Kebahagiaan saat mencapai sesuatu yang di-inginkan |
Puasa mengimplikasikan kemampuan kita untuk menahan diri, berarti puasa ada unsur jasmani dan rohani. Sebagai mana jasmani yang butuh makan dan butuh puasa begitu pula dengan rohani; jasmani butuh pendidikan dan kekuatan begitu juga dengan rohani. Jadi dalam kehidupan ini semua harus kita garap mulai dunia, akherat, jasmani, dan rohani. Seperti pada firman Allah yang berbunyi "Dan carilah dengan bekal apa yang diberikan Allah padamu rumah akherat/kebahagiaan akherat, tapi jangan lupakan nasibmu di dunia/kebahagiaan dunia" dari petikan ayat ini menyimpulkan bahwa kita berpuasa dalam rangka mempuasai jasmani dan rohani untuk kebahagiaan dunia akherat.
Sebelum lebih lanjut mari kita berkenalan dengan apa itu kebahagiaan, menurut Al Ghazali kebahagiaan setiap mahluk berbeda-beda:
1. Level binatang ternak (baha'im), kebahagiaan menurut orang pada level ini yakni terpenuhinya kebutuhan sandang pangan, papan, bilogis (kebutuhan fisik). Orang pada level ini akan merasa bahagia jika kebutuhan fisik dan bilogisnya terpenuhi.
2. Level binatang liar (Siba'i), orang pada level ini akan merasa bahagia saat dirinya menang dalam menaklukan lawan, sukses mencapai sesuatu yang di-inginkan.
3. Level setan (Syaitan), orang yang pada level ini akan merasa senang jika melakukan tipu daya, kejelekan, keangkuhan, kebejatan, durjana, dan lain sebagainya. Saat dia melakukan tipu daya kepada orang lain dengan sukses maka dia merasa sangat bahagia.
4. Level malaikat, orang pada level ini adalah orang yang merasa bahagia saat melakukan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-nya, mampu menaklukan hasrat fisik dan jiwanya. Orang yang berada pada level malaikat ini lebih tinggi kedudukannya dari malaikat itu sendiri, karena manusia mempunyai daya untuk memilih. Dia bisa baik dan bisa juga memilih yang buruk, berbeda dengan malaikat yang selalu (patuh) dalam berbuat baik. Dan manusia juga bisa jatuh ke level paling rendah melebihi level setan, dimana manusia memutuskan memilih keburukan.
Dari kitab Al Ghazali ada ilmu menarik jika kita amati dan sadar, dimana kebahagiaan tertinggi yakni saat mencintai Allah. Dalam percintaan antara manusia dan Tuhan-nya bukan seperti hubungan majikan dan bawahan-nya bukan seperti orang tua dan anak, president dan rakyat, tapi hubungan yang mencintai dan dicintai. Orang yang sudah mencapai level ini bisa disebut orang yang sudah mencicipi manisnya iman.
Manusia pada umumnya susah untuk mencintai Allah, karena pada umumnya manusia terjebak pada materi, mencintai yang ada wujudnya. Sehingga mencintai pada sesuatu yang tidak berwujud (Allah) terasa akan sangat berat. Padahal kalau kita berpikir agak dalam, yang patut di cintai di dunia ini adalah Allah. Kalau kita cinta pada hal yang cantik-cantik, indah dan ganteng, namun bukannya yang Maha Indah itu Allah. Al Ghazali menganjurkan kita untuk mencari kebahagiaan hakiki yakni kebahagiaan dimana seorang hamba yang selalu mencintai Allah.
Mencintai Allah berarti menemukan kebahagiaan. Berarti level kita dalam berhubungan dengan Allah harus dinaikan, cuma banyak orang yang mati-matian gagal untuk masuk ke level cinta. Ada beberapa sebab gagalnya manusia masuk ke level cinta pada Allah diantaranya:
1. Tidak benar-benar beriman kepada Allah, biasa hanya dalam bicara saja kita percaya pada Allah, namun dalam hati tidak sepenuhnya percaya keberadaan Allah. Sehingga kita tidak yakin pada sesuatu yang kita tidak yakin 100% kepada keberadaan-Nya.
2. Mental yang mengatakan bahwa Allah itu tidak butuh hambanya, kalau kita beribadah puasa, haji, zakat itu semua tidak penting bagi Allah. Pada pernyataan tersebut jika tidak hati-hati maka akhirnya kita menyepelekan Allah. Seperti orang datang ke dokter dan dikasih resep, dan dia bilang "apakah resepnya harus dibeli?".
3. Orang yang meremehkan dosa, sebagai contoh ada orang berkata "Agama mengajarkan kita untuk menjaga syahwat, padahal kita manusia yang mempunyai syahwat, bisa nafsu, bisa minafik dan yang lainnya. Itu kan manusiawi, fitrahnya manusia!" Dari perkataan tersebut terindikasi seseorang menyepelekan dosa, sehingga susah untuk mencintai Allah.
4. Orang yang mengabaikan keadilan atau menonjolkan kemurahan Allah. Contoh: "Tenang saja kita kan dosa sedikit-sedikit pasti Allah mengampuni dosa kecil itu, lagi pula Allah kan Maha Pemurah dan Pemaaf".
5. Elit agama tapi pikirannya masih sibuk dengan dunia. Setinggi apapun wawasan, ilmu agamnya dia akan susah mencintai Allah jika masih sibuk dengan dunia.
Komentar