Suramadu
Pernah berkeinginan untuk melintasi atau menyebrang selat Madura dengan jembatan, dan akhirnya semua terjadi pada akhir tahun 2016 lalu. Fery namanya, arek Suroboyo bekerja di Kalimantan Timur sedang pulang ke kampung ke Surabaya. Dia menantang saya untuk bertandang ke Surabaya dan menjajal menyebrang selat Madura lewat jembatan Suramadu yang terkenal itu. Berfikir panjang sebenarnya menerima tantangan itu, duit di saku memang sudah tidak tebal lagi, tapi sampai kapan memendam 'ngidam' ke Madura?!.
Senja Di Suramadu - Bangkalan |
Tiket kereta Pasundan hanya Rp 96.000 bolak balik Rp 192.000 dihitung dengan lainnya bisa kayaknya habis Rp 500.000. Perkiraan tersebut mengacu untuk segera membeli karcis kereta beserta oleh-oleh sebagai 'upeti' untuk tuan rumah. Persiapan semua sudah matang, tuan rumah sudah menanti. Wah senangnya bisa plesiran lagi! (ngenes duit).
Singkat cerita, rencana hari itu ke pulau Madura. Perjalanan dari bilangan Mastrip ke jembatan Suramadu sekitar 1 jam lima menit, hitungan itu sudah termasuk kemacetan di setiap sisi Surabaya. Beruntung saat itu langit Surabaya tidak terlalu terik bahkan banyak gumpalan awan. Syukurlah. Berjalan menembus jantung Surabaya hingga bibir pesisir Surabaya di utara. Berbagai pemandangan khas kota sibuk, mulai dari kemewahan bangunan megah hingga pemukiman kumuh di sudut kota, sesuatu yang komplek dan wajar di setiap kota besar.
Sedikit Pose |
Memasuki wilayah jembatan Suramadu tampak lebar badan jalan dengan lampu-lampu penerangan jalan yang tertanam di pinggir kiri kanan jalan. Wah rasanya tidak sabar lagi untuk menyebrang jembatan ini. Beberapa gardu pembayaran tersedia seperti di jalan toll, Tapcash BNI saya keluarkan untuk membayar jasa penyebrangan. Tapi ternyata gardu pembayaran tidak berfungsi dan bahkan tidak ada petugas yang berjaga. Usut punya usut toll jembatan Suramadu sudah dibebaskan dari segi biaya kepada para pengguna jasa penyebrangan. Wah sesuatu yang luar biasa. Dengan pembebasan biaya saya pikir akan 'membakar' ekonomi kedua kota/pulau yang terhubung.
Jembatan Suramadu dinamai dari kedua tempat yang dihubungkan yakni SURAbaya dan MADUra. Jembatan ini dibagun sejak 23 Augustus 2003 dan selesai pada tanggal 1 Maret 2009 dan digunakan pada 10 Juni 2009. Panjang jembatan ini 5. 438 meter dan lebar 30 meter, dengan lebar cukup panjang sehingga mempunyai 8 lajur hingga mempunyai jalur khusus untuk sepeda motor. Lajur sepeda motor berada paling sisi dari jembatan jadi mesti hati-hati saat angin laut kencang. Awalnya jembatan ini berbayar karena di kelola oleh Jasamarga tapi saat saya kesana sudah tidak berbayar lagi.
Pengaman Besi Tua Kapal |
Suramadu, bagi saya sangat keren sekali dan pantas menjadi sebuah objek untuk menghibur diri dari kepenatan. Lampu-lampu jembatan menghias saat petang hari ditambah kelip lampu dari perahu nelayan. Wah sangat luar biasa indah. Saat itu memang lampu warna-warni tidak dinyalakan, mungkin hanya hari tertentu saja. Walaupun demikian kecantikan Suramadu tidak terkalahkan. Saat pulang menuju Surabaya, saya sempatkan diri untuk menikmati matahari terbenam dengan kelap-kelip lampu di Suramadu.
Bukit Kapur Jeddih
Bangkalan dan Surabaya seakan satu pulau karena akses yang mudah tanpa harus menyebrang menggunakan ferry ataupun transportasi laut lainnya. Ya dulu sebelum adanya Suramadu Bangkalan dengan Madura terasa sangat jauh menurut penduduk Surabaya. Ya wajarlah dengan menunggu ferry satu jam saja orang akan malas untuk bolak-balik Madura - Surabaya. Bersyukur adanya Suramadu.
Dari Puncak Bukit Jaddih |
Rawa dan sawah-sawah membentang sepanjang sisi jalan, bangau putih melayang, hinggap dekat pembajak tradisional dan terbang lagi ke arah lainnya. Pemandangan dan atraksi menajubkan! Saya tidak sempat memotretnya, Fery sangat kencang sekali mengendarai motornya. Kota Bangkalan semakin mendekat dan mendekat, kerumunan orang, kesibukan tampak di sudut manapun di kota kecil ini. Cukup kagum dengan Bangkalan yang bersih dan rapih terutama di komplek pemerintahan seakan membawa saya ke zaman kolonial.
Fery memberi saya dia pilihan untuk berkunjung ke bukit Jaddih atau ke bukit Arosbaya, kedua tempat itu memang tempat wisata buatan dari hasil pertambangan batu kapur oleh masyarakat sekitar. Bukit itu juga masih berlangsung kegiatan pertambangan, lumayan ngeri juga saat berwisata banyak kendaraan besar proyek pertambangan lalu lalang. Karena Arosbaya cukup jauh dan tidak menjangkau tempat-tempat menarik lainnya di Bangkalan, akhirnya saya pilih ke Bukit Jaddih yang lumayan dekat.
Selalu Sendiri |
Memasuki wilayah wisata bukit Jaddih, Kami diminta oleh oknum warga yang menarik uang Rp 2000-3000. Risih juga sih walau uang tidak seberapa tapi karena dia 'Pak Ogah' jadi males rasanya. Tiket resmi masuk wilayah ini sekitar Rp 5000 kalau tidak salah. Cukup murah untuk menyaksikan keindahan di bukit Jaddih. Apa yang bisa dinikmati di sini?? Di sekitaran bukit Jaddih ada beberapa titik yang bisa dinikmati misalnya waterboom ataupun kolam renang, kolam biru bening, gua-gua dan bukit kapur sendiri. Dari beberapa titik yang paling terkenal di kalangan anak muda terutama pengguna Instagram saat itu adalah kolam biru bening. Untuk memasuki kolam biru bening ditarif Rp 5000 perorang. Untuk menaiki rakit Ada tarifnya sendiri. Saya sendiri hanya bisa menyaksikan dari atas saja, beruntung saya tidak ditarik tiket karena lama ngobrol dengan penjaganya. Beruntung!
Motor bisa sampai dibawa atas perbukitan, boleh saja jalan kaki tapi lumayan jauh dan nanjak. Di atas sana pemandangan sekitaran Bangkalan terlihat, selat Madura pun terlihat. Sungguh cantik! Jangan lupa saat traveling di sini bisa membeli beberapa jajanan di warung sambil berbicara adat budaya setempat. Khawatir, setelah membaca amaran yang ditulis di sebuah kertas yang menggantung di warung. Isi amran itu adalah " Awas Begal! Jangan pulang terlalu larut malam, jangan lewat jalan sepi sendiri, jika dibegal hubungi bapak Xxxx dengan nomor Xxxx" begitulah kira-kira isi amaran tersebut. Saat itu memang rawan begal, saya pun bertanya akan kebenaran tersebut. Dan penjaga warung pun mengamininya. Cukup waspada saja.
Kolam Biru Bening Jeddih |
Awan tebal telah melahirkan hujan yang cukup romantis saat itu, sayang saya bersama laki-laki jadi kata romantis tidak biasa keluar! Beruntung senjata utama saat musim hujan selalu dibawa. Merasa bersyukur sih, kasian juga anak-anak sekolah yang hits itu baru datang tapi sudah kehujanan. Lapar melanda perut kami yang sebelumnya hanya diisi oleh beberpa lembar roti tawar beserta selai. Tersadar bahwa makanan favourite saat hidup di Bekasi adalah bebek Madura. Kesempatan ini juga tak saya lewatkan. Segera tarik gas Mang.......
Kolam Renang Bukit Jaddih Dari Atas |
Olahan Bebek Istimewa
Rumah makan yang tenar itu dipinggir jalan raya dan suasana parkir cukup penuh oleh kendaraan roda empat maupun roda dua. Sampai-sampai ruang parkir diberi batas dengan tali rafia. Warung makan itu cukup sederhana dengan dinding setengah terbuka. Fasilitas yang tersedia seperti mushola juga ada. Warung ini menggunakan tempat duduk seperti rumah makan sederhana lainnya. Pemesanan bisa langsung ke dapur yang ada di depan. Di situlah para juru masak terlihat sibuk mempersiapkan pesanan.
Bagi saya bebek Madura adalah kenikmatan tersendiri. Tidak jauh beda sih rasa antara bebek Madura di Bangkalan maupun di Jakarta maupun Bekasi. Enak....enak.... Untuk harga cukup terjangkau.
Mercusuar Bangkalan
Masih banyak waktu yang ku punya. Bingung mau kemana lagi. Kupikir pulau Madura kecil bisa dikelilingi sampai sehari saja ternyata tidak! Penginya sih ke Sampang ataupun Pamekasan. Tapi sudahlah pilih yang dekat-dekat saja. Lokasi Bebek Madura Sinjay tidak jauh dari mercusuar, kira-kira sekitar 15 Km kalau ditempuh dengan sepeda motor menghabiskan waktu 26 menit saja. Jalan menuju mercusuar begitu mulus dan rata-rata lurus. Sepanjang jalan akan dimanajakan oleh beberapa hutan bakau dan empang-empang untuk ikan.
Mercusuar Bangkalan |
Mercusuar Bangkalan ini tentunya warisan dari pemerintahan kolonial dulu. Menurut plakat yang tertempel di mercusuar dibangun tahun 1879 Yang diminta oleh Z.M Willem III untuk keperluan navigasi di wilayah selat Madura. Petugas tidak ada di sana mungkin sedang libur jadi saya tidak bisa naik ke atas mercusuar yang tingginya 65 meter. Karena tidak bisa masuk ke atas mercusuar, perjalanan kami lanjutkan kembali ke Surabaya. Sepanjang perjalanan saya sangat menikmati sekali susana aktivitas penduduk lokal terutama nelayan dan para pekerja yang membongkar besi tua sebuah kapal besar.
Semoga bisa kembali ke Madura lagi!
Salaam.
Salaam.
Komentar