Puasa memberikan kesempatan bagi kita untuk merenungi dan mengambil pelajaran, mengambil iktibar dari kehidupan kita sehari-hari selama ini. Sebenarnya iktibar bukan hanya dari kehidupan kita sendiri, melainkan dari kehidupan, sejarah, pengalaman orang lain, bangsa lain, dan golongan lain.
Kenapa kita harus belajar, mengkaji pengalaman dan yang lain sebagainya? Karena agar kita tidak mudah keliru atau tersesat. Tiap hari kita membaca surat Al Fathihah yang pada ayat ke-enam dan tujuh yang menegaskan jangan sampai kita salah jalan seperti umat terdahulu. Jadi kita belajar dari kita sendiri, dari orang lain untuk menjadi orang yang tidak dimurkai Allah dan agar kita tidak tersesat. Ke-dua ayat tersebut harusnya menjadi penginggat bagi kita karena dalam sehari minimal 17 kali membaca kedua ayat tersebut pada setiap rakaat shalat fardu. Maka belajar lingkungan belajar sejarah, belajar ilmu lainnya itu penting. Untuk belajar sejarah, umat Islam pasti kenal tokoh sejarah dan imu sosial dari kalangan Islam yakni Ibn Khaldun. Menurut Ibn Khaldun dalam teori siklus mengatakan bahwa sejarah itu berputar, sejarah itu berawal dari lahir, lalu tumbuh, dewasa, stagnant, lalu tua dan mati. Dan kemudian ada kelahiran kembali, seperti itulah siklusnya selalu berputar.
Sebagai contoh siklus sejarah dimana dulu Islam tumbuh, berkembang, berjaya, dan lumpuh; manusia lahir, tumbuh, dewasa, tua dan mati. Itulah contoh dari siklus hidup yang dalam bahasa jawa disebut cokro manggilingan. Karena kehidupan yang mempunyai siklus memutar tersebut maka kita wajib menghadapi perubahan, pertumbuhan, menghadapi masa tua, menghadapi mati dan sebagainya. Dari serangkaian itu maka dapat disimpulkan kita wajib belajar dari sejarah.
Artefak merupakan sumber sejarah |
Ada pelajaran menarik dari Ibn Khaldun tentang sejarah yakni kita harus hati-hati dalam belajar sejarah, jangan sampai kita ditipu sejarah dan keliru memahami sejarah. Ibn Khaldun berpendapat bahwa orang keliru atau ditipu sejarah ada beberapa sebab diantaranya:
1. Terlalu Fanatik terhadap pendapat-pendapat atau mazhab-mazhab tertentu, dan ini merupakan sebuah penyakit. Biasanya orang saking cintanya pada kelompok atau mazhabnya akhirnya tidak fair, yang baik atau jelek, yang bener atau tidak jika dari kelompok atau mazhabnya biasanya dianggap benar semua. Ini merupakan awal dari distorsi sejarah yang menyebabkan orang menjadi tidak adil. Jadi kita harus hati-hati saat mengamati sebuah kebenaran sejarah dengan cara cek ulang apakah hal tersebut merupakan sikap fanatisme dari kelompok atau mazhab kita.
2. Terlalu percaya pada informan sejarah, ini merupakan suatu bentuk fanatik pada seorang tokoh sejarah yang menjadi informan sejarah itu (fanatik individual). Biasanya karena yang berbicara orang itu, tokoh itu yang kita dukung, yang kita cintai/sukai atau idolakan semua informasi yang diberikannya kita terima dengan mentah-mentah tanpa cross check kembali. Fanatik terhadap tokoh individual ini merupakan sumber miss information, sumber kebohongan sejarah.
3. Faktor ke-tiga merupakan dari diri sendiri karena saat mendapatkan informasi tidak bisa memahami maksud dari informasi itu. Hal ini memang berhubungan dengan kapasitas kita dalam berpikir dan memahami suatu informasi. Mungkin informasi itu dalam bahasa Arab, Tiongkok, Korea, Azerbaijan atau Swahili dan kita tidak bisa berbahasa tersebut sehingga kita mengandalkan mesin penerjemah (Google Translate). Sumber informasi yang sudah dialih bahasakan oleh mesin mungkin saja keliru dalam penerjemahannya, sehingga kita mendapatkan informasi yang salah. Dalam hal ini kita harus tahu kapasitas diri kita sendiri, karena kapasitas kitalah yang menangkap informasi tersebut. Misalnya data-data arkeologi tentunya yanv bisa menyingkap data tersebut oleh Arkeolog, atau data informasi pada naskah-naskah, tentu saja yang mempunyai kapasitas untuk mengungkapnya adalah seorang filolog.
4. Terlalu percaya kepada sumber informasi, karena sejarah itu yang tampak adalah sebuah peninggalan, indikasi-indikasi sejarah yang kadang-kadang terbatas, reduktif dan tidak menyeluruh (lengkap). Misalnya dari satu peninggalan sejarah hanya mengunggkap sedikit saja, sehingga kita sering mengeneralisasi. Nah generalisasi inilah yang sering membuat kesalahan pada informasi sejarah. Hati-hati juga pada sumber sejarah yang direkayasa, biasanya dilakukan oleh penguasa. Orang bilang bahwa sejarah itu dibentuk dan disusun oleh orang atau kelompok yang menang (kuasa). Jadi saat kita membaca buku sejarah maka harus tahu siapa pengarangnya, jangan-jangan pengarang atau sumbernya dari penguasa dahulu yang menang. Sehingga data-data tentang kejelekan (penguasa) dihapus, data-data kebaikannya diperbanyak atau juga data-data kebaikan musuhnya dihapus dan dibesarkannya data-data keburukannya pada buku sejarah yang disusunya. Tentunya kita membutuhkan daya kritis saat membaca buku sejarah. Faktor lainnya juga dari kita sendiri atau sejarawannya yang ingin dekat pada penguasa saat itu, sehingga data-data sejarah yang terdapat di buku menjadi tidak fair (isinya cenderung menjilat).
5. Tidak memahami sifat-sifat, kondisi umum yang terjadi. Misalnya saat membaca sejarah Pajajaran maka harus membaca situasi, kondisi, logika pada zaman Pajajaran itu berawal hingga berakhir.
Jadi dari situlah kita bisa kritis dalam membaca sebuah buku sejarah. Semoga ilmu dari Ibn Khaldun ini bermanfaat bagi kita semua, Amen.
Komentar