Kabut Pagi Gunung Prau |
Weker berdering cukup keras dari speaker telpon genggam pintar, mata enggan membuka, badan enggan siaga. Hanya otak yang berniat sepenuh hati untuk bangun! "Hai semua sadarlah! Sekarang jam 4 pagi! Ingat janjimu semalam! Jam 7 mesti sudah di Wonosobo!" Seru otak yang cukup sigap dalam menerintahkan semua anggotanya. Kondisi belum stabil semua hanya kekuatan malas yang masih merundung semua anggota badan termasuk otak, akhirnya otak kalah dan membuat peraturan ulang!. 'Alarm dimulai 40 menit dari sekarang' pemberitahuan yang keluar dari layar telpon genggam pintarku.
Kesepakatan kedua semua anggota tubuh terbangun tepat pada jam 5 pagi sesuai pemberitahuan weker dan perjanjian sebelumnya dengan semua sel-sel tubuh. Semua perlengkapan out door sudah diatur ulang dalam tas besar khusus untuk kegiatan naik gunung. Barang-barang tidak terlalu penting sengaja aku tinggal di warung Yudha, tempatku menginap. Pagi itu Yudha tampak lemah dalam tidurnya seperti tidak tega membangunkan hanya untuk sekedar membuka kunci dan mengeluarkan sepeda motor.
Sepeda motor siap dan semua siap, pamitan ke pemilik warung juga tidak ketinggalan dan paling utama doa keselamatan. Jalan raya nasional nomor 09 poros Purwokerto - Wonosobo tampak sepi senyap. Terkadang tampak beberapa orang bersarung dan kopiah berjalan perlahan menuju langgar, disusul beberapa orang berpakaian putih yang hanya terlihat wajahnya. Sayup suara panggilan penutup dari sebuah undangan peribadatan. Syahdu dan sakral, puji Tuhan saya sudah melaksanakan kewajiban sebelumnya.
Subuh hari di SPBU Banjarnegara |
Beberapa kendaraan besar melintas mendahului, kadang beberapa kendaraan terlewati untuk mengejar waktu. Sepi pengendara membuat laju sepeda motor begitu mulus dan cepat. Sekali-kali melihat jarum speedometer dan fuelmeter yang sudah mendekati huruf E (Emergency) yang berarti tinggal 10% lagi bahan bakar yang tersedia di tank. Laju ditambah sampai angka 90Km/Jam, mata tajam terpasang untuk melihat simbol pompa bensin ataupun lampu penanda pompa bensin di pinggir jalan. Lebih dari 20 Km tidak ada satu pun pompa bensin. Laju motor tetap pada 80Km/Jam harapan mulai tersambut dengan simbol mesin pompa bensin di pinggir jalan sebagai tanda beberapa meter lagi ada pompa bensin (SPBU). Hati terasa lega! Mulai mendekati pompa bensin di sebelah kanan jalan ternyata tutup disegel! Sedikit kecewa dengan rasa khawatir yang tinggi kalau-kalau kehabisan bahan bakar di tengah gunung.
Lebih 12 Km terlewati belum juga ada pom bensin. Rasa khawatir semakin tinggi! Berapa kilometers lagi bahan bakar bisa menempuh. Ya Tuhan! Semoga ada pom bensin terdekat!. Akhirnya tanda rambu jalan bergambar mesin pompa bensin di depan saya! Bersyukur alhamdulillah!. Tidak ada antrean saat itu hanya petugas muda ganteng yang berjaga. "Mas isi 20 ewu wae! Oh ya mas iki kota apa ya?" Tanyaku lirih karena dingin. "Rongpuluh ewu ya mas! Iki wis mlebu Banjarnegara mas!" Jawabnya tegas. "Matur Suksma, mas!" Timpalku sebagai rasa terima kasih.
Perjalanan kembali dilanjutkan dengan kecepatan yang sama demi mengejar waktu! Maklumlah informasi dari Barnash (teman nanjak) mereka bertiga diperkirakan datang di Wonosobo subuh hari. Untuk menghargai waktu mereka dalam menunggu saya yang berangkat subuh hari, kasihan juga kalau menunggu lebih dari 2 jam lebih. Maka dari itu kecepatan dimaksimalkan ke 80-90Km/Jam agar waktu kedatangan pas jam setengah 8. Perlu diketahui bahwa jarak tempuh Banyumas ke Dieng kurang lebih 3 jam. Jadi kalau dihitung perkiraan kedatangan di Dieng jam 8 pagi.
Matahari kuning bulat telor ceplok semakin mantap bersinar, perlahan warna mulai memudar menjadi cahaya putih kuat hingga suhu menjadi hangat dan kemudian panas. Kota Wonosobo tampak mulai beraktivitas di pagi hari libur nasional. Pemuda berlarian dengan ritme teratur sesekali berlari kencang untuk membakar lemak lebih cepat. Sisi lain terdapat beberapa kelompok paruh baya memulai gerakan teratur dengan kawan sebaya untuk memperoleh kebugaran yang pernah dialaminya. Kota ini sangat hidup sekali walaupun kabut pagi menutupi dan gigitan-gigitan hawa dingin sampai ke tulang.
Uang dalam dompet seperti sudah berkurang beberpa lembar dan tidak ada makanan yang belum dibeli untuk persediaan makanan di perkemahan nanti. Berhenti dua kali, pertama di ATM center di SPBU Krasak untuk mengambil lembaran kertas biru dan berhenti kedua di Alfamart Krasak untuk membeli perbekalan. Jarak Krasak ke Dieng tidak terlalu jauh hanya menghabiskan waktu sekitar 40 menit saja dengan kecepatan normal. Mulai dari Krasak laju mulai dikurangi sampai 50-70Km/Jam, penurunan laju ini demi keselamatan karena banyak tikungan tajam serta jalan yang sempit.
Beberapa pesan singkat WA datang dari Barnash yang menjelaskan mereka baru sampai ke Wonosobo. Percapakan sesekali tidak dibalas karena masih dalam perjalanan hingga akhirnya sampai di Patakbanteng percapakan di aplikasi pesan singkat dibalas dengan sempurna.
Sesuai perkiraan kedatangan, tepat jam 8 pagi saya sudah tiba di Patakbanteng. Bersyukur tidak ada kendala maupun rintangan yang dihadapi selama di jalan. Terhitung lebih dari lima pesan dari mbak Esti masuk dan satu persatu dijawab. Waktu menunggu di Patakbanteng sudah satu jam lebih, pesan untuk Barnash tidak dijawab. Beberapa kali panggilan telpon juga tidak terjawab, begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh mbak Esti ke Barnash. Menunggu dengan kulit semakin dingin karena gigitan hawa udara Dieng, beberapa kali pindah lokais untuk menghindari kejenuhan dan kedinginan. Sesekali berjemur di pinggir jalan raya untuk mendapatkan kehangatan matahari.
Saat Menunggu Di Pintu Gerbang Pendakian Patakbanteng |
Serangan rasa jenuh mulai masuk ke otak, semua aplikasi di telpon genggam pintar sudah dimainkan sampai bosan. Beberapa kali mencoba menghubungi Barnash namun sama hasilnya. Pesan mbak Esti menenangkan dengan sedikit emosi yang dia luahkan dalam sebuah pesan singkat. Saya hanya bisa membaca, membalas dan membunuh kejenuhan saja tanpa berkeluh untuk hal yang sepele. "Mas rene loh...jo dewekan wae. Sampeyan nunggu kancanè? Wis neng endi?" Ungkap keramahan pedagang ciput di depan pintu gerbang pendakian. "Iyo ki Pak nunggu kekancan, wis nang Wonosobo jarènè" jawabku lirih dengan kedinginan.
Keramahan pedagang ciput tidak hanya sekedar sapa-menyapa saja. Dia menemani saya dalam masa menunggu. Berbagai perbincangan hangat tercipta hingga kejenuhan lari terbirit-birit ke tempat yang entah bagaimana jauhnya. Berbagai pengalaman dan nasehat dari bapak pedagang itu. Sesekali saya melihat layar telpon genggam pintar untuk membalas pesan WhatsApp mbak Esti.
Barang Dagangan Bapak Baik Hati |
Sampai bila saya malu dengan pedagang baik itu dengan beberapa pertanyaan setiap awal jam "Yo ko suwe tenan kancanè mas! Jarè nang Wonosobo ko rung teko-teko" ucapnya setiap awal jam sebagai pertanyaan sedikit curiga. Keteguhan masih terjaga terlebih beberapa pendaki sering menyapa dan membuat percapakan kecil nan hangat.
Mendekati waktu duhur, perut mulai protes karena sedari pagi belum ada makanan apapun yang masuk kecuali air putih. Tas besar dan sepeda motor kutinggal di dekat lapak bapak penjual ciput. Aku titipkan untuk pergi ke Indomaret. Beberapa makanan ringan kupilih dan kembali menjumpai petugas untuk membayar semua barang belanjaan, telpon genggam pintar bergetar tanda panggilan masuk. Hanya nomor telpon saja yang keluar tanpa nama kontak, terdengar di ujung telpon sana suara lelaki yang mengakui sebagai Barnash memberitahu bahwa mereka sudah di Basecamp Patakbanteng.
Rasa girang meluap dan pecah, maklum saja masa menunggu lebih dari tiga jam. Beberapa kali aku menelpon nomor tersebut untuk mengetahui lokasi tepatnya karena banyak sekali warung dan orang-orang di lokasi tersebut. Akhirnya bertemu! Uluran tangan tanda berkenalan terjulur satu persatu mulai dari Barnash, Dwi atau Ndiw dan Miki. Percapakan perekenalan tercipta dengan segala cerita ringan dalam perjalanan ke Dieng yang sempat terlambat.
Warung dengan perinsip parasmanan yang hanya cukup 5-7 orang itu mampu menampung kami berempat dengan segala barang yang dibawa. Makan siang dimulai untuk mengisi energi selama perjalanan naik gunung nanti, percapakan ringan terjalin mengalir hangat dengan beberapa senyum dan tawa. Pecah!
Kami berbagi tugas untuk menunggu barang-barang dan yang lainnya melaksanakan ibadat sembahyang duhur, sementara saya dan Ndiw menunggu di warung. Cuaca mulai mendung, sesekali rintik kabut muncul bersama gerimis khas pegunungan. Pendaftaran pendakian mengantre lebih dari 50 orang dan saling berjejalan dengan teratur. Barnash sebagai ketua kelompok mendaftarkan diri ke sekertariat pendakian.
Gerimis hanya panas masih terasa boleh dibilang 'udan kethek ngilo' ungkapan dalam Bahasa Jawa dialek Banyumasan yang berarti hujan kera berkaca, ungkapan untuk hujan atau gerimis dengan teriknya cahaya matahari. Sebelum berangkat saya memimpin doa untuk keselamatan bersama dengan janji saling menghabiskan dan saling peduli antar satu sama lainnya.
Rintangan awal pendakian adalah tangga di komplek perumahan warga yang cukup tinggi dan mempunyai banyak anak tangga. Performa dan energi tubuhku tampak prima walaupun 'vampir' telah menghisap sebagian darahku tiga hari yang lalu. Ndiw tampak lebih semangat dan mempunyai performa energi yang kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Mikki adalah seorang anggota yang baru pertama mendaki gunung! Tampak pengaturan nafas tidak berirama dan acak hingga tersengal. Tak jauh beda dengan Barnash, walaupun dia sudah beberapa kali mendaki gunung Prau tampak nafasnya tersengal.Guyonan mulai dari potongan adegan si Bokir hingga guyonan lainnya Aku ciptakan sebagai penghiburan.
Susunan Anak Tangga Jalur Pendakian |
Track pertama sampai dengan pos satu adalah tangga di pemukiman masyarakat, rintangan termasuk mudah. Masuk ke wilayah pos dua di wilayah perkebunan warga mulai sedikit rintangan dengan berbagai tanjakan yang cukup menguras energi. Angin segar mengembalikan semangat juang kami saat itu. Masuk pos tiga udara semakin sejuk dengan belaian angin lembut dari arah lembah, udara segar itu mempunyai wangi yang khas aroma pohon pinus. Segar sekali!!!
Swafoto (Ndiw, Saya, Barnash Dan Miki) |
Aturan yang disepakati bahwa perjalanan tidak boleh terlalu lama untuk istirahat maksimal lima menit saja atau paling tidak degup jantung kembali berirama normal. Cara tersebut merupakan warisan dari perjalanan mendaki saat ke Semeru tahun 2016 yang sukses dengan penghematan waktu yang luar biasa. Kini aturan seperti itu juga sukses diterapkan hingga puncak gunung Prau.
Bersambung...
Komentar