Berawal dari pengajian rutin dan hilangnya seorang teman, kebangkitan keimanan dari seorang pemudi bernama Kiran seakan-akan terkendala. Usaha menghapus kebosanan di pondok pesantren sirna sudah setelah bergabung dengan kelompok diskusi keagamaan di kampus. Sosok pemuda bernama Daihiri yang selalu aktif dan cerdas menjadi daya magnet kuat untuk Kiran dalam diskusi agama, hari demi hari berlalu dengan berbagai topik keagamaan. Biusan doktrin dari Daihiri merasuk ke sel-sel tubuh Kiran, kebimbangan atas desas-desus dari tetangga kamar di pondok ditepis dengan kekuatan doktrin Islam Kaffah dari Daihiri.
"Dengan tercerabutnya akar beragama yang memang kuakui sangat lemah itu, maka betapa mudahnya aku menerima dengan total semua doktrin gerakan di mana aku harus mengakui bahwa selama ini aku bukan orang Islam." Pembaiatan dan merasuk lebih dalam pada neutron hingga merajai segala dalam langkah dan alam pikirannya, Kiran terlahir kembali dan menjadi penyelamat akidah Indonesia. Cita-cita jemaat yang diikuti oleh Kiran mempunyai padangan yang berbeda jauh dengan ideologi Pancasila yang sudah dianut masyarakat Indonesia, mereka menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia, dengan hukum syariat Islam.
Kiran mulai tidak kerasan di Pondok Ki Ageng, sehingga memutuskan keluar dari pondok dan bergabung dengan jemaah yang diikutinya. Cukup banyak perbedaan diantara mereka dengannya, terutama ritual ibadah. Mereka hanya shalat berjamaah awal waktu, selebihnya hal yang biasa. Cukup jauh dari ekspektasi Kiran. Tiap bulan menginfakan uang 500 ribu untuk sebuah perjuangan Daulah Islam Indonesia yang dirintisnya bersama jemaat lain. Infak yang besar tidak menurunkan niat perjuangannya, terlebih ustadz yang mendoktrin "Kita boleh berbohong, sepanjang itu berkaitan ngan kepentingan Islam dan kerahasiaan perjuangan. Bahkan boleh menipu, mencuri, merampok, menjual barang-barang pribadi, maupun melacur. Ini jihad dan bukan untuk foya-foya. Dan Allah Maha Tahu itu semua."
Kecurigaan demi kecurigaan terhadap organisasi jemaahnya menjadi puncak dirinya untuk menjadi pengkhianat. Dua tiga orang kabur menjadi DPO pengkhianat jemaah Negara Islam Indonesia, sumpah serapah dari ukhti keluar bagai muntahan busuk sebagai kekesalan yang membucah. Kiran tersesat ke rimba kebebasan dengan banyak pohon tanya dan melenyapkan diri ke sebuah jurang kenistaan. Jurang kenistaan terbentuk akibat kekecewaannya pada apa yang pernah dipegang dan dipercayainya, waktu dari waktu menjadi liar dan menjadi diri Kiran yang terasing.
Masalah keluarga menghantam bagai palu godam dari jahanam, terseok-seok kehidupannya dalam ke-liar-an, nafsu farji, perindu kehakikian dan pendusta Tuhan. Kedustaan pada Tuhan memberinya kedekatan yang lain pada Tuhan yang pernah disapanya tiap waktu, tiap malam dan tiap tempat dia berada. Semua semakin hampa tanpa ada arah pada setiap falus yang mengeras, pada setiap cairan kental putih dan pada setiap kasur empuk.
Rasukan-rasukan meresap halus ke penjuru sisi neuron dalam otaknya, kini perkelaminan yang dinikmati tanpa sebuah harga menjadi sampah busuk yang harus ditinggal. Martabat perkelaminan naik menjadi sebuah nominal yang prestisius dalam dolar maupun rupiah, namun kekecewaannya masih ada. Setiap belai kulit, setiap ritme erangan, setiap mililiter sperma membawa kekecewaan yang pendam, walau sedikit hilang saat orgasme. Permainan perspektif mencuat dalam setiap sudut bulat kornea matanya, kini Kiran menjadi Kiran yang ada.
Novel ini sungguh menampar pipi sisi manusiaku, aku yang munafik, aku yang tak kuat iman, aku yang skeptis, aku yang ragu Tuhan, aku yang aku. Seakan menjadi titik koordinat kehidupan yang menjadi titik tumpu untuk berpindah ke garis X ataupun Y. Ini novel kedua filsafat setelah Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang saya baca dan dua kali aku tertampar sebagai manusia. Semakin banyak paragraf terbaca, semakin banyak rumput tanda tanya yang berjejer bak rimbunan toge. Bagi yang suka filsafat jelas novel ini bagai seorang guru kehidupan walaupun sebatas fiksi, tapi bagi yang kurang suka filsafat bisa jadi hal yang memuakan.
Bahasa yang digunakan bagiku relatif berat untuk dicerna terlebih pada istilah-istilah Arab atau Islam, istilah ini menjadi tugas pokok untuk menyambungkan antar kalimat agar terjaga keindahannya. Satu demi satu istilah-istilah tersebut ditulis, termasuk istilah filsafat yang baru aku tahu. Bagi yang malas mencari arti istilah mungkin sangat disayangkan, karena akan menyita waktu untuk membuka kamus atau mesin pencari Google. Harapan praktisnya ada catatan kaki untuk kelancaran membaca, terlebih untuk para pembaca yang terlalu lemah untuk membuka lembaran kamus.
Alur cerita berjalan dengan mulus tanpa curiga pada keadaan yang menyolok ataupun pada perubahan nasib yang spektakuler. Semua seperti jalannya kehidupan biasa pada seorang mahasiswa di kota besar. Episode kehidupan tidak banyak kejutan, hanya saja kandungan filsafat yang banyak menampar pipiku. Hanya sayang saja rasa greget hilang saat episode pendoktrinan yang terbongkar, padahal ini adalah sisi kritis yang bisa membuat pembaca terhentak. Sayang episode ini disingkat hingga kepindahan ke Jakarta karena ayahnya sakit.
Ada pertanyaan besar selepas rampung membaca: Pertama, Sebenarnya Kiran itu mahasiswa jurusan apa? Kok dia mempunyai dosen filsafat padahal diceritakan dia berpendidikan D3 Pariwisata dan S1 Hubungan Internasional, dan kedua jurusan tersebut tidak memuat mata kuliah filsafat. "RAHMANIDAS SIRA, Tentu itu bukan nama dewa yang kukenal dalam mitologi Yunani seperti yang di dongengkan dosen filsafat." Kedua, kenapa Kiran tidak dikejar polisi atau menjadi DPO, padahal orang yang didoktrinnya di Wonosari dikejar polisi. Kedua pertanyaan itu selalu mengusik ruang berpikirku, ah rasanya pengin bertanya langsung ke penulisnya.
Tidak usah diragukan lagi bahwa buku ini adalah seorang guru kehidupan yang pantas diserap untuk bekal kehidupan selanjutnya. Banyak pelajaran yang terkandung dalam alur cerita di sini, pertanyaan ketuhanan, feminisme, pemikiran modern, dan eksistensi manusia itu sendiri. "Kuberitahu kalian semua. Hai, semuanya: masyarakat bumi adalah masyarakat pecandu yang sudah sangat jauh lari dari resensi mereka hidup. Mereka bisa bertahan hidup hanya dengan candu. Kulihat mereka sekarang dalam kondisi mabuk. Hidup mereka jadi stagnan, mandek. Bagaimana tidak, inti hidup itu sendiri, yang memandu kehidupan mereka, ialah ke keyakinan tentang Tuhan yang tak pernah jelas dan sesungguhnya rapuh."
Judul: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis: Muhaimin M Dahlan
Tata letak: Taman Air
Sampul: Jaquelesto
Dimensi: 269 halaman, 12x19 cm
Cetakan: Ke-16 tahun 2016
ISBN: 979-99461-1-5
Penerbit: Scripta Manent
"Mati atau tiada? Sama saja. Kau ciptakan aku untuk sesuatu yang tak kumengerti."
Komentar