Inilah artikel perdana di tahun 2017 yang katanya tahun ayam api. Peruntungan apa yang akan terlihat di tahun ayam api ini entahlah namun saya harap blog ini akan selalu bermanfaat bagi setiap pengunjung. Soal resolusi tahun baru memang banyak yang tidak tercapai karena mungkin terlalu malas atau terlalu muluk. Walaupun tidak tercapai dengan persentasi sempurna alias 100% dengan kekuatan Tuhan saya diberi kesempatan kembali untuk mengapai mimpi yang masih tercecer di tahun 2016.
Bicara soal resolusi yang tercecer dari dari tahun-tahun sebelumnya kali ini si ayam api memberi saya kesempatan menyelesaikan mimpi untuk menjelajahi hutan lindung yang dekat dengan rumah saya. Sejak kecil saya sudah punya rencana ini namun selalu gagal karena berbagai alasan yang menurut sebagian orang tidak masuk akal dan selalu berhubungan dengan pikiran-pikiran kemenyan. Memang hutan lindung di Gegerbentang - Pamarican bukan soal hal - hal mengenai kebuasan hewan liar yang ada di dalam hutan namun juga soal hal yang membuat bulu kuduk Anda berdiri karena rasa takut akan hal - hal tersebut. Bukan hanya satu titik saja tempat pembakaran kemenyan di Gegerbentang namun terhitung cukup banyak dan uniknya setiap suku mempunyai tempat pembakaran menyan tersendiri misalnya orang sunda mungkin lebih dekat di Panembahan Gunung Meri dan Orang Jawa lebih ke Panembahan Mbah Mataram.
Pose Sandaran Dekat Jurang |
Bersyukur sekali saya mempunyai teman baik di wilayah desa Sukahurip yang sudah 'khatam' tentang hutan lindung Gegerbentang. Tanpa mereka mungkin saya hanya bisa memandang keindahan Gegerbentang dengan hijaunya hutan lindung yang berada di tengah - tengah hutan homogen jati!. Terima kasih untuk Mas Anas dan Zaenal yang sudah menjadi 'Si Ayam Api' yang membakar impian
.
Rencana memang lebih awal dideklarasi oleh penggagas utama yakni mas Anas namun karena tidak sesuai dengan aktivitas 'pengangguran' saya akhirnya saya mengusulkan menjadi hari Senin tanggal 9 Januari 2017. Akhirnya semua menyetujui. Demi kekompakan saat di meeting point akhirnya saya menginap di rumah Zaenal.
Seperti orang Indonesia lainnya saya dan yang lainnya mengubah perjanjian keberangkatan dengan malas - malas di tempat tidur yang mempunyai gravitasi lebih kuat daripada gravitasi bumi. Hehehehe. Sekitar jam tujuh pagi kami bertiga berangkat untuk menjelajahi hutan lindung Gegerbentang. Berbekalkan air mineral 1500 ml bagi kami bertiga sudah cukup untuk menghilangkan dahaga selama perjalanan nanti. Entah lupa atau memang tidak sengaja kami tidak membawa makanan berupa karbohidrat sebagai pasokan energi. Beruntung sekali selama perjalanan saya dan teman - teman tidak ada masalah kesehatan karena kekurangan karbohidrat. Namun bagi siapa pun jika hendak ke hutan ataupun ke gunung harus membawa bakal yang cukup.
Jelajah kali ini lebih menyusuri aliran air atau sungai kecil yang mengalir di Gegerbentang. Melewati hutan homogen jati sekitar 1 kilometer dari pemukiman. Anda akan menikmati keindahan alam berupa huma yang ditanami padi gunung dan kacang - kacangan serta pohon jati yang baru ditanami. Beberapa jembatan kayu hilang sehingga harus turun ke saluran sungai yang lumayan dalam.
Menyusuri aliran sungai membuat hati berdecak kagum akan jernihnya air yang mengalir. Selain itu batu - batu yang terbentuk oleh aliran sungai menjadikan keindahan alam yang khas. Di aliran sungai ini terdapat kira-kira tujuh curug dan hanya beberapa yang mempunyai nama yang lainnya masih menggunakan nama urutan curug misalnya curug satu sampai curug tujuh. Curug yang mempunyai nama dan sudah terkenal adalah curug tiga yang dinamai sebagai "Curug Angin".
Ala Bali |
Sesuai dengan kesepakatan kami menuju ke beberapa curug dengan menyusuri aliran sungai. Curug pertama tentu saja Curug Satu (Siji) yang tersusun oleh batu - batu yang berbentuk seperti meja dan berundak. Memang tidak terlalu tinggi namun tetap indah karena sifat air yang mengalir dari atas ke bawah. Menyempatkan untuk berfoto dengan menggunakan pakaian Bali.
Melangkah ke arah selatan lebih dalam lagi menuju hutan lindung yang gelap khas hutan hujan yang lebat dan hijau. Semakin ke arah selatan semakin tinggi permukaan tanah. Batu - batu di sekitar aliran sungai pun semakin besar besar. Di area sinilah saya merasa gusar akan keselamatan kamera saya. Karena bukan barang murah tentu saja saya mengkhawatirkan selalu kamera saya ini sepanjang perjalanan yang penuh batu besar, aliran sungai yang deras, dan bebatuan yang licin. Sebenarnya saya membawa wadah yang air tight dan mempunyai water seal karena saya pikir kurang praktis akhirnya saya hanya mengalungkan kamera di leher.
Sekitar 50 meter dari Curug Satu terdapat Curug Dua yang mempunyai aliran air yang deras karena mempunyai ketinggian lebih dari 5 meter. Berbeda dengan Curug Tiga atau Curug Angin yang tepat berada di atasnya. Curug Dua ini tidak banyak angin yang berhembus dari derasnya air yang mengalir dari atas ke bawah.
Harapan memang tidak selalu didapat dengan mudah. Walaupun sudah membawa teropong alias binocular untuk melihat satwa penghuni Gegerbentang namun tak ada satupun satwa yang terlihat terkecuali semut dan ulet di pohon. Menyesal tidaklah harus diresapi karena keindahan alam liar lainnya masih membuat otak dan hati berdecak kagum.
Di atas Curug Angin kami memilih untuk mengunjungi curug Tujuh dan menyimpan Cadas Bodas sebagai destinasi eksplorasi selanjutnya. Curug Empat sampai Enam kami lewati karena akses yang terlalu jauh dan harus membuka jalan baru akhirnya kami langsung menuju ke Curug Tujuh.
Jalur menuju ke Curug Tujuh ini memang lumayan terjal karena memang jarang orang yang ke sana. Ada beberapa sisi jalan yang longsor juga dan ada pula jalan yang rusak karena amukan babi yang mungkin kelaparan. Sedikit lelah untuk menuju ke Curug Tujuh tentu saja karena akses yang luar biasa, tingkat ketinggian tanah dan kemiringan tanah pun bertambah.
Sekitar dua puluh menit perjalanan dari Curug Angin kami sampai ke Curug Tujuh yang mempunyai kharisma tersendiri. Begitu banyak kharisma di curug Tujuh karena mempunyai tingkatan beberapa tingkat dan yang tertinggi berada di paling atas yang mempunyai ketinggian sekitar 20 meter. Tipikal curug Tujuh ini yakni bertebing dan beberapa aliran curug di bawahnya mempunyai batu - batu yang sangat besar.
Curug Satu |
Sinar matahari begitu menyengat di Curug Tujuh karena memang lokasinya lebih di pinggir jurang dan tebing sehingga sinar matahari masuk dengan leluasa berbeda dengan Curug Satu sampai Enam yang gelap karena pepohonan nan rindang. Aliran air tidak besar seperti curug lainnya namun lebih ringan dan selalu memercikan bulir air yang lembut kadang membias dan membentuk pelangi yang indah.
Tidak lupa untuk berpose a la Bali untuk mengabadikan momen indah ini. Puas dengan berbagai pose yang membuat badan bosan untuk difoto. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sekaligus pulang.
Berbekalkan satu golok tajam kami membuka jalan baru untuk menuju kepala curug. Tentu saja kami menaiki tebing yang hampir mempunyai kemiringan 80 derajat. Bebatuan dan akar pohon yang kuat adalah tempat pijakan satu - satunya. Dalam hal ini memang sepertinya kami menantang maut. Beberapa kali saya terpeleset namun kekompakan dan izin Sang Penguasa saya selamat dari sebuah perpisahan antara alam halus dan kasar yang bisa disebut kematian.
Dalamnya hutan membuat semua tanaman tumbuh dengan berbagai kompetisi untuk mendapatkan unsur hara dan cahaya yang pas untuk proses pertumbuhan. Beberapa pohon yang berkesan saya temui adalah pohon rotan yang barang kali hanya ada di hutan saja. Berbagai jenis rotan saya temui.
Zaenal, Anad dan Saya |
Beberapa kali melihat tampak bekas cokeran babi yang mungkin kelaparan karena kehabisan makanan. Semakin ke dalam hutan lindung yang seharusnya satwa liar dengan mudah ditemui kali ini saya sama sekali tidak menemuinya. Dengan bangga dan rasa syukur yang tinggi saya mencapai hulu ataupun kepala curug. Luar biasa pemandangan di atas kepala curug karena di sini saya bisa melihat kota kecamatan Pamarican dan Cadas Bodas yang dipercayai seram oleh penduduk lokal.
Puas dengan segala rupa aktivitas di hutan kami pulang dengan jalur desa terisolasi; Dusun Ambulu yang masih masuk kedalam Desa Sukahurip. Di sinilah kami merasa lapar dan energi terkuras banyak. Beruntung di pertengahan perjalanan Zaenal menemukan pohon jambu biji yang berbuah. Akhirnya perut terisi juga! Alhamdulillah.
Selamat jiwa dan raga adalah anugerah yang luar biasa yang diberikan oleh sang Gusti. Selain itu kenangan manis yang terekam dalam balutan megapixel dan pengalaman yang berharga membuat kami bersyukur lebih dalam lagi.
Komentar