berbagai pedoman hidup daripada sebatas agama, pedoman hidup yang tentunya bersifat universal.
Malam pertama yang suci ini tidak juga saya sia-siakan untuk bergumul dengan ajaran lainnya, juga bermesra dengan ajaran yang sudah mendarah daging sejak awal kandungan. Aku yang terkandung dengan seruan qurani dan terlahir dengan pekikan adzan iqomah, berkewajiban untuk selalu bermesra denganNya. Tidak ada target untuk seberapa balik, hanya sebuah pemahaman yang diinginkan menjadi detak tambahan pada setiap alur-alur kardiovaskular.
Dini Hari
Menu awal terlalu istimewa, ayam goreng! Ah aku butuh sayuran untuk selalu segar. Mau apalagi santap saja! Cuaca yang penuh keberkatan membuat saya tidak kuat menahan kantuk. Tidur. Bangun. Bercakap denganNya. Tidur.
Pagi
Kucingku merintih perih, lambungnya tiada bahan yang akan dicerna! Kupikir dia akan mengikuti majikannya untuk berpuasa, ternyata dia hanyalah kucing! Lagi menyusui jadi bolehlah dibayar dengan fidyah, tapi ini kan kucing. Iya tidak ada kewajiban seperti manusia yang percaya dan berjanji dengan sumpah setia padaNya.
Aktifitas pagi sama seperti sebelumnya hanya ditambah dengan bahan bacaan. Kembali dengan kajian agama Buddha dan ayat-ayat yang kupercayai sedari akil baligh. Selanjutnya solat Jumat pertama selama pandemik, rasanya was-was juga. Saya memilih untuk berada di saf paling belakang di teras masjid, jarak antara jemaat lainnya lebih dari satu meter. Padahal di dalam masjid masih lowong. Tuhan, aku tidak perlu beralasan banyak padaMu untuk hal ini.
Sore
Berkebun dan olahraga di sore ini membuat badan lebih segar daripada pagi hari. Wah nikmat sekali terlebih berita baik masuk melalui telegram pada jam 15:00, kirimanku berupa buku sudah sampai pada penerima 42155.
Pamarican mendengarkan RTISI, 24 April 2020
Ibn Dischman
Komentar