Keliwat! Wis suwe....! Ya aku ketinggalan kepopuleran novel ini, duh rasanya tidak kurang sreg aja membaca novel yang pernah populer dan terlewati dengan acuh saat itu. Kini dengan malu-malu membaca novel populer ini, saat itu sejatinya kendala terbesarku adalah kehampaan pada ruang dompet. Ngenes juga ya, maklum saja saat itu saya masih bersusah payah untuk mengejar studi.
Novel ini sempat ditawarkan dari teman-teman muslimku, dia selalu menyodorkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keislaman seperti buku La Tahzan, buku-buku karya Habiburrahman dan yang lainnya. Ada beberapa judul buku yang saya ambil sebagai penghormatan padanya. Untungnya judul yang saya ambil cocok dengan selera, jadi gak terlalu mubah sekali.
Awal cerita, dari sebuah rencana ke London untuk menjadi panelis di acara besar The World Inter-faith Forum, sebelum keberangkatan menuju London, dia mendapatkan pesan yang membuat kaget setengah mati karena membangkitkan ingatan pada masa silam, masa perjuangan. Plot selanjutnya mundur ke beberapa masa yang lalu dimana Alif sebagai tokoh utama, diceritakan dia adalah seorang anak kampung dari sebuah kampung terpencil sisi Danau Maninjau Sumatera Barat.
Tangkap layar dari PDF Negeri Lima Menara |
Harapan sang bunda memaksanya untuk belajar di sekolah berbasis agama, sementara keinginannya berlainan. Terjadi perang batin yang merisaukan, berkat surat dari pamannya yang belajar di Timur Tengah. Akhirnya dia mendapat kekuatan untuk menggapai pendidikan di sekolah agama, pesantren. Keputusannya membuat kedua orang tua terkejut, terlebih lagi pesantren yang dipilih sangat jauh dari rumahnya.
Cerita berlanjut dari awal perjalanan menuju Ponorogo, Jawa Timur hingga kelulusan dari pondok pesantren. Cerita sepanjang pendidikan di pesantren adalah suguhan utama dari novel ini, segala tetek mbengek kehidupan pesantren tergambar jelas. Hal yang jarang sekali kehidupan pesantren menjadi sebuah novel, terlebih lagi pesantren yang sangat ketat seperti Pesantren Madani. Saya sangat menikmati cerita ini karena ada keinginan untuk mencoba masuk ke dalam kehidupan pesantren, namun harapan tertelan lidah waktu.
Bahasa yang sederhana, tidak banyak cincong, keminggris dan selalu patuh pada pakem tata bahasa Indonesia yang baik. Dari awal membaca setiap baris kalimat begitu lentur dan mudah dicerna di setiap abjad, istilah-istilah daerah terutama dari bahasa Minang terdapat catatan kaki. Ini suatu hal yang memberi penerangan pada jalan cerita, kadang penulis Indonesia lupa kalau istilah daerahnya dibawa tanpa catatan kaki. Padahal tiap orang Indonesia mempunyai suku yang berbeda, dan tidak semua orang paham istilah tersebut. Bersyukur di novel ini tidak ada istilah yang terlewat dari catatan kaki.
Satu kurang greget dari novel ini adalah kenakalan yang sedikit diceritakan. Nakal Pondok Madani ternyata nakal skala 0,01 nakal yang tidak terasa. Kupikir akan ada cerita kenakalan yang cukup greget, tapi tidak ada mungkin karena pesantren barangkali. Kenakalan-kenakalan di pesantren menurut teman muslimku memang banyak sekali terutama untuk santri baru, cuma lagi-lagi hanya katanya. Dan kenakalan itu cukup asyik didengar terlebih dunia pesantren yang sarat dengan kepatuhan.
Novel ini cocok sekali untuk para remaja yang masih mempunyai bara semangat mencapai kesuksesan, dan menjadi sebuah cerita pemanggil ingatan untuk para dewasa yang merindukan suasana sekolah ataupun pesantren. Novel ini hari ini tidak terlalu susah didapat, tinggal cari saja PDF di internet pasti banyak yang keluar. Jika ingin membeli buku cetakan asli mungkin bisa dicari di toko buku, tapi mungkin sudah habis atau sudah tidak ada. Alternatif bisa ke toko buku kecil biasanya ada, atau ke pedagang toko buku bekas. Coba saja dicari, semoga ketemu! Novel ini layak dibaca dan dikoleksi.
Judul: Negri Lima Menara
Penulis: A Fuadi
Penyunting: Mirna Yulistiani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-4861-6
Komentar