Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Berburu Puncak Para Dewa

Mahameru, Puncak Para Dewa

Jakarta - Malang

Sudah hampir dua tahun yang lalu  (2016) tapi baru kali ini menyempatkan diri untuk menulis sejarah manis itu. Pertama kali days mendapatkan informasi tentang acara camping di gunung Semeru dari By Fadlun, teman plesiran bareng. Mbak Esti juga mendukung saya untuk ikut nanjak Semeru, ya dia juga ikutan. Grup WhatsApp telah dibuat sebelumnya dan saya menjadi anggota kesekian, cukup rame juga saat itu mungkin ada lebih kurang 25 orang. Pertemuan diadakan untuk mempersiapkan semua keperluan di sana, kami sepakat untuk berkumpul di parkir Monas. Hampir 15 orang yang hadir saat itu saya tidak hafal nama masing-masing karena belum kenal sekali tapi yang saya ingat saat itu Ada adalah Gotit, Mbak Esti, Arni, Abim, Yudha, dua Ardi. Itu yang saya hafal. Saya sendiri belum mengatakan siap untuk bergabung karena belum dapat izin cuti!

Seminggu berlangsung begitu cepatnya, keberuntungan menghampiri saya, izin cuti untuk 4 hari, Puji Tuhan!! Persiapan demi persiapan dilakukan demi nanjak puncak Jawa, mulai dari olahraga rutin dan pembelian peralatan untuk berkemah. Semangat bara!!! Untuk memperlancar perizinan diperlukan beberapa surat keterangan misalnya saja Surat keterangan sehat dari dokter, tentu saja saya sebagai karyawan sebuah rumah sakit dengan mudah membuatnya, kali dengan sengaja saya membuat untuk semua teman-teman. Izin dari orang tua di kampung halaman adalah suatu kewajiban, pesan singkat SMS dikirim ke nomor orang tua. Perasaan legs setelah memberi kabar kepada mereka.

Suasana Dalam Kereta

Jumat menjelang siang di pertengahan bulan Augustus 2016, saya berangkat membawa bekal sekulkas. Perjalanan dengan KRL (Kereta Listrik) dari stasiun Bekasi ke Pasar Senen, Jakarta. Transit di stasiun Jatinegara untuk berganti kereta menuju stasiun Pasar Senen, kereta yang ditunggu lama sekali datangnya. Pengumuman dari pengeras suara menyarankan kepada para penumpang jurusan Pasar Senen untuk menggunakan moda transportasi lainnya karena terdapat keterlambatan kereta. Ku pikir gak lama, saya tunggu ternyata lama sekali. Khawatir ketinggalan kereta, langsung pergi saja dari stasiun Jatinegara mencari ojek online. Aplikasi ojek online belum terpasang di telpon genggam pintar saya. Serasa rusuh!!! Panik!!! Jaringan jelek pula. Ya Tuhan!

Solusi akhirnya keluar dimana sang ojek online mahu mengantarkan saya tanpa aplikasi asal dengan ongkos yang lebih dari aplikasi. Saat itu dia menawarkan Rp 15.000, saya sepakat! Kecepatan motor ditambah untuk mengejar waktu boarding kereta. Dag..dig..dug rasanya terlebih jalan padat karena orang-orang keluar kantor untuk ibadat sembahyang jumat! Ya Tuhan!!!! Tukang ojek memberikan yang terbaik tepat 15 menit sebelum keberangakatan, saya tiba di stasiun Pasar Senen. Kesemrawutan penumpang kereta di Pasar Senen bagai neraka penuh orang yang akan disiksa, panas dan berjubel. Was-was kembali muncul ketika saya belum check in di mesin mandiri yang letaknya agak jauh dari pintu keberangakatan. Lari !!!! Dan antri kembali rasanya ingin banting yang ada dan berteriak aaaaaa...... 

Akhirnya tiket tercetak dengan benar. Pengumuman keberangakatan kereta Jayabaya selalu didengungkan oleh petugas. Sepuluh menit tersisa untuk saya menaiki kereta tersebut. Lari sekencang-kencangnya menuju pintu keberangakatan. Kartu identitas berada di dompet dan saya letakan paling bawah, ya Tuhan ujian apa lagi ini.... Dengan sabar petugas menunggu saya mengambil kartu identitas sebagai tanda resmi penumpang. 

Keceriaan Bersama 

Perasaan lega saat memasuki kereta Jayabaya. Keringat dingin bercucuran di kening. Betapa tidak repot dan khawatirnya! Semenit setelah naik kereta, kereta mulai bergerak meninggal stasiun terpadat di Jakarta, Pasar Senen. Perjalanan panjang melalui rute utara Jawa melintasi stasiun Cirebon, Tegal, Pemalang, Semarang, Cepu hingga Surabaya dan berakhir di stasiun Malang.

Kereta ekonomi memberikan pengalaman menarik bagi saya untuk bersosialisasi dengan masyarakat menengah kebawah, bertukar cerita ataupun bertukar makanan. Teman sebangku saya seorang perempuan berkerudung yang akan menunaikan tugas di Surabaya. Dia juga traveller yang selalu berkeliling kepulauan Nusantara. Banyak sekali ilmu yang saya dapat dari dia. Selepas stasiun Surabaya Gubeng saya berganti teman bangku, kali ini saya berteman dengan sepasang wisatawan asal Belanda, namanya Knoester Oleg. Dia seorang tukang roti professional dan pecinta kuliner, banyak cerita yang didapat darinya. Sampai sekarang saya masih berteman dengannya di Instagram maupun Facebook begitu pula dengan pasangannya Emeli yang cantik. Sepanjang perjalanan menuju Malang tak sedikit pun kami berhenti berbicara. Mulut saya memang seperti ember pecah! Hahahaha hahahaha.....

Menunggu Di Stasiun

Agak khawatir menunggu/menginap di stasiun, khawatirnya harta benda hilang, maklumlah kamera baru hahahaha. Kekhawatiran hilang karena banyak juga pendaki yang tidur di stasiun, untungnya bangku tunggu tidak ada yang menempati/tidak banyak penumpang yang menunggu keberangakatan kereta. Ya di ujung malam hari tidak ada keberangakatan kereta lagi. Lumayan bisa istirahat dari jam 2 pagi hingga jam 6 pagi.

Ngopi Sambil Menunggu Erwin

Keluar staisun untuk mencari sarapan pagi, saya pilih pedagang Madura yang menjual nasi rames isi daging sapi. Harganya pun super murah Rp 6000 satu bungkus ditambah teh hangat. Usai makan saya berjalan-jalan ke balai kota Malang yang tak jauh dari stasiun. Menikmati detik, menit dan jam untuk menunggu kedatangan teman-teman yang berangkat malam dari Jakarta. Sekitar jam 7:30 pagi, rombongan besar datang terdiri dari 8 orang, sementara seorang lagi (Erwin) masih dalam perjalanan. Erwin menggunakan kereta tengah malam jadi waktu kedatangan sekitar jam 11 siang. Semakin lama saya menunggu! Saya adalah satu-satunya peserta yang datang terlebih dahulu karena tiket kereta yang sudah habis dan tersisa kertas Jayabaya yang berangkat lebih awal. 

Perkenalan untuk kedua kalinya dilaksanakan di taman kafeteria stasiun dimana para pendaki lainnya berkumpul. Kami juga melakukan demikian. Perkenalan satu persatu membuat kami semakin akrab. Pengisian perizinan juga kami isi terutama surat sehat, kali ini saya sebagai pengisi data. Akhirnya yang ditunggu datang! Erwin dengan senyum khas masyarakat Timor datang! Salam kenal kembali Erwin! Tak berapa lama kami menyewa angkot untuk pergi ke base camp.
Pose Bersama Sebelum Ke Base Camp

Berbelanja bekal kembali di pasar tradisional terbesar di lereng gunung Semeru yakni pasar Tumpang. Berbelanja kebutuhan yang belum dibeli seperti telor, beras dan sayur mayur. Saya, Gotit, Aryani dan Mbak Esti sedikit berkeliaran di pinggir pasar untuk membeli jenis apel yang belum pernah kami makan. Apel ini berasa masam, kecil, warna merah hingga merah muda. Rasanya ataupun teksturnya seperti buah jambu bol/tokal.

Disambut Badai

Persiapan sudah lengkap selama di base camp, saya lupa lagi nama lokasinya. Yang pasti di daerah itu banyak sekali perkebunan apel. Jeep merah ala 'penjahat' sudah menghadang kami untuk segara menaikinya. Satu mobil Jeep ini cukup untuk sepuluh orang saja dengan sedikit berdesakan. Dari lokasi base camp sampai pintu gerbang pendakian cukup jauh sekali, kira-kira menghabiskan waktu 1-2 jam. Rintik gerimis mengiringi putaran roda jeep yang tersengal-sengal oleh tanjakan yang tajam. Seperti orang gunung mendaki gunung, seakan tidak ada masalah dalam perjalanan walaupun banyak tanjakan yang tajam serta jalan yang cukup jelek. 

Saya Dan Mbak Esti Di Persimpangan Bromo

Persimpangan menuju jalur Bromo dan Semeru, tampak sangat menawan seperti tanah khayalan yang indah. Kabut lembut melapisi savana-savana hijau di lereng dan tubuh besar sang gunung. Pose kebersamaan telah diciptakan tak lupa seorang wisatawan Belanda mengajak kami untuk foto bersama. Istirahat hanya beberapa menit saja dan langsung menuju base camp utama yakni di Ranu Pane dimana para pendaki mendapatkan penyuluhan tentang pendakian, pendaftaran peserta pendakian dan pemeriksaan terakhir sebelum berangkat nanjak

Hujan besar sempat menyelimuti wilayah Ranu Pane sehingga suhu udara semakin turun hampir mendekati nilai 10-5 derajat celcius. Jaket tebal khas gunung sudah kami pakai sejak persiapan di base camp sebelumnya. Antrean panjang seperti kerubutan semut mulai mereda, kelompok demi kelompok diberikan arahan oleh pihak taman nasional. Arahan-arahan yang sangat berarti bagi semua pendaki terutama bagi saya yang pertama sekali nanjak gunung dengan ukuran tinggi, biasanya hanya ukuran bukit saja hehehehe... hehehehe.


Pose Bersama Di Persimpangan Bromo

Pembekalan usai, kami siap berangkat ke Ranu Kumbolo sebagai  pos utama untuk berkemah. Hujan menyambut dari awal perjalanan, tak ada gentar yang saya rasakan, namun semangat gigih untuk mengalahkan rintangan. Sore hari jam lima, base camp Ranu Pane perlahan-lahan hilang dari pandangan kami. Jauh semakin jauh menuruni dan menaiki badan gunung. Jalan setapak yang licin membuat kami semakin kuat dalam berkordinasi. Pemimpin bergantian dari setiap anggota laki-laki, tugas pemimpin adalah berjalan di depan sebagai petunjuk jalan dengan meneriakan rintangan yang ada di depannya. "Awas ada kayu sebelah kanan.....Awas jurang sebelah kiri.....awas kayu di atas....awas jalan licin dan berlumpur....." Seperti itulah yang kami lakukan untuk menjaga keselamatan para anggota kami.

Kang Ardy Diantara Kerumunan Orang

Suara badai terdengar mengaum bagai singa kelaparan. Hujan kadang berhenti dan kembali ada dengan intensitas berbeda tiap waktunya. Rintangan-rintangan muncul saat badai datang misalnya dengan tanjakan yang sangat licin sehingga peserta perempuan, Ariani tak bisa membawa tas bawaanya karena sangat susah. Bergantian tugas membawa tas Ariani dengan mbak Esti dan Gotit, saya hanya kuat beberapa ratus meter saja. Sang ketua, mas Abim merencanakan untuk mendirikan kemah di bahu jalan ataupun di pos-pos terdekat, namun pos terdekat sudah penuh oleh pendaki lain yang tidak bisa melanjutkan perjalanan. Mendirikan di bahu jalan sangatlah berbahaya bagi keselamatan anggota, jadi mas Abim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai Ranu Kumbolo.

Suara kegaduhan khas manusia terdengar di ujung sana, lampu-lampu tenda tampak kecil dan samar oleh kabut putih. Kegirangan kami rasakan bersama, sudah ingin rasanya cepat sampai di sana. Beberapa kali saya jatuh di jalan yang sangat licin menjadi hiburan tersendiri, begitu pula dengan Gotit, Ariani dan Mbak Esti. Tepat tengah malam, kaki menginjakan di bibir danau tertinggi di pulau Jawa itu, Ranu Kumbolo. Sambutan badai di Ranu Kumbolo membuat kami kedinginan, sampai tangan tampak putih pucat. Khawatir akan serangan hipotermi (kondisi suhu tubuh dibawah normal) dengan banyak bergerak saat membuat tenda tubuh sedikit lebih hangat. Satu tenda rusak karena badai, tinggalah dua tenda saja yang berdiri. 

Bos Lukman Sedang Konsentrasi

Tenda berdiri dan siap dihuni, persiapan kurang matang terjadi pada tas Ariani, dimana isi tas tidak dilapisi plastik sehingga hampir semua barang bawaan basah. Ya Tuhan!!!. Tenda yang berdiri hanya dua saja, untungnya ukuran tenda cukup besar sehingga mampu menampung 4-5 orang. Tenda saya saja yang berisi 4 orang diantaranya Ariani, Gotit, mbak Esti dan saya sendiri. Sebelum memasuki tenda, semua orang mesti ganti baju untuk menghindari hipotermi karena baju yang basah. Tidak ada penghalang apapun ganti baju berjalan normal walaupun di dalam ada laki-laki dan perempuan, setiap kami yang mau ganti harus pergi ke pojok dalam tenda, sementara yang lainnya memalingkan muka ke arah lain. 

Pose Di Ranu Pane

Semua beres dengan ganti baju, tidur dimulai. Posisi saya di tengah dengan Gotit, sementara dua perempuan di pinggir tenda. Gotit dan Ariani satu sleeping bag, ini terpaksa karena tidak ada lagi sleeping bag yang kering. Jangan ditanya kualitas tidur saya?! Sesudah mengatakan siap tidur, alam mimpi saya langsung membuka sebuah cerita mimpi. Dikatakan mbak Esti, saat saya tidur peluk-peluk dia hahahaha.... hahahaha, sementara dia sendiri ketakutan dengan pengalaman magis. Sampai pagi hari dua hanya tidur beberapa jam saja. Sementara saya tidur pulas.

Harapan Dan Kehangatan 

Keakraban mulai terasa saat pagi hari, dimana teman-teman berkumpul satu padu untuk memasak. Lukman sebagai wakil ketua memasak bersama saya. Berbagai banyolan keluar dari mulut yang iseng. Foto-foto yang unik tercipta di momen ini. Badai ternyata kembali lagi saat itu tak berselang lama cuaca menjadi normal kembali. Perjalanan dilanjutkan kembali.

Ranu Kombolo Yang Damai

Mitos yang beredar bahwa dimana seseorang tidak melihat ke bawah saat nanjak tanjakan cinta, maka cintanya awet! Saya mencobanya bukan soal awet cintanya tapi leher yang pegal dan kejenuhan dalam nanjak. Memang tanjakan ini super sekali. Banyak pendaki yang ngos-ngosan dibuatnya. Saya menjadi orang pertama di rombongan yang sampai di atas tanjakan. Wah!!!. Hadiah terbaik dari tanjakan adalah hamparan savana, tempat itu dikenal dengan Oro-oro Ombo dimana banyak pohon seperti lavender tumbuh di seluas mata memandang. Indah sekali. 

Beberapa titik pos kami lewati dan beberapa kali istirahat seperti di pos Cemoro Kandang sampai ke Kalimati. Guyonan-guyonan renyah muncul dari duo Ardi, Bang Made, dan Erwin. Tak hanya bercanda dengan kelompok sendiri tapi ke pendaki lainnya. Yang paling aku ingat adalah "Selamat datang di indomaret", "Tahu... tahu....karedok...karedok....Kupat...tahu... tahu...." Nada yang mirip para pedagang.

Pose Di Ranu Kombolo


Kenikmatan 

Perjuangan kini tinggal selangkah memetik buah. Kami sampai di pos terakhir yakni Kalimati. Di mana titik kumpul sebelum mencapai puncak. Matahari memang sudah tergelincir mirip posisi saat ashar. Saya dan Mbak Esti solat ashar dengan tayamum pasir vulkanik. Rasa syukur pada ilahi atas karunia dan nikmatnya mencapai tempat yang indah. 

Padang Savana

Memilih tempat yang pas untuk mendirikan tenda, pemimpin memilih berdekatan dengan pohon, memang banyak pohon yang dikeramatkan di sini, tapi kami memilih yang tidak dikeramatkan. Dua tenda terpasang kembali. Saya memulai memasak kembali untuk mereka. Bang Made membantu saya dan juga Lukman, tak ketinggalan sang jahil mbak Esti dan Ariani ambil peran dalam kehangatan suasana. Hanya pemimpin yang selalu cool diam bagai air yang membeku. Tapi terkadang bersuara hahaha....

Saya sempatkan untuk istirahat tidur demi kebugaran badan, selepas sembahyang isya saya tidur tanpa babibu ke yang lainnya. Tiba waktunya jam 11:30 malam, kami siap untuk menuju puncak, dimana jalan yang lebih ekstrim dimulai. Ariani menolak untuk sampai puncak, entahlah apa alasannya, namun kamu memberi bekal pelajaran untuk dia agar selalu menjaga kehangatan tubuh agar tidak terjadi hipotermi. Kami khawatir! 

Makan Bersama

Sembilan orang naik ke atas, berjajar dan antri dengan kelompok yang lainnya. Jalan tanpa tumbuhan mudah sekali longsor dan batu-batu vulkanik siap mengancam hidup para pendaki. Kemiringan gunung saya pikir hampir 70-80 derajat. Super curam. Bintang berkelip begitu indah dengan terangnya bulan, sementara kota-kota di bawah gunung tampak bergelimang cahaya lampu. Ada perasaan ngeri juga kalau jatuh.

Lukman bergerak lebih jauh ke atas, sementara saya dan Mbak Esti urutan kedua. Namun berselang lama saya menjadi urutan pertama bersama rombongan wisatawan asing. Saya sendiri saat itu, teman-teman terdengar suaranya di bawah, tak mungkin menunggu. Menunggu adalah hal terlarang karena dikhawatirkan ngantuk dan jatuh ataupun konsentrasi berkurang karena ngantuk dan tertimpa batu dari atas. Berbagai cerita sedih telah banyak terjadi malah sebulan sebelum saya nanjak ada yang tertimpa batu dan meninggal. Perlu konsentrasi tinggi di track ini, selain konsentrasi juga dibutuhkan teknik mendaki yang pas untuk medan berpasir tanpa adanya pohon. 

Masih Makan-makan

Fajar tampak di ujung timur, pertanda subuh sudah datang! Itulah tepat saat saya sampai puncak Mahameru. Lagi-lagi saya menjadi orang pertama yang berada di atas puncak bersama rombongan wisatawan asing dan rombongan dari Lumajang. Suhu udara sangat dingin ditambah angin yang kuat membuat saya bergabung dengan kelompok lain, berbagai makanan adalah hal biasa di pendakian, kalau masih ada rasa malu, mungkin saja kita mati kelaparan ataupun mati karena hipotermi. Sekitar 10 orang rombongan Lumajang bergerombol saling berpelukan termasuk saya. Demi keselamatan!!!

Subuh Udah Di Mahameru

Sujud syukur kehadirat Tuhan, saya lakukan dua kali, pertama sendiri dan kedua dengan rombongan kami. Setelah sujud syukur, saya menjadi imam untuk mbak Esti saat solat subuh. Ya Tuhan inilah nikmatMu! Terima kasih. Berbagai foto telah terekam indah di puncak! Namun masih saja menganjal karena ketidakhadiran Ariani. Ada moment lucu dimana wisatawan asing ingin berfoto dengan saya, beberapa kali wisatawan asing meminta saya untuk berfoto dengannya. Baru pertama ini saya diajak mereka foto bersama. Biasanya orang Indonesia yang meminta hahahaha.... hahahaha....

Orang Perancis Ingin Foto Bersamaku

Waktu bertambah begitu pula dengan panas mentari, kami memutuskan kembali ke pos Kalimati.

Pulang Selamat Dan Merdeka!

Syukur pada Tuhan, Ariani selamat dan masih hidup. Ya kami selalu mengkhawatirkan kondisinya jikalau terserang hipotermi. Memasak untuk sarapan dan persiapan energi untuk pulang. Perjalanan pulang tidak ada acara menginap lagi tapi langsung pulang ke base camp Ranu Pane dilanjutkan ke base camp dimana kita tidur. 

Turun Untuk Pulang

Kekuatan yang super power! Berjalan dari puncak hingga akhir pendakian suatu keajaiban tersendiri bagi saya. Sepanjang jalan pulang banyak sekali rintangan yang ada dimulai dari jalan yang longsor ataupun jalan putus akibat badai kemarin. Demi mendapatkan sinyal telpon sang ketua dan wakil, mas Abim dan Lukman pergi dulu untuk menginformasikan kepada supir untuk membawa kita ke base camp. Kami terbagi dua. Kelompok paling akhir dimana kesulitan banyak didapat mulai dari kehabisan makanan, minuman, dan batrei senter mulai habis saat digunakan. Beruntung kami di perjalanan pulang hanya 2-3 jam saja menggunakan senter, jikalau lebih dari itu apa yang terjadi kuasa Tuhan. Tepat di gerbang selamat datang pendaki gunung Semeru batrei senter habis!!!

Balai Kota Malang

Lelah itu terbayar lunas dengan keutuhan anggota dan kesehatan anggota. Kami sangat bersyukur sekali. Selang beberapa jam jemputan sudah datang, akhirnya bisa tidur di base camp. Keletihan membawa kami tidur pulas sampai pagi di tanggal 16/8/16. Memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, kami antri untuk mandi. Persiapan demi persiapan untuk pulang ke Jakarta sudah dipersiapkan termasuk oleh-oleh.

Sempat keliling Kota Malang dan mencicipi kuliner di sana, rasanya tidak ada lelah di badan kami untuk selalu plesiran. Kereta Matarmaja sore datang untuk menganggkut kami ke Jakarta. Banyolan demi banyolan keluar di dalam kereta. Yang masih ingat adalah "Ya Allah Gusti....." Jargon dari mbak Esti. Selain itu ada jargon lain yakni "Hayati lelah Bang...." Dan lain sebagainya.

Masjid Raya Dan Gereja Besar Kota Malang

Matahari kembali bersinar terang di hari ulang tahun kemerdekaanim Indonesia, ya gemuruh patriotisme muncul begitu saja ketika melihat siswa dan orang-orang membawa bendera merah putih di ujung jendela kereta sana. Roda besi kereta bergerak cepat seperti semangat kemerdekaan Indonesia menuju stasiun akhir, stasiun Pasar Senen Jakarta.

Tambahan ..........

Kejadian mistik hanya dialami 3 orang peserta saja yakni mbak Esti, sewaktu bermalam Di Ranu Kumbolo. Sementara Gotit dan Ariani mengalami pengalaman mistik saat bermalam di Kali Mati. Menurut pengakuan mereka di mana saat orang-orang terlelap tidur, Ariani yang bersahabat dekat dengan Gotit meminta bantuan untuk mengantarkannya ke toilet umum yang tak jauh dari tenda. Arini yang baru pertama mendaki tidak berani keluar tenda tanpa pengawasan terlebih lagi malam hari, tentu saja Gotit sebagai sahabat terdekatnya menjadi tumbal sebagai "pembantu" nya. Singkat cerita mereka berdua berjalan menuju toilet umum yang disediakan oleh pengelola Taman Nasional Tengger Semeru. Memang jarak tenda dengan toilet sekitar 50-100 meter saja. Awalnya mereka berjalan tanpa ada perasaan lainnya. Mereka hanya berfikir buang hajat saja. Berjalan dan terus berjalan menuju toilet umum itu, waktu berjalan sesuai langkah kaki yang digerakan tapi toilet umum belum kelihatan juga padahal waktu jalan kaki sudah terasa lama, perasaan atau mata batin mereka terusik. Terdiam sejenak untuk bertanya pada logika dan hati masing-masing. Tanpa perkataan apa-apa Gotit yang sering mendaki gunung mengajak Ariani untuk kembali ke tenda. Gotit berkeluh dengan bulu halusnya berdiri "saya berjalan terus dan terus bersama Ariani, tapi toilet tak kujung ketemu! Ini hal aneh!!". Beruntung dan bersyukur mereka kembali dengan selamat, Ariani hanya duduk termenung saat itu. Hajat yang harusnya dibuang di toilet umum terpaksa dibuang di dekat tenda. 



Komentar

dilaanyo mengatakan…
Keren broo. Fotonya kurang banyak Hahaaa
Waluyo Ibn Dischman mengatakan…
Thanks. Kapan kamu nulis???

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...