Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Harga Seorang Petani

Menulis judul dan artikel ini membuat sadar akan diri sendiri berasal dan dibesarkan. Dibesarkan di kampung dengan mayoritas pekerja pertaninan terutama petani padi membuat hari-hari penuh dengan aktivitas pertaninan, mulai dari musim tanam hingga musim panen tiba. Berulang dan berulang hingga saya dewasa dan meniti karir di dunia kesehatan. Semua rekaman akan dunia pertaninan masih tersimpan di otak walaupun ada yang sudah hilang karena ujung saraf yang rusak ataupun terganti dengan ujung saraf dari bidang lainnya. 

Dunia kesehatan sudah hampir enam bulan saya tinggalkan dan belum juga ada panggilan kerja, beberapa panggilan kerja diterima, beberapa ditolak. Patah semangat harus dipatahkan dan harus berlanjut dengan rasa optimis. Menyikapi hari sepi tanpa berkarya, saya yang masih menjadi anak petani turun kembali menyapa 'teman kecilku' yang lama tidak ku sapa. Sawah menjadi bagian sumber penghidupan di Indonesia, tanpa adanya sawah Indonesia harus selalu mengimpor beras dari negara tetangga seperti Thailand maupun Vietnam. Beruntung Di Indonesia masih ada kegiatan di sawah. 

Tumpukan Karung Padi

Banyak sawah merana karena ditinggalkan generasi muda. Ini menjadi suatu masalah besar dan banyak  orang bertanya-tanya walaupun sudah banyak  jawaban. Ada apa dengan sawah, petani dan pemuda? Mari telisik kehidupan petani yang selalu cinta dengan sawah, mungkin di situ jawaban umum untuk pertanyaan di atas terjawab lengkap.

Keringat 

Keringat petani tidak bisa dihitung oleh ukuran meter ataupun standar ukuran lainnya. Keringat mengucur deras dari waktu ke waktu, mulai musim tanam hingga musim panen. Tidak pernah berhenti.
Saat musim tanam, petani berkeringat untuk membajak lahannya, berapa pun lahan mesti dibajak dengan alat modern maupun tradisional seperti dengan bajak kerbau, semua itu menggunakan uang dan tidak besar. Pembajakan lahan untuk kegemburan tanah belum selesai begitu saja, petani mesti mencangkul lahan supaya gembur dan nutrisi tanah bagus untuk taman kelak. Berjam-jam dengan terik matahari yang panas membuka keringat selalu keluar. Lelah letih suatu konsekuensi. 

Lahan berhasil menjadi gembur dan siap untuk di tanam benih padi, tapi sebelumnya petani harus menyiapkan benih padi unggul yang didapatkan dari membeli di toko pertanian mailing benih dari hasil panen yang lalu. Membeli benih juga memburu uang yang cukup besar, setelah dibeli, benih dimasukan karung dan direndam dalam air sampai beberapa hari untuk menjadikannya sebuah kecambah. Kembali berkeringat, petani harus menyiapkan lahan khusus yang super gembur untuk penyemaian benih. Lahan khusus ini mesti dicangkul beberapa kali hingga benar-benar gembur dan harus memperhatikan volume air di lahan tersebut. Setelah tersedia lahan barulah petani menyemaikan benih di lahan tersebut. 

Sambil menunggu tumbuhnya semaian hingga ukuran 10-15 Cm, petani mengeluarkan tenaganya lagi untuk menggemburkan seluruh lahan untuk penanaman padi, butuh beberapa hari untuk mencangkul hingga gembur. Benih di lahan sudah siap di tanam dan petani harus mencabuti benih tersebut dari lahan semaian, jikalau lahan banyak tentu saja menyewa orang untuk menjabuti benih tersebut. Harga jasa penyabutan benih dihitung perikat, kalau tidak salah satu ikat bisa dari 500-1000 rupiah. 

Uang lagi.... uang lagi.... Kali ini petani mesti mengeluarkan uang untuk membayar jasa orang saat menanam padi di sawahnya. Ukuran uang jasa biasanya perubin (hitungan Jawa) misalnya satu ubin dihargai Rp 20.000 ditambah dengan makan siang/sore. Cukup banyak pengorbanan juga ya.

Padi mulai tumbuh di sawah milik masing-masing petani. Setiap waktu terus tumbuh, dalam masa inilah pengeluaran dan keringat keluar kembali. Biaya jasa/keringat untuk pembersihan gulma atau disebut juga matun dalam bahasa Jawa. Matun ini biasanya dilakukan dua kali dalam satu musim tanam saja. Kebutuhan lainnya yang tak kalah menguras keringat dan uang adalah biaya untuk pestisida dan pupuk tanaman

Kakak Ipar Sedang Menjahit Karung Padi

Hingga tiba masanya panen, petani masih belum kering keringatnya dan kembali keluar tenaga dan uang untuk aktivitas panen. Proses panen mungkin sekarang sudah mulai sederhana karena adanya mesin yang membuat pekerjaan menjadi praktis. Berbeda saat petani masih menggunakan alat tradisional dimana harus menyabit padi, ngepyok atau pemisahan padi dari tangkai dan proses pemilahan padi gabung padi tidak berisi dengan jerami. Proses panen belum selesai begitu saja, padi mesti di pindahkan dari sawah ke rumah. Setelah dipindahkan ke rumah, petani baru sedikit lega karena selangkah lagi menikmati hasil. Proses terakhir adalah pengeringan padi dengan dijemur hingga padi benar-benar kering.

Cukup sudah keringat petani untuk sebuah proses panjang dalam menghasilkan padi. Bukan hanya keluh-kesah saat proses pertaninan saja tapi juga saat penjualan padi yang kadang harganya dibawah standar, boleh dikata gak balik modal. Mungkin dengan alasan tersebut pemuda enggan untuk bergelut di pertanian khususnya mengurus sawah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...