Selama program preventif Pembatasan Sosial alias Social Distancing di akhir Maret 2020 sudah menghabiskan lima buku sekaligus hasil pinjaman dari Riswan Munandar. Setelah semua dibaca dan dibuat ulasan yang diketik di aplikasi Google Document dan siap diunggah, ternyata lupa tidak disimpan atau save dan hilang semua ulasan yang diketik. Syukurlah semangat untuk menulis ulasan masih ada, dan sekarang kembali.
Buku yang saya pinjam hampir setengahnya berupa novel, termasuk buku yang diulas ini. Novel berjudul Ayah - Menyayangi Tanpa Akhir karya Kirana Kejora. Novel ini cukup tebal dan mempunyai ukuran cukup besar bagi tanganku, jadi kalau dibawa kemana-mana kurang parktis. Berdasarkan informasi di jilid buku, bahwa cerita dari novel tersebut diambil dari kisah nyata. Sebelumnya ini anatomi dari novel yang ada di tanganku:
Judul: Ayah - Menyayangi Tanpa Akhir
Penulis: Kirana Kejora
Penyunting: Budi Darmawan
Cetakan: Ke-9 tahun 2013
Dimensi: 14x21 cm, 372 halaman
ISBN: 978-620-7735-46-0
Penerbit: Zettu
Kisah ini adalah penggambaran seorang ayah yang amat kesepian dan terpukul atas kematian istrinya, dan berlanjut pada kematian anak semata wayangnya. Pukulan ini membuat seorang ayah terlalu jatuh pada sebuah lembah kesepian dan stress yang cukup mendalam. Novel ini beralur mundur, diawali dengan cerita sang ayah (Juna) memberikan sumbangan untuk anak-anak panti asuhan untuk sebuah ulang tahun anaknnya yang sudah almarhum. Cerita masa lalu terurai dalam perjalanan meninggal panti asuhan, tempat perayaan ulang tahun.
Arjuna (Juna) adalah seorang mahasiswa jurusan farmasi di salah satu universitas di Yogyakarta, bertemu dengan Keisha Mizuki (Keisha) seorang mahasiswi Jepang jurusan antropologi yang sedang belajar di universitas di Yogyakarta. Berkat jalinan antar teman mereka bertemu hingga saling jatuh cinta dan menikah, kisah cinta mereka tidak direstui oleh kedua orang tua baik dari pihak Juna yang mempunyai hubungan dari pihak keraton dan juga pihak keluarga Keisha di Jepang.
Percintaan Juna dan Keisha tidak terekspos terlalu banyak, hanya sekilas-sekilas saja hingga lahirnya Mada dari rahim Keisha. Keisha meninggal akibat pendarahan hebat saat melahirkan Mada. Setelah Keisha meninggal, Juna merawat Mada hingga remaja dengan bantuan dari asisten rumah tangga yang setia. Cerita bergulir sekitaran antara Mas dan Juna sebagai anak dan ayah yang digambarkan begitu penuh kasih sayang, kehidupan yang cukup dan nasib yang selalu baik. Cerita ini berakhir pada sebuah kematian Mada yang diakibatkan oleh kanker otak stadium empat.
Puncak cerita atau klimaks dari cerita ini entah dimana, apakah di kehidupan antara Juna dan Mada, kematian Keisha atau kematian Mada. Cerita ini saya pikir lebih dikhususkan pada pembaca remaja, daripada orang dewasa. Dilihat dari jarak (spasi) menggunakan satu setengah atau dua spasi seperti sebuah karya ilmiah. Ukuran huruf juga lumayan besar (13-14) sehingga buku yang jumlah halaman 372 bisa dibaca dalam rentang waktu lima jam saja.
Bahasa yang digunakan di novel pada umumnya bahasa Indonesia, namun banyak juga menggunakan bahasa Jawa, Inggris dan Jepang. Kurang enak saja bahasa Jawa, Jepang dan Inggris yang dipakai ada beberapa tidak mempunyai terjemahan, ini bisa menggagalkan sebuah cerita karena bahasa yang tidak dimengerti oleh pembaca. Penulisan bahasa Inggris beberapa juga ada yang salah seperti Parasut ditulis parasit, Bed Cover ditulis Bad Cover, Singapura selalu ditulis Singapore, Kanada juga ditulis Canada.
Membaca novel ini serasa seperti membaca sebuah cerita pendek alias cerpen. Banyak tokoh yang nyelonong masuk, tanpa perkenalan terlebih dahulu. Perubahan nasib dari tokoh seperti sebuah sinetron yang tiba-tiba mendadak dan gemilang, terasa murahan. Kematian Keisha dan Mada tidak memberikan rasa sedih bagiku karena keterkaitan emosi tidak masuk berhubung penceritaan sebelumnya terlalu singkat dan tidak ada gambaran yang begitu intim. Satu paragraf yang bikin tersentuh, di mana Juna bertemu tanpa sengaja dengan Mbok Ngatinah yang dulu selalu membantunya, rasanya saya tersentuh sekali. Lagi-lagi logika muncul dimana Juna memberikan amplop berupa uang lima juta rupiah, cukup aneh juga kalau dipikir pertemuan yang tidak direncanakan, tapi sudah ada amplop yang berisi lima juta. Amplop isi lima juta dengan pecahan Rp 100.000 apa muat? Tapi mungkin juga pake amplop bank yang warna cokelat, tapi disebutkan amplop putih tebal.
Paling sebal dari novel ini adalah selalu menyebutkan merek-merek terkenal dunia, tipe-tipe dari sebuah barang ataupun mobil, ini rasanya membaca sebuah brosur penawaran barang. Bukan soal barang saja, tapi banyak penjelasan panjang yang menurutku menghilangkan sebuah cerita. Penjelasan panjang ini seperti penjelasan filosofi wayang, tempat wisata, wedhang uwuh, candi-candi dan yang lainnya. Pikirku lebih mirip dari sebuah rangkuman pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), berhubung bagiku novel ini untuk remaja tak ada salahnya karena akan menambah wawasan dari pembaca remaja.
Penasaran terakhir nih, di cerita Mada remaja bercerita soal mimpi basah yang dialaminya semalam kepada bapaknya, Juna. Hmmm kira-kira remaja umur 14-15 tahun seterbuka itukah ke bapaknya? Dan si bapak diceritakan menjelaskan dengan jelas bagaimana proses mimpi basah itu terjadi. Rasanya aneh juga ya remaja laki-laki cerita mimpi basah ke ayahnya, jarang terjadi memang tapi namanya cerita. Kalau remaja perempuan cerita soal haid pertama kayaknya sudah biasa ya.
Novel ini nampak sukses di pasaran, lihat saja pada tahun 2013 sudah dicetak sampai sembilan kali. Luar biasa, mungkin pembaca remaja saat itu banyak yang borong novel ini. Satu prestasi yang luar biasa selain penjualan buku adalah pembuatan film pada tahun 2015 dengan judul yang sama dan dibintangi oleh Fedi Nuril, Naufal Azhar dan Kelly Tandiono.
Komentar