Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Alkisah Plesiran Jauh

Gapura Makam Di Kotagedhe - Yogyakarta

Alkisah, pada suatu hari dimana usiaku masih tergolong berwangi kencur. Berbagai hasrat menggebu disetiap apa yang dipikirkan dalam nafsu entah nafsu syahwat maupun nafsu lainnya. Gelora muda, darah muda, semangat muda dan sebutan lainnya untuk seumuranku saat masih cupu di SMA, 2008. Naluri untuk solo traveling sudah ada sejak saat saya SD, dimana ayahku selalu membawa ke tempat jauh terutama ke Cilacap, Jawa Tengah. Meski mempunyai keberanian besar untuk plesiran ke daerah lainnya, saya sendiri belum bisa berbuat banyak karena uang masih disubsidi dan punya waktu sedikit.

Tekad bulat ditambah uang yang cukup, saya memberanikan diri untuk solo traveling ke Yogyakarta dan Surakarta. Rencana solo traveling sudah sejak kelas satu SMA, namun terealisasi saat libur semester pertama kelas 2. Perjuangan untuk solo traveling pertama bagi saya cukup berat terutama hal keberanian dan juga dengan finansial. Selama setengah tahun lebih mengumpulkan koin-koin serta kertas bernominal rendah saya kumpulkan hingga mempunyai besaran Rp 300.000 lebih. Saya pikir cukup sekali untuk melakukan plesiran sendirian ke dua kota. Saat itu nominal Rp 300.000 sudah termasuk lumayan banyak terutama untuk biaya makan dan transportasi. Saya sendiri memilih kereta ekonomi untuk mencapai kota tujuan. 

Kereta ekonomi memasuki stasiun Kutoarjo

Asumsi pembiayaan yang saya buat dengan nominal yang terkumpul saat itu. Perjalanan pulang-pergi dengan kereta ekonomi Rp 100.000. jadi masih ada sisa Rp 200.000. uang sisa belum saya rencanakan untuk apa dan harus buat apa, yang saya ingin hanya berkeliling kota saja sambil menikmati suasana. Maklumlah perencanaan anak ingunsan saat itu masih kacau balau.

Libur semester pertama sudah melewati waktu seminggu jadi masih ada sisa seminggu lagi, rencana itu mesti terlaksana minggu ini. Kapan lagi bisa plesiran sendirian dengan jarak yang lumayan jauh. Izin orang tua diterima dari kebohongan besar yang dibuat, maklumlah masih kencur pasti orang tua khawatir penuh. Berbekal 'lisensi' perjalanan ke rumah teman, saya berangkat ke stasiun saat pagi hari diantar saudara dengan sepeda ontel sampai ke jalan nasional dan berlanjut dengan angkot hingga stasiun Banjar.

Kalung etnik yang saya beli

Pemesanan karcis kereta dilakukan secara langsung, orang sekarang bilang go spot, maklumlah dulu belum berkembang reservasi online ataupun melalui telpon. Harga karcis yang saya beli sesuai dengan perkiraan yakni sekitar Rp 50.000 untuk perjalanan dari stasiun Banjar sampai ke Solo Jebres. Kalau tidak salah kereta yang saya gunakan hanya sampai Sragen ataupun kota di Jawa Timur seperti Madiun. 

Pengumuman dan suara denting bell stasiun yang khas menggema mengabarkan ke para penumpang, pedagang maupun petugas untuk bersiap diri untuk menyabut kereta yang datang dari arah barat. Di ujung barat tampak kepala kereta dengan semburan asap dan beberapa bunyi klakson kereta, saya bersiap diri. Tas gendong yang saya bawa cukup besar dan membuat pundak terasa pegal, isinya memang cukup banyak maklum saya rencanakan plesiran dalam tiga hari. Jaket tebal, beberapa set pakaian dan perbekalan saya bawa hingga memenuhi seluruh bagian tas. 

Brosur yang saya ambil di stand pariwisata

Entah duduk di gerbong dan nomor duduk mana, saya tidak ingat hanya saja ingat duduk bersama beberapa mahasiswa. Perjalanan pertama ini terasa bego sekali, pengetahuan kencur memang masih perlu banyak baca buku dan pengalaman. Beberapa pertanyaan mahasiswa saya jawab dengan kedunguan. "Mas masih sekolah apa kuliah? Tanya mahasiswa perempuan yang duduk di depan muka. "Kuliah, mbak" jawabku. Dia melanjutkan serangan pertanyaan yang sulit dimengerti remaja kencur kampung sepertiku. "Kuliah dimana, fakultas apa?" Buset!!! Pertanyaan macam apa ini, benakku berkecamuk dan otak panas mau jawab apa. "Saya di UGM mbak" jawab ngasal. "Fakultas apa nih?" Pertanyaan yang saya tidak mengerti. Aduh fakultas itu apa artinya ya, Aku pusing. Aku tahu hanya jurusan aja, benakku berkecamuk lebih dalam. "Jurusan IPA, mbak" ucapan bohong yang terlempar dengan begitu dungu. Selanjutnya percapakan terhenti dengan pura-puranya diriku ngantuk dan tertidur. Lama-lama tertidur beneran.

Demi berhemat kertas bernominal semua tawaran makan ataupun minum dari semua pedagang saya tolak mentah-mentah. Membuka bekal makanan yang dibawa dari rumah cukup membuat perut kenyang. Terkadang tetangga bangku termasuk mbak mahasiswa menawari beberapa makanan kepada saya. Bukan menolak rejeki maupun hal lainnya, saya sendiri ingin sekali makan anggur dan beberapa makanan tradisional yang ditawarkan mbak mahasiswa. Saya takut diracun atau dikasih zat tertentu yang membuat harta benda hilang karena penurunan kesadaran.

Halaman dalam brosur disertai dengan peta 

Stasiun demi stasiun terlewati, tak terkecuali stasiun dimana saya sering turun bersama mendiang bapak, untuk berkunjung ke sanak saudara di Kroya maupun Maos. Beberapa stasiun besar terlewati begitu saja, mungkin karena status kereta ekonomi yang tidak bisa berhenti regular di stasiun besar. Tidak ada pengumuman resmi dari pengeras suara di dalam kereta, hanya teriakan pedagang saja yang ramai memberitahukan stasiun yang disinggahi. Beruntung telinga masih sensitive jadi saat tidur masih terdengar suara-suara pedagang itu. Mata kembali terbuka dengan lusuh saat pedagang memekik lantang nama stasiun besar di Purworejo. "Kutoarjo.... Kutoarjo....Kutoarjo....turun...turun..."  Dengan logat Jawa yang kental.

Mulai dari stasiun besar Kutoarjo saya tidak bisa tidur kembali. Mata kembali memandang kaca lebar kereta dengan pemandangan yang selalu berganti begitu cepat. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang susah lagi untuk saya selepas mahasiswa itu turun di stasiun Lempuyangan. Kereta melaju kembali ke arah timur hingga tiba di stasiun Solo Balapan. Wah saya sudah sampai Solo!! Para pedagang kembali berteriak keras "Sepurè mandeg suwe....sapa sing meng Solo monggo mudun!!" Beruntung sekali saya masih orang Jawa yang mengerti apa yang dikatakan para pedagang, jadi saya tidak perlu turun di stasiun Solo Jebres yang lumayan jauh dari destinasi yang dituju.

Alunan musik keroncong menyambut para penumpang yang turun maupun datang di stasiun besar Solo Balapan. Hati terasa membesar penuh kekaguman. Indah sekali penyambutanya, masih menikmati alunan musik keroncong sampai satu dua lagu. Otak saya kembali bingung karena saat itu waktu sudah mendekati magrib. Perjalanan yang tidak ada arah tujuan yang jelas membuat saya terombang-ambing begitu memilukan. Internet saat itu belum popular dan belum berkembang seperti sekarang ini, saya sendiri tidak mempunyai telpon genggam, harga telpon genggam masih mahal bagi keluarga saya, saat itu telepon genggam popular yang dimiliki sebagian teman sekolah seperti Sony Ericsson K750 dan Nokia 7610 yang harganya berkisar 3-4 juta rupiah. Segenap informasi saya dapatkan dari bertanya ke orang-orang yang lewat.

Banyak sekali orang yang baik menghampiri, entah karena iba melihat anak muda lontang-lantung dengan tas besar ataupun melihat wajah saya yang kusut karena belum mandi sore. Orang baik pertama menjumpai saya ketika selepas solat magrib di sebuah mushola yang berbatasan langsung dengan gereja, lokasi tidak begitu jauh dari stasiun. Bapak berjubah putih mengantarkan saya ke jalan Slamet Riyadhi yang terkenal itu. Beberapa kali ucapan terima kasih keluar dari mulutku. Capek, letih dan lapar kondisi saat berjalan-jalan di jalan Slamet Riyadhi. Mencari makanan tradisional.

Bahasa Jawa saya dengan Surakarta jelas berbeda jauh, saya ngapak/ngoko sementara Surakarta menggunakan bahasa Jawa Madya ataupun Inggil yang halus menurut Kami. Perbedaan besar itu membuat saya agak susah memahami apa yang mereka katakan. Sempat linglung saat mau makan tempe penyet, pesanan sudah diantar ke depan meja makanku. Dalam hati "mana tempe penyet?" Saya sedikit bingung dan tanya mana tempe penyetnya. Sang pedagang ketawa sedikit keras dan bilang "Mas, iku tempe dipenyet-penyet", Ya Tuhan saya lupa kosa kata itu.

Kadang dipakai, tapi terlalu norak

Energi masuk begitu cepatnya dalam tubuh cekingku. Alhamdulillah wareg. berjalan kembali menuju ke arah alun-alun Keraton Surakarta, sesuai dengan petunjuk yang disampaikan bapak yang membonceng saya ke jalan Slamet Riyadhi. Dia menyampaikan bahwa di Keraton sedang ada acara besar. Saya sendiri lupa nama jelas dari pameran tersebut tapi yang jelas isi pameran memperlihakan aneka kain batik, destinasi-destinasi wisata dan berbagai macam suguhan musik keroncong. Beberapa brosur saya bawa sebagai petunjuk perjalanan di kota ini, sangat senang sekali melihat peta dan penjelasan cukup lengkap tentang wisata di kota Solo. Tangan kembali mengambil beberapa brosur pariwisata yang diberikan gratis oleh stan pariwisata kota Surakarta.

Berkali-kali hati berdegup karena rasa kaguman terhadap batik, budaya Jawa, gamelan dan keroncong yang ditampilkan pada pameran itu. Sederet agenda wisata tertulis di brosur itu, baru paham acara malam ini adalah festival keroncong! Panatas saja sepanjang jalan di Slamet Riyadhi dan kawasan lainnya terdapat group musik keroncong yang langsung bermain musik di depan umum. Berbagai jenis kerajinan tangan membuat saya ingin menbelinya terutama kalung, gelang dan pernak-pernik lainnya. Saya sempat membeli dua kalung yang terbuat dari batok kelapa berbentuk simbol Ying Yang, satu motif yang satu-satunya saat itu, kalau tidak salah harganya Rp 15.000-20.000 cukup mahal memang. Kalung jenis lainnya saya beli yakni yang terbuat dari bahan tikar tradisional. Unik memang. Sampai saat ini kalung itu masih ada, sementara kalung Ying Yang saya berikan ke sahabat terbaik di Bali tahun lalu (2017).

Malam itu Solo sangat ramai oleh pengunjung maupun warganya yang sangat bahagia karena banyak agenda pariwisata digelar. Sampai malam para pengunjung masih padat saja. Saat saya duduk menikmati suguhan musik keroncong, beberapa kelompok siswa asal Jakarta mendekat dan berbual sedikit. Lagi-lagi rasa iba melihat kondisiku dia dan temannya memberikan berbagai macam makanan termasuk jagung rebus. Sebenarnya saya menolak semua yang mereka berikan, demi menghargai mereka saya ambil satu jagung rebus saja. Sempat dia memberikan akun firendster. Saya sendiri belum hafal benar apa itu friendster, wajar koneksi internet di sekolah leletnya minta ampun. Bayangkan saat saya membuka website Radio Singapura internasional www.rsi.com.sg memerlukan 20 menit. Saya sendiri baru berkenalan dengan internet jadi masih bego banget lah.

Bingung sekali saat acara mulai bubar, kemana saya akan pergi dan menginap?! Tanpa pikir pusing saya hanya berjalan ke arah stadion. Berjalan dan berjalan Di tengah malam yang masih  rame oleh pemuda yang menikmati tengah malam. Tampak beberapa pemuda dan orang tua tertidur di jalanan, beberapa orang mabuk dan ketawa-ketiwi. Kaget dan sedikit takut jika harta saya diambil orang jahat. Berjalan terus hampir mendekati pos polisi. Saya pikir dekat dengan pos polisi membuat keamanan terjamin. Laju motor bebek mendekati saya, seorang setengah baya berkumis tebal mendekati saya dan bertanya-tanya.

Bapak berkumis tebal itu nampak baik hati, berbual hingga berbusa menutupi mulut-mulut yang takkan menyatu. Bapak berkumis mengajak saya untuk menginap di rumahnya yang tak jauh dari lokasi. Kepolosan demi kepolosan membuat kepala mengangguk untuk tanda setuju. Saya dibawanya dengan motor bebek cukup kencang. Entahlah saya dibawa kemana. 

Dipersilahkan saya untuk tidur terlebih dahulu. Berbagai mimpi buruk menghampiri dan membuat ujung jalan lurus menjadi kekacauan dan kehinaan. Terbagun karena sinar pagi hari, Aku bingung mau kemana lagi. Saya minta untuk diantar ke stasiun Solo Balapan, saya mau ke Jogja. Dia memberikan nomor telpon tanpa saya tulis karena percuma tidak ada fasilitas telpon di. rumah.

Kereta pramek dengan harga karcis sekitar Rp 5000-8000 mengantarkanmu saya ke Jogja. Siang itu sampai sudah di stasiun besar Yogyakarta Tugu. Berjalan kembali dengan kerisauan mimpi buruk semalam, termenung takut dan perasaan lainnya. Di Yogyakarta saya tidak bisa menikmati semua keindahan yang disediakan. Waktu duhur datang, saya yang masih bertuhan pergi ke Masjid Agung Keraton Yogyakarta. Berdoa dan berdoa. 

Kecamuknya hati dan otak membulatkan untuk membeli karcis pulang. Semua rencana untuk mengunjugi setiap sudut Yogyakarta batal. Hanya mengunjugi Masjid Keraton saja dan jalan Malioboro. Saya tidak menyesal, ini adalah keputusan yang mesti diambil. 

Kejadian lucu, unik dan begitu bodoh saat perjalanan pulang dimana saya salah masuk kereta saat di stasiun Kutoarjo. Saya sendiri menggunakan prameks untuk pergi ke Kutoarjo, ya di stasiun besar Yogyakarta Tugu tidak menyediakan kereta ekonomi. Karena tidak ada peta saya tidak tahu jarak antara stasiun Yogyakarta Tugu dengan stasiun Lempuyangan. Saya langsung memesan karcis prameks untuk pergi ke Kutoarjo. Sampai di stasiun Kutoarjo, saya harus menunggu lama kereta ekonomi yang akan membawa saya ke stasiun Banjar. Sekitar jam 10 malam saya dan dua penumpang lainnya jurusan Bandung menaiki kereta, tanpa mengetahui nama kereta. Awal masuk tidak sadar bahwa kereta yang ditumpangi adalah kereta eksekutif dan bisnis. Pantas saja tempat duduknya satu-satu. Saat itu hampir semua penumpang adalah TNI, entah dari mana mereka. Kereta berjalan cepat!.

Tiba-tiba petugas menghampiri saya dan dua orang lainnya. Petugas menginformasikan bahwa kami salah masuk kereta. Kami bertiga dibawa petugas ke gerbong paling belakang, gerbong makan. Petugas akan menurunkan saya di stasiun selanjutnya. Sempat syok juga dan takut karena menurut cerita yang beredar orang bisa diturunkan di tengah jalan jika salah masuk kereta. Satu penumpang lainnya memberanikan diri untuk menyelinap bersama para anggota TNI dan pura-pura tidur. Sementara saya dan seorang gadis diturunkan di stasiun Kebumen. 

Di stasiun Kebumen kami berkenalan, kalau tidak salah perempuan itu mahasiswa atau seorang karyawan swasta. Dia hanya mengenakan kaos saja dengan tas kecil yang dia bawa. Menunggu kereta ekonomi sesuai karcis sangat lama. Petugas menginformasikan bahwa kereta datang pada jam 1 dini hari tapi ternyata molor sampai jam 2. Selama pengunaan beberapa laki-laki lanjang mendekati kami dan berkenalan. Hingga sampai dalam kereta Kami masih bersama. Sang perempuan lajang itu mengatakan bahwa tubuhnya kedinginan Karena tidak membawa jaket. Langsung saja si lelaki lajang dewasa memberikan jaketnya, mereka tampak akrab dan lama-lama mereka berpelukan dan tenggelam dalam sebuah pelukan intim. Aku pun tertidur.

Kalung Ying Yang yang pernah kubeli

Subuh hari terlewati tanpa adanya peribadatan. Saya acuh terhadap tanggung jawab itu. Masih lemas dan merenung hingga akhirnya kereta sampai di stasiun Banjar. Masih tampak pagi Banjar kala itu, kabut pagi memutih seperti asap. Tidak ada angkot 07 yang lewat untuk menarik penumpang, terlalu pagi!. 

Bersyukur sekali plesiran pertama tanpa teman, pulang dengan selamat walaupun banyak sekali rasa kehidupan yang saya makan saat itu termasuk hal yang sangat pahit. Karena tidak mempunyai kamera saya tidak mendokumentasikan semua perjalanan, hanya beberapa brosur dan kalung sebagai kenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...