Menjadi penggemar narasi kolonial adalah bagian dari percikan-percikan sel otakku, entah siapa yang menjejalinya. Mungkin juga si Ranesi, alias Radio Nederland Seksi Indonesia, oh mungkin juga bahan bacaan yang selalu dibaca. Itulah nyatanya aku terlalu jauh untuk mencintai narasi usang kolonial. Dua tiga buku telah dibaca seakan merasuk dan kesurupan nuansa kolonial, tapi aku masih candu untuk lagi dan lagi. Hingga akhirnya menemukan Max Havelaar di tahun 2015. Buku Max Havelaar Aku bertemu Max Havelaar tidak jauh-jauh dari tempat tinggal, hanya di Gramedia Kalibata sekali jumpa langsung bawa. Saat ini di Pamarican aku kembali membaca narasi novel kolonial yang konon menggeparkan saat itu, dan ini kali kedua membaca. Semakin penasaran, semakin asik meneroka bagai Jaka Tarub mengintip bidadari. Amboi banyak sekali hal yang tak terduga ditemukan. Oh berarti selama membaca kala itu aku masih buta, masih bodoh, masih awam. Ya sudah lah itu memang sebuah jalannya harus bolak-ba...