Jawa Dan Islam Saling Berpadu |
Puasa mengajarkan kita langsung atau tidak langsung pada hakekat kehidupan, puasa juga menginggatkan manusia yang bersifat terbatas, kita punya kekuatan namun terbatas, kita punya kesabaran dan ada batasnya, kita punya kemampuan berbuat apapun ada batasnya, membantu orang lain juga ada batasnya, bahkan makan dan minum ada batasnya. Puasa adalah pelajaran batas, pelajaran batas dalam kesadaran diri, bahwa kita ini harus melakukan sesuatu sesuai dengan batas-batas, koridor-koridor yang pas sesuai dengan ruang dan waktu di mana kita hidup. Hidup memang ada tujuannya dan itu memang ada misinya dari Allah sehingga harus kita emban cuma kita harus menyesuaikan ruang dan waktu sesuai dengan dimana kita hidup. Allah berfirman "Apa kamu anggap Kami menciptakan kalian sia-sia, dan engkau tidak dikembalikan kepada kami". Ayat tersebut menyingkap bahwa hidup ini ada misinya dan hidup tidak sia-sia begitu saja.
Untuk memenuhi visi misi hidup maka agama islam memerintahkan umatnya untuk saling menasehati, saling menginggatkan akan kebaikan dan juga dengan kesabaran (Wattawat sobil'hak wattawa sobil'sobr). Kenapa harus ada Wattawat sobil'hak wattawa sobil'sobr? Karena kesadaran manusia itu terbatas. Ada pelajaran luar biasa dari pendahulu kita seperti Walisongo, para kiyai, sufi sebelumnya tentang wattawa sobil'sobr. Ada beberapa kalangan atau kelompok tertentu yang mempunyai semangat kuat terhadap ammar maruf nahi munkar cuma agak kurang dalam bagian wattawa sobil'sobr, kurang pada kelemah lembutan, kurang pada kesabaran dalam mengendalikan prosesnya. Berbanding terbalik saat membaca riwayat Walisongo ada strategi kesabaran dalam berdakwah dan mungkin berguna untuk dipelajari pada bulan ramadan ini.
Ada empat strategi dakwah islam oleh Walisongo termasuk yang populer di tanah Jawa, beliau Kanjeng Sunan Kalijaga. Kita kenal beliau adalah seorang wali yang mampu mengadaptasi budaya lokal dengan ajaran agama Islam, diantaranya strategi dakwahanya ialah:
1. Membiarkan dulu, bukan berarti mentolelir selamanya adat-adat yang sukar dirubah. Jadi saat ada adat yang sukar dirubah harus pelan-pelan tidak langsung hantam kromo (tidak langsung dirubah) karena hasilnya akan terbalik (kontra produktif) kita inginya banyak orang jadi lebih baik, bisa jadi banyak orang memusuhi kita dan kebaikan yang kita omongkan/sarankan akan menjadi sebuah anggapan yang jelek. Kunci utamanya adalah dibiarkan dulu dan mulai dirubah perlahan dan tidak tergesa-gesa. Proses perubahan tersebut di-iringi dengan cara berpikir mereka, cara hidup mereka dengan pelan-pelan disisipi oleh ajaran kebaikan Islam. Cara ini akan meresap kepada setiap orang karena pendekatan ini bersifat personal atau strategi pengambilan hati. Hal ini juga pernah dilakukan oleh nabi Muhammad yang melakukan dakwah dari pintu ke pintu. Jadi jika ada tradisi yang sukar dirubah maka itulah strateginya, bukan langsung dibuang habis atau orangnya dibantai, melainkan dengan cara pelan-pelan untuk menghindari kekerasan.
2. Jika ada tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam namun mudah dirubah maka segera dirubah. Strategi ini bisa dengan dibangkitkan cara berpikir masyarakat sehingga masyarakat mulai melepas tradisi tersebut. Namun tetap jika ada penolakan dari masyarakat tidak boleh ditentang hingga ada keikhlasan dalam melepas tradisi tersebut.
Anglaras eli neng banyu, ngeli ana ngang ora keli |
3. Tutwuri handayani dan tutwuri hangiseni yang berarti mengikuti dari belakang dan handayani berarti mendayakan. Dalam hal ini pendakwah harus mengikuti masyarakat dan mendayakan masyarakat dengan pelan-pelan memasukan ajaran Islam kepada masyarakat tersebut. Kita juga menginternalisasikan ideal-ideal yang kita yakini ke dalam masyarakat dan tidak ditabrak dari depan.
4. Menghindari konfrontasi langsung, hampir semua wali menghindari konfrontasi langsung dengan masyarakat. Jika membaca babad ataupun menonton film tentang Walisongo yang berhadapan dengan masyarakat jawa yang berbeda adat budaya keyakinan, maka Anda akan melihat para wali akan menghindari konfrontasi langsung masyarakat. Dalam pribahasa Indonesia strategi ini bisa disebut mengambil ikan-nya tanpa mengeruhkan airnya.
Dari ke-empat strategi tersebut lah penulis Tiongkok mengatakan hampir 80-90% masyarakat jawa masuk Islam. Ada kata mutiara dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang berbunyi "Anglaras eli neng banyu, ngeli ana nging ora keli" yang artinya mengikuti aliran air, mengalir tapi tidak hanyut. Dalam bahasa hari ini kita harus update atau mengikuti perkembangan zaman, tapi kita tidak hanyut karena kita mempunyai idealisme-idealisme. Ngeli ana nging ora keli mengajarkan kita tidak frontal dalam melawan arus. Namun kita harus mengikuti arus tanpa harus tenggelam, dan tenggelam adalah ciri dari kehilangan jati diri, idealisme-idealisme.
Pada hari ini kita banyak mendapati orang yang tenggelam dalam arus atau kehilangan jati diri, kehilangan idealisme-idealisme. Orang ke utara ikut ke utara, orang ke barat ikut ke barat dan mereka hidup dalam kerumunan tanpa jati diri. Ada juga orang yang frontal anti dalam kemajuan, anti dalam kekinian yang biasa disebut orang ketinggalan zaman atau kurang update. Inilah yang disebut ora bisa ngeli dimana seseorang mempunyai idealisme-idealisme yang kuat hanya berlebihan sehingga ahistoris dan asosial, tidak nyambung dengan kehidupan hari ini, tidak nyambung dengan model kehidupan abad ke-21. Orang seperti ini bagus hanya suaranya tidak didengar, tidak mendapatkan kesempatan untuk mempengaruhi karena dianggap out of date.
Dari uraian di atas maka kita harus kembali pada ajaran wali. Kita tahu bahwa model baju wali tidak hanya berjubah namun juga menggunakan blangkon sesuai logika atau trend pada zamannya. Tentunya pada kesempatan puasa kali ini kita belajar dalam kesabaran memelihara proses, sabar mengikuti zaman namun tetap dengan idealisme dan kebenaran yang kita percaya sebagai muslim. Dan tujuan utama dari Walisongo adalah menciptakan islam yang rahmatan lil alamin atau dalam bahasa jawa mamayu hayuning bawawono.
Komentar