Selasa, 14 Mei 2019 adalah hari ke-sembilan dalam hitungan kalender hijriyah pada bulan ramadan. Bersyukur ritual sakral puasa sehari penuh terlaksana tanpa ada halangan sedikit pun, begitu juga kesehatan yang masih sempurna. Pada catatan ramadan kali ini saya sedikit gatal untuk menulis usil, terlebih dengan manusia yang masih selalu ngerathil. Saya selaku penulis juga tidak bisa memastikan diri sebagai orang yang sempurna, namun karena saya yang menulis seakan-akan penulis yang sempurna. Bisa disebut Gajah di ujung danau tidak kelihatan, sementara semut di ujung samudra terlihat jelas. Begitulah kira-kira!
Jujur saja selama menjalani berbagai ramadan pada tahun-tahun lampau belum pernah merasakan nikmatnya iman pada bulan yang Digadang-gadang sebagai bulan agung bagi umat muslim. Mungkin aku yang tak bisa sepenuhnya menikmati ramadan atau memang masalah keimanan yang tidak mantap. Ke-dua-nya bisa disebut benar! Seakan ramadan hanya ajang sosial saja, berikut contoh ajang sosialnya:
1. Puasa adalah jenis ibadah yang sukar ditebak, dilihat atau dirasakan oleh orang lain. Tanda lemas, bau mulut, lesu, bibir kering bukanlah tanda mutlak orang berpuasa. Jadi puasa memang benar-benar ibadah khusus yang hanya diketahui oleh individu tersebut dan Tuhan-nya. Beda dengan ibadah solat, zakat maupun dimana orang lain masih bisa melihat, dan merasakan. Pada lingkungan tradisional di daerahku tak jarang orang di siang hari keluar masuk warung berenda untuk memenuhi kebutuhan lambung, tentu saja saat kembali ke rumah masih mengaku dalam ritual puasa.
2. Setor muka! Nah ada yang menarik lagi nih yakni pada urusan sosial, dimana masyarakat akan memandang dan menilai kita. Pada ramadan umumnya masyarakat perlu setor muka ke mushola atau masjid untuk ikutan solat tarawih, ya walaupun dalam keseharian tidak pernah solat lima waktu apalagi puasa sehari penuh. Jadi tarawih itu fungsinya apa? Jelas fungsinya sebagai setor muka agar masyarakat sekitar mengakui eksistensi individual tersebut dalam kehidupan sosial keagamaan. Kadang orang yang puasa penuh dan selalu solat lima waktu, namun tidak solat tarawih bersama akan berbeda penilaian-nya dari masyarakat.
3. Ramadan dan pemborosan, ya kapan lagi ya?! Ramadan hanya sekali, lagi pula perut yang dipuasakan harus dimanjakan dengan makanan enak dan lezat. Jadi boleh dong beli se-enaknya wudhelè dhewek, sekalipun ngutang! Begitulah realita pada dunia ini, tapi memang penulis juga merasakan begitu. Bisa karena faktor gengsi, iri dengki, nafsu makan tinggi atau faktor yang kadang tidak masuk di akal. Padahal jika dikalkulasikan menurut logika sehat harusnya puasa lebih hemat dari hari-hari biasa, dimana mulut hanya makan Dua kali dalam 24 jam. Sementara pada hari biasa tentunya mulut se-enaknya memasukan makanan tanpa hitang-hitung.... Kecuali orang yang diet.
Dicukupkan saja!
Komentar