Kali kedua membaca novel karya Tere Liye, si penulis kontroversial abad ini. Stigma kontroversial segera dihapus saat kita membaca karya-karyanya dan harus menghargai setiap karya yang ditorehkan. Sekalipun saya bel pernah membeli buku karangan Tere Liye, dua novel miliknya yang pernah saya baca adalah hasil pinjaman milik saudara dan teman. Dulu sempat tertarik membeli di acara Islamic Book Fair tahun 2015 di Istora Senayan - Jakarta. Berhubung ada buku dari Hella S Haassee dan sejumlah buku spiritual lainnya, akhirnya keinginan untuk membeli karya Tere Liye pupus tiada uang kembalian!.
Karya-karya Tere Liye memang dikenal sebagai cerita melankolis oleh peminatnya, dan benar saja isinya semua berisi sebuah keharu biruan. Pada novel yang berjudul Daun Tak Pernah Membenci Angin juga penuh dengan kesedihan. Berawal dari dua anak pengamen Dede dan Tania mencari sejumlah receh di atas bis kota. Dede dan Tania adalah adik berkakak yang putus sekolah karena faktor ekonomi yang menghimpit keluarganya, terutama semenjak ayahnya meninggal karena TBC. Mereka berdua tinggal di gubuk bedeg kardus di pinggir sungai dengan ibunya yang terbaring sakit.
Singkat cerita Tania tertusuk paku payung saat ngamen di atas bis kota, para penumpang seakan acuh, namun penuh belas kasih. Beruntung ada seorang dewasa muda yang menolongnya dengan sapu tangan putih. Kedua bocah tersebut semakin akrab dengan si penolong (Danar) semenjak dia memberikan sepasang sepatu kepada dua bocah tersebut. Kebaikan Danar tidak berhenti di situ saja, dia juga berkunjung ke rumah bedeng sua bocah tersebut.
Danar seperti malaikat kecil yang membawa harapan indah kedapa keluarga yang terlantar itu, hari demi hari kebaikan Danar membawa harapan dan perubahan besar. Dede dan Tania kembali bersekolah, pindah ke rumah kontrakan, membuka usaha kue kecil-kecilan hingga mempunyai omset penjualan besar.
Mesin waktu begitu cepat berjalan hingga mendekatkan pada sebuah peristiwa dimana ini dari Tania dan Dede meninggal akibat kanker paru-paru stadium empat yang diderita ibunya. Terjadilah sebuah kematian yang manawa tangis dari kedua bocah juga Danar sebagai malaikat kecil dari keluarga tersebut. Tanpa sebuah pengakuan resmi pemerintah Danar "mengadopsi" kedua bocah dengan hidup satu atap dengannya.
Tania yang saat itu sudah lulus SD (Sekolah Dasar) mendapatkan bantuan beasiswa ASEAN di Singapura hingga akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa tersebut sampai kuliah di sana juga. Segala cerita inti berpusat sekitar masa dimana Tania berada di Singapura dan Danar di Jakarta bersama adiknya, Dede. Hubungan mereka seperti adik kakak biasanya, walaupun ada batas yang tak kasat mata yakni ikatan darah. Tania semakin gundah dengan perasaanya, terlebih sudah masuk masa puber. Rasa gundah semakin membuncah, namun terganjal karena Danar adalah seorang malaikat kecil penolong.
Tania meraba-raba perasaanya dengan perasaan Daniar yang misterius, apakah dia suka dengannya atau hanya sekedar mencintai layaknya adik dan kakak. Ternyata, dugaan Tania sebelumnya salah yang mengira Danar hanya mencintainya seperti adik kakak. Semua berkat dari Dede yang membuka rubrish bin di laptop Danar, pada file yang dihapus tersebut adalah sebuah novel yang menceritakan kisah cinta beralur seperti kehidupan antara Tania dan dia.
Judul: Daun Yang Jatuh Tak pernah Membenci Angin
Penulis: Tere Liye
Cetakan: Ke-empat, April 2016
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 264 halaman; 20 cm
ISBN: 978-979-22-5780-9
Novel ini masuk ke dalam genre pop remaja dengan segala kalimat syahdu ala Tere Liye, tentunya membuat fansnya terbuai hingga langit ke tujuh. Novel ini sukses dipasaran hingga terjual banyak dan dicetak sampai empat kali pada tahun yang sama (2016). Setting cerita ini berada di kota Depok, Jakarta dan Singapura. Bahasa yang digunakan sederhana dan mudah dimengerti, walaupun ada beberapa kalimat berbahasa Inggris tanpa ada terjemahannya. Karena novel remaja, bahasa yang digunakan juga tak jauh berbeda dengan gaya remaja tahun sekarang ini.
Yang tidak saya sukai dari buku ini dan termasuk buku karya Tere Liya yang berjudul Pulang adalah perubahan nasib yang mendadak dan terlalu cepat! Persis seperti sinetron masa kini yang terlalu mudah ditebak dan membosankan. Perubahan nasib mendadak dari keluarga terlantar menjadi sukses dengan jualan kue bantuan modal dari Danar, anak-anak yang segalanya jadi pintar hingga mendapatkan beasiswa di Singapura dan masih banyak lagi. Rasanya murah sekali jika perubahan nasib terlalu cepat, Cinderella aja mau mampus dulu baru dapat pangeran gagah. Di cerita ini saya merasakan kehambaran dimana rasa sedih saat ibunya meninggal tidak keluar, mungkin karena penggambaran ibu dalam novel ini terlalu sedikit dan singkat. Penggambaran spesifik terhadap Danar yang menjadi objek cinta Tania juga tidak terlalu, sehingga rasanya hambar saja gak ada greget.
Ada adegan bikin aku bingung, maklum saja saya pegawai rumah sakit. Pada halaman 54 saat peristiwa ibunya yang mau meninggalkan dunia, saat itu sang ibu dirawat di bangsal biasa, saat terjadi kegawatan kenapa dipindahkan ke UGD oleh perawat dan dokter? Padahal sudah dirawat di bangsal, kenapa dipindahkan ke UGD. Ini janggal sekali bagiku. Adegan ini saya kira akan hidup jika cerita ibu lumayan banyak disinggung, sehingga muncul rasa kasih dan cinta yang dalam bagi pembaca kepada sosok ibu dalam cerita.
Buku ini menghabiskan waktu sekitar enam jam untuk dibaca, cukup panjang memang. Cukup menghabiskan waktu dalam masa karantina wabah Korona atau Covid-19 yang sedang melanda. Oh ya secara keseluruhan nilai dari buku ini bagiku 2 dari 5, saya pribadi suka dengan alur cerita yang tidak banyak mengalami perubahan mendadak dengan permainan kata, deskripsi yang menyentuh semua Inda dan permainan emosi ataupun intelektual yang cukup dalam. Dan seperti ulyang sudah disebutkan bahwa novel ini rasanya lebih cocok untuk remaja antara SMP sampai SMA. Sekian dari saya!
Komentar