Menjadi penggemar narasi kolonial adalah bagian dari percikan-percikan sel otakku, entah siapa yang menjejalinya. Mungkin juga si Ranesi, alias Radio Nederland Seksi Indonesia, oh mungkin juga bahan bacaan yang selalu dibaca. Itulah nyatanya aku terlalu jauh untuk mencintai narasi usang kolonial. Dua tiga buku telah dibaca seakan merasuk dan kesurupan nuansa kolonial, tapi aku masih candu untuk lagi dan lagi. Hingga akhirnya menemukan Max Havelaar di tahun 2015.
Buku Max Havelaar |
Aku bertemu Max Havelaar tidak jauh-jauh dari tempat tinggal, hanya di Gramedia Kalibata sekali jumpa langsung bawa. Saat ini di Pamarican aku kembali membaca narasi novel kolonial yang konon menggeparkan saat itu, dan ini kali kedua membaca. Semakin penasaran, semakin asik meneroka bagai Jaka Tarub mengintip bidadari. Amboi banyak sekali hal yang tak terduga ditemukan. Oh berarti selama membaca kala itu aku masih buta, masih bodoh, masih awam. Ya sudah lah itu memang sebuah jalannya harus bolak-balik sehingga menjadi paham.
Tidak kalah menarik dari buku, Max Havelaar versi film tersedia dengan durasi lebih dari tiga jam! Suatu film yang cukup panjang tentunya. Film ini dibuat pada masa Orde Baru Indonesia, beberapa pemain dan sutradara datang dari Belanda langsung. Menurut sebuah artikel bahwa film Max Havelaar sebelumnya akan menjadi proyek kerjasama antara Belanda dan Indonesia, namun sutradara Indonesia menolak karena segmen cerita terlalu banyak menyorot kisah Havelaar saja. Sementara pihak Indonesia menginginkan keseimbangan diantara kedua pihak. Oleh karena itu ada sutradara Indonesia akhirnya mengundurkan diri.
Diakui, bahwa film ini lebih banyak pada Havelaar saja. Padahal ada satu yang menarik yang harus diangkat, khususnya dari tokoh Adinda dan Saijah. Kedua tokoh ini adalah cerminan dari kekejaman kolonial Belanda dan juga para pembesar lokal masa itu. Jadi sangat disayangkan porsi adegan Adinda dan Saijah sedikit saja. Bagiku sorotan pada Havelaar cukup berlebihan, seakan-akan menganggungkan diri sendiri.
Kritik pada karya sastra ini bukan hanya itu saja melainkan banyak. Tapi, bagaimana pun karya ini sangat mempengaruhi bangsa Eropa saat itu. Sehingga ada perubahan cukup besar. Sejujurnya saya cukup lancang untuk menilai karya ini terlebih pengetahuan tentang sastra, sejarah kolonial dan berbagai hal yang ada diriku hanyalah sebesar telur kutu.
Aku cukup kecewa dengan buku yang kubeli. Bahasa yang digunakan terlalu njlimet ditambah lagi banyak hal yang tidak perlu khususnya untuk orang Indonesia. Misalnya untuk kata Tudung saja menggunakan oenjelapen di bawah buku. Menurut salah seorang temanku di Belanda, bahwa buku tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris sehingga bahasanya menjadi njlimet. Temanku juga memberi saran untuk buku max Havelaar yang enak dibaca adalah terjemahan dari JB Jassin. Menurutnya buku terjemahan JB Jassin sangat enak dibaca karena JB Jassin menerjemahkan langsung dari bahasa aslinya, bahasa Belanda.
Komentar